BAB 5 Tuduhan

1110 Kata
“Astaga! Apa yang terjadi di sini!” sebuah pekikan keras membangunkan Nao yang sedang tertidur atau tadi malam ia pingsang dan akhirnya tertidur di ruang tes ini. Beberapa warga mulai masuk ke dalam ruangan tes tersebut dan mengecek ke adaan ruangan. “Ada apa...” baru saja Nao ingin bangkit dari tidurnya. Ia merasakan sangat perih di seluruh tubuhnya. Nao memegangi pelipisnya. “Darah,” batinnya saat melihat tangannya yang berwarna merah setelah memegangi kepalanya yang terasa berdenyut-denyut. Mendengar suara pekikan Nao. Beberapa orang yang baru saja masuk di ruangan itu melihatnya. “Pasti dia pelakunya?” mereka pun mengahmpri Nao dan mengerubuninya. “Ada apa?” tanya Nao. Anak kecil itu terlihat sangat bingung. Tiba-tiba saja ia dikerumuni oleh beberapa warga. “Kau kan yang menghancurkan ruangan ini?” sebuah pertanyaan membuat Nao kaget. Seketika anak lelaki itu memeriksa sekelilingnya dan kedua matanya pun membulat sepurna melihat keadaan sekitarnya. “Tak perlu bertanya lagi ... anak ini pasti pelakunya karena hanya dia yang ada di ruangan ini.” Seketika Nao pun di bawa beberapa orang menuju tengah ruangan di mana kepala desa berdiri. “Kenapa kalian memperlakukanku seperti ini ... apa salahku ... lepaskan aku. Aku mohon, katakan apa salahku ...” Nao mulai menangis dalam ketakutannya. Tapi, para penduduk itu seakan tuli dan tak memperdulikan tangisan dan permohonan Nao mereka tetap mengotong membawa Nao ke hadapan kepala desa untuk menerima hukuman atas apa yang telah terjadi pada ruangan tes ini. Nao mulai takut. Apa lagi tatapan para warga desa menatapnya benci dan tak lama kemudian anak kecil itu pun menangis saat ia di dorong keras menghadap pada kepala desa yang juga menatapnya benci. Tubuh anak kecil itu mulai gemetar ketakutan. “Maafkan aku ...... sungguh bukan aku ...” mohonya. “Tidak usah menangis Nao! Lagian semua petunjuk ada padamu. Jika bukan kamu lalu siapa yang menghancurkan ruanganan ini? Hanya kau seorang yang ada di ruangan ini. Dan bisa jadi kau menghancurkan ruangan ini karena tidak terima dengan hasil yang kau dapat kemarin.” “Sungguh bukan aku. Aku juga tidak tahu kenapa ruangan ini bisa hancur,” bela Nao. Ia melupakan kejadian yang ia alami semalam. Ia tidak ingat jika bola keristal itu bercahaya terang sekali hingga meledak dan menghancurkan seluruh ruangan tes ini. “Tidak usah banyak bicara lagi. Pak kepala Desa tolong hukum dia sekarang juga. sesuai dengan hukum yang berlaku di desa kita bagi yang telah melakukan kesalahan yang sangat fatal akan di cambuk sebanyak sepuluh kali,” ujar salah satu penduduk. “Iya ... betul sekali. Nao harus di hukum!” Pekik penduduk lainnya. Jadi mau tidak mau, kepala desa harus melaksanakan apa yang telah menjadi hukum desa mereka. Lelaki paruh baya yang berstatus sebagai kepala desa itu pun mengambil sebuah kayu kecil khusus untuk menghukup penduduk yang melakukan kesalahan. “Berdiri!” perintah kepala desa tegas. Dengan tubuh gemetar Nao berdiri. Anak lelaki itu beridiri di tengah ruangan bersama dengan kepala desa yang berisiap untuk memukulnya. Lalu terdengarlah suara teriakan yang memekik kesakitan saat kayu panjang itu memukul betis seorang anak lelaki yang baru berumur tujuh tahun. Nao hanya bisa mengepalkan kedua tangannya saat kayu itu memukul betisnya. Hinggat pukulan ke tujuh. Nao mulai tidak tahan ia sudah tak kuat lagi menerima pukulan yang sangat kuat di betisnya. Sekilas anak lelaki itu menatap betisnya yang memerah dan sedikit mengeluarkan darah. “Ayo, bicara. Kenapa kau menghancurkan ruangan tes ini!” pukulan itu terhenti dan Nao kembali di bentak untuk mengatakan yang sejujurnya. Tapi, Nao hanya bisa diam. ia tak tahu mengatakan apa. percuma ia berbicara. Karena apa yang keluar dari mulutnya hanya di anggap dusta oleh para penduduk yang ada di ruangan ini. Sekali lagi kedua kaki itu di pukul dengan kayu. “Jawab!” “Aku tidak tahu ... ” bemtakan dan pukulan terus menghujaminya. Rasa takut yang teramat ini pasti akan membekas di dalam harinya. Nao terus menangis dan memohon pengampunan. Di saat Nao sudah berada di lembang batasnya, saat itu juga lah seorang wanita paruh baya berlari masuk. Wanita itu membekap mulutnya saat melihat keadaan Nao yang sangat mengenaskan di hadapannya. Secepat mungkin ia masuk dalam kerubunan itu. “APA YANG KALIAN LAKUKAN!” Bentaknya pada beberapa warga yang ada di sana. “Maa ...” lirih Nao sebelum akhirnya kegelapan menghampirinya. Mendengar suara lirih Nao wanita paruh baya itu segera menangkap dan memeluk tubuh anak angkatnya yang kini tak sadarkan diri. Wanita itu meletakkan tubuh Nao di lantai dan kembali menatap para penduduk untuk menuntut penjelasan. “Apa yang kalian lakukan? Kenapa kau melakukan ini pada anakku? Apa salahnya? Dia hanya anak yang baru beranjak tujuh tahun dan kalian dengan teganya memukulinya hingga seperti ini? Di mana hati nurani kalian? Coba bayangkan jika anak kalian yang berada di posisi Nao? Apa kalian diam saja melihat anakmu dipukuli?” Sebuah pertanyaan bertubi-tubi itu membuat para penduduk terdiam dan menunduk. Apa yang di katakan wanita di hadapannya ini ada benarnya. “Itu karena Nao menghancurkan ruangan tes ini?” ujar salah satu penduduk. Wanita itu menatap sekelilingnya. “Ini bukan Nao. Nao tak mungkin bisa menghancurkan ruangan ini,” batinnya. “Tidak! Nao tidak mungkin pelakunya. Apa kalian tidak pernah berpikir jernih? Kalian sudah lihatkan Nao tak punya mana sama sekali. Jadi ia tak mungkin bisa menghancurkan ruangan yang sangat besar ini. Bisa jadi orang lain yang menghancurkan ruangan ini dan kebetulan Nao ada di sini? Dan lihat Nao memiliki luka yang serius di kepalanya. Bisa jadi pelaku yang sebenarnya memukuli Nao hingga anakku pingsang dan pelakunya bisa melarikan diri. Dan menjadikan Nao kambing hitam atas kesalahan yang tidak ia lekukan.” Para penduduk itu pun terdiam. “Maafkan kami ... kami hanya ...” “Maaf? Kau pikir aku bisa memaafkan kalian setelah apa yang kalian lakukan pada anakku?” wanita paruh baya itu menatap para penduduk kesal. Dengan wajah dinginnya wanita paruh baya itu mendendong Nao keluar dari kerubunan itu dan membawanya pulang kerumah untuk di berikan obat pada luka di betis dan kepala Nao. Seteibanya di rumah, sang ibu segera membawa Nao ke dalam kamarnya. Sang suami dan Ken pun kaget meliat ibunya masuk ke dalam rumah dengan mengendong Nao yang tidak sadarkan diri. “Apa yang terjadi, Sayang?” tanya sang suami cemas dan ikut mengekor di belakan istrinya masuk ke dalam kamar Nao. Sedangkan Ken hanya duduk diam di ruang makan seorang diri menatap sendu kedua orang tuanya yang masuk ke kamarnya. Di dalam kamar. Sang ibu segera melepas celana Nao untuk memeberikannya obat pada betisnya. Darah wanita itu mendesir saat melihat luka yang sangat serius tercetak jelas di kedua kaki anaknya. “Maafkan, Ibu, Nak. Maafkan aku karena tak bisa melindungimu ....”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN