BAB 33 Flashback

1374 Kata
“Nao!” Ken dan Rei panik melihat Nao yang berlari ke tengah-tengah pertarungan mereka. Mendengar teriakan menyebut nama Nao. Kesadaran Gin pun kembali secara sempurna. Lelaki itu segera berlari di tengah pertarungan dengan cepat dan memeluk tubuh Nao. “Shield Fire.” Saat kedua panah es itu hampir mengenai tubuh mereka berdua sebuah perisai api tiba-tiba muncul dari tubuh Gin dan memenjarakan Nao dan dirinya pada perisai api. Kedua pana api itu pun segera mencair dan menghilang. Perisai api itu pun juga ikut menghilang. “Nao apa kau tidak apa-apa?” tanya Ken cemas. Lelaki itu mendekati saudaranya dengan wajah cemasnya. “Aku tidak apa-apa,” jawab Nao pelan. Rei pun mendekati Gin yang masih memeluk tubuh Nao. “Gin apa kau tidak apa-apa?” tanya cemas. Dengan gerakan lemah lelaki itu melepas pelukannya pada Nao menatap Rei. “Aku tidak apa-apa ... syukurlah aku tepat waktu menyelamatkannya ... jika tidak ...” “GIN!” Nao dan Rei pun berteriak kaget saat tiba-tiba saja Gin ambruk sebelum menyelesaikan kalimatnya untungnya Nao segera menangkap tubuh lelaki itu karena jarak antara Gin dan dirinya dialah yang paling dekat. Nao segera membaringkan tubuh Gin hati-hati di tanah. “Gin ... “Rei yang terbilang sangat dingin dan kaku itu pun menangis melihat sahabat baiknya terkulai lemah di tanah. Tak ada rasa malu saat air matanya mengalir. Biarlah Nao dan Ken menganggapnya cengeng. “Ada apa dengannya? Kenapa dia bisa seperti ini?” tanya Nao cemas. “Itu karena Gin menggunakan kekuatannya. Dia mempunyai tubuh yang sangat lemah sehingga tiap kali Gin menggunakan kekuatannya umurnya pun akan semakin memendek ... itu semua sejak kejadia itu. Kejadian yang merenggut semuanya ...” Nao menundukkan kepalanya sedih. Ia merasa bersalah pada Gin. Karena dia Gin seperti ini. Nao dan Rei segera mengangkat tubuh Gin mendekati api unggun yang mulai padam. Sedangkan Ken dia hanya bisa duduk diam memperhatikan Nao dan Rei karena ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. “Sejak kapan Nao akrab sekali dengan mereka,” batinnya. Tak lama kemudian matahari mulai menampakkan wajahnya. Memancarkan cahayanya hingga ke penjuru dunia tak terkecuali hutan belantara yang kini ditempati oleh Nao dan teman-temannya. “Sudah pagi ... tapi Gin masih belum sadarkan diri ...” lirih Nao sedih. Lelaki itu kini bersandar pada pohon memperhatikan Rei yang sedang membersihkan tubuh Gin kain kecil seadanya. Suasana saat ini sangat suram dan hening. Semuanya diam dengan pemikiran masing-masong membuat Ken sedikit bosan. Sesekali Ken memperhatikan Rei dan Nao secara bergantian lalu menghela napas. “Aku tangkap ikan dulu,” gumam Ken tiba-tiba. Nao hanya mengangguk menanggapi sedangkan Rei tetap saja diam memandang Gin yang terkulai lemah. Setelah Ken kepergian Ken untuk menangkap ikan. Nao segera mendekati Rei dan Gin lalu duduk di samping Rei. “Apa dia akan segera sadar?” “Aku tidak tahu ... kapan dia akan sadar. Ini sudah kesekian kalinya Gin seperti ini ... jawab Rei sedih. “Kalau boleh tahu sebenarnya apa yang terjadi? Tadi kau bilang ini semua karena kejadian itu. Aku ingin mengetahuinya. Bisakah kau menceritakannya padaku?” tanya Nao. “Tapi aku bingung mulai dari mana. Jika aku menceritakan dari awal itu sangat panjang kau pasti akan bosan mendengar kisah kami berdua.” “Tidak apa-apa aku siap mendengarkan ...” kata Nao disertai dengan senyuman. FLASHBACK GIN AND REI STORY Di sebuah desa terpencil bernama Gravender hiduplah dua anak yang tiap hari bertengkar. Tidak ada hari tanpa pertengkaran membuat masing-masing kedua orang tua mereka lelah mengahadapi mereka yang terbilang sangat nakal. Anak lelaki itu bernama Gin dan Rei. Sejak kecil keduanya tidak pernah akur. Gin adalah anak dari kepala desa sedangkan Rei berasal dari keluarga biasa-biasa di desa itu. Dulu saat Gin berumur tiga tahun dan Rei berumur lima tahun kedua anak itu sempat akur dan tak terpisahkan. Hanya saja saat Gin berumur tujuh tahun hubungan mereka menjadi meregang. Mereka saling mengejek satu sama lain. Itu semua di karenakan tinggat kekuatan keduanya yang sangat berbeda. Gin mempunyai kekuatan yang sangat hebat dia bisa bisa menguasai dua elemen sihir. Tapi tidak dengan Rei. Anak lelaki itu hanya mampu menggunakan satu elemen saja. Di umur Gin yang sangat muda dibandingkan Rei membuat Gin merasa sangat hebat dan sombong. Hal itulah yang membuat hubungan kedua semakin meregang. Dan di sinilah mereka. Keduanya berada di sebuah hutan yang tak jauh dari desa. Keduanya saling bertatapan penuh kebencian. Kedua anak itu di kelilingi oleh beberapa anak desa yang lainnya. Mereka sedang bersiap-siap menikmati pertunjukan yang akan berlangsung sebentar lagi. “Kali ini aku tidak akan kalah ...” gumam Rei mengertak. “Sudah aku katakan sampai kapanpun kau tidak akan pernah mengalahkanku. Apa kau lupa skor yang telah aku capai. Skor kita 65 banding 0. Aku menang sebanyak 65 kali sedangkan kau satu kali pun kau tidak pernah,” gumam Gin mengejek. Beberapa anak yang mendengar perkataan Gin pun tertawa terbahak-bahak membuat wajah Rei memerah bukan main. “Tapi kau janjikan akan menjadi sahabatku jika aku bisa mengalahkanmu walau hanya sekali saja?” “Tentu saja. Aku bukanlah tipe orang yang akan mengingkari janji.” Setelah itu keduanya pun bertarung sengit. Beberapa anak desa bersorak–sorak menontong pertunjukan yang ada di hadapan mereka dengan wajah gembira. Apa lagi saar Rei terdesak sungguh hal yang menyenangkan di lihat bagi anak-anak desa itu. Tanpa ada yang menyari seorang anak wanita mengendap-endap keluar dari kerumunan tertesebut dan berlari menuju desa untuk mencari seseorang. Dan anak gadis itu pun tersenyum senang saat menemukan orang yang ia cari. “Ada apa, Kirana?” “Tante, Rei dan Gin berkelahi lagi...” lapor anak kecil itu dengan wajah polos. “Apa? di mana mereka sekarang!” pekik wanita itu kesal. “Mereka ada di hutan perbatasan desa.” Kata anak kecil itu sambil menujuk arah di mana letak keberaan Rei dan Gin. Wanita paruh baya itu segera menggulun lengan baju dengan cepat. “Anak nakal itu ... lagi-lagi berantam,” geramnya. Wanita paruh baya itu pun segera menuju tempat Gin dan Rei. Saat di perjalanan wanita paruh baya itu berhenti saat melihat seorang wanita paruh baya yang ia kenal. “Bu Rika kau mau kemana buru-buru sekali.” tanya wanita itu. “Bagini Bu Tini. Anak kita bertengkar lagi di perbatasan desa. Saya ingin ke sana untuk menghentikan pertrungan anak kita itu.” “Benarkah!” pekik Bu Tini kaget. “Anak nakal itu ...”geram Bu Tini. “Kalau begitu aku ikut juga,” lanjut Bu Tini. Ke dua wanita paruh baya itu pun segera berjalan menuju perbatasan desa tempat anak-anak mereka berkelahi dengan terburu. Tak lupa lengan baju mereka di gulung-gulung ke atas sanging kesalnya dengan kedua anak mereka yang terbilang sangat nakal. “Sepertinya di sana,” ujar Bu Rika sambil menunjuk kerbubunan yang tak jauh dari hadapan mereka. Kedua wanita paruh baya itu pun mendekat. “Iya ... serang Gin! Kau tidak boleh kalah ...” “Ayo Rei! Kau pasti bisa mengalahkan Gin ...” setibanya di kerumunan itu kedua ibu-ibu itu pun di sambut oleh teriakan ricuh dari pada anak desa. “Sepertinya aku meresakan hawa membunuh di belakanku ...” ujar salah satu anak dan secara perlahan membalikkan tubuhnya lalu di susul oleh teman-temannya. Melihat dua ibu-ibu yang bermuka seram yang seakan ingin membunuh mereka pada kerumuan itu pun segera kabur meninggalkan Gin dan Rei yang masih bertarung dengan serius tanpa menyadari apa yang terjadi di sekitarnya. Pertarungan keduanya sudah berlangsung beberapa menit. Keduanya mulai terlihat kelelahan terutama Rei yang masih kesulitan menandingi kekuatan Gin. Suana yang semula ribut kini menjadi hening setelah para anak desa meninggalkan tempat mereka membuat Gin dan Rei bingung. Keduanya bertanya-tanya ada apa dengan penontong mereka. Keduanya pun menghentikan pertarungan sengit mereka. Membalik tubuh dengan pelan. “Gin! Rei kalian ...” dan saat itu lah bola mata keduanya membulat sempurna. Tubuh kedua anak itu pun seketika membeku merasakan hawa membunuh di sekitarnya dan juga saat mendengar sebuah suara geraman. “AMPUN Ma!” pekik kedua anak itu panik sambil berlut di hadapan ibu mereka masing-masing. Kedua wanita paruh baya itu segera mendekati Gin dan Rei yang berlutut lalu tanpa rasa kasihan sama sekali kedua wanita itu segera menjewer terlinga masing-masing anak mereka sehingga menimbulkan pekikan keras dan teriakan kesakitan keduanya. “Ampun ... Ma”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN