BAB 7. PERIKSA

1036 Kata
. . "Hei. Kok melamun?" tanya Dian yang tiba-tiba saja berada di ruang tamu kontrakan Bulan. "Eh kok kamu bisa ada di dalam kontrakan aku. Kebiasaan deh masuk nggak salam dulu," tegur Bulan meremas dadanya yang berdetak keras karena kehadiran Dian yang tiba-tiba. "Kaget ya, aku tadi sudah salam. Teriak-teriak malah. Kamu nya aja yang asik ngelamun. Ngelamunin apa sih?" tanya Dian lagi. Bulan terdiam. Yang tau cerita malam kelamnya hanya Putri. Apa dia juga harus cerita ke Dian? Dian dan Putri memang temannya yang paling bisa dia percaya. Saat ini Bulan juga butuh teman bicara. "Emm sebenarnya sebelum ayah mengusirku dan ibu. Ada kejadian yang membuatnya salah paham," ucap Bulan mulai bercerita kronologi malam yang menjadi awal bencana dalam hidupnya. Dian mendengar cerita Bulan dengan seksama tanpa berani menyela sedikitpun, meski bibirnya sudah gatal ingin mencaci saudara sepupu Bulan dan juga keluarga Bulan. Tapi Dian menahan diri supaya Bulan bisa bercerita tanpa terganggu oleh interupsinya. "Jadi gitu. Tadi aku kepikiran karena sejak kejadian itu aku belum datang bulan Di," ucap Bulan menunduk malu dan juga sedih. Dian mengambil jemari kanan Bulan dan meremasnya memberi kekuatan. "Aku yakin sekali semua itu terjadi karena ulah sepupu kamu itu. Aku dah sadar sejak kita sekolah dulu dia itu iri banget sama kamu. Anehnya ayah kamu malah mendorong kamu deket sama dia," ucap Dian menahan laju amarahnya pada sosok Sekar. "Kamu sudah periksa?" tanya Dian sembari menepuk punggung jemari tangan Bulan yang berada di genggamannya. Jemari yang dulu selalu terjaga kelembutannya kini mulai kasar karena terbiasa melakukan tugas rumah sehari-hari. Hati Dian miris melihat nasib Bulan. Bulan menggeleng sebagai jawaban, "aku terlalu takut jika apa yang kutakutkan terjadi. Aku belum siap mengetahuinya Di." Dian mendesah mendengar jawaban Bulan. "Mau sampai kapan kamu terpuruk pada ketakutanmu sendiri. Bagaimana kalau kamu beneran hamil, sedang kamu abai pada janin kamu sendiri. Jangan korbankan janin kamu kalau benar dia sudah ada," saran Dian. "Ayo aku antar ke dokter atau kalau kamu takut kita beli tespack aja. Kamu coba sendiri. Aku bantu." "Setidaknya kamu tau kebenarannya Lan," lanjut Dian memberi masukan. Bulan diam terpekur mendengar kata demi kata yang disampaikan oleh Dian. Dia membenarkan ucapan sahabatnya itu. "Antar aku ke dokter saja sekalian. Biar aku ajak ibu sekalian untuk kontrol. Hari ini jadwal ibu kontrol. Kamu nggak keberatan kan nganterin kami," ucap Bulan yang teringat kalau hari ini juga jadwal kontrol ibunya. "Ya nggak lah. Masak gitu aja keberatan. Oh ya, aku tadi ke sini sebenarnya mau kasih uang bonus buay kamu sekalian nganterin paketam yang kamu pesan. Nanti bisa kamu kirimkan. Aku lebihkan paket skincaremya buat stok kamu," sahut Dian. "Ya Allah, kamu baik banget deh Di. Tau aja kalau kali ini aku butuh suntikan dana. Alhamdulillah ada aja jalan dari Allah," ucap Bulan sembari menerima amplop coklat yang diberikan Dian padanya. Terasa tebal saat dia genggam. Bulan bersyukur karena sebulan kemarin memang pesanan skincare membludak. Bulan memang meminta uang bonusnya dikasihkan sebulan sekali biar nggak cepat habis. "Kenapa nggak di transfer saja sih?" gerutu Dian yang memang tidak begitu suka membawa uang kash dalam jumlah banyak. Biasanya Dian hanya menyimpan uang sejuta di dompetnya. Yang lainnya hanya kartu debit dan kartu kredit no limit miliknya. "Aku mana punya tabungan sih Di. Tabunganku kemarin masih atas nama ayah dan perusahaan. Belum sempet bikin baru," sahut Bulan apa adanya. "Ya sudah nanti sebelum ke rumah sakit kita mampir ke bank saja. Cari yang deket rumah sakit jadi nggak ngabisin waktu di jalan. Biasanya kalau selain hari senin bank agak senggang," ucap Dian. "Ya sudah aku siapin semua persyaratannya. Sekalian siap-siap. Untung kamu ke sininya pagi. Eh kamu sudah sarapan belum. Kebetulan aku tadi bikin bubur ayam. Enak. Kamu coba deh di dapur. Ambil sendiri ya. Minumnya juga tinggal ambil di kulkas," ucap Bulan sembari bergerak ke sana ke mari menyiapkan apa yang dia butuhkan di bank dan juga di rumah sakit. Begitu semua dokumen siap dia beralih menyiapkan ibunya yang kebetulan sudah dia mandikan tadi pagi. Wanita tercinta Bulan hanya mempu menatap Bulan tanpa bisa mengatakan apapun. Hanya gumaman kecil yang terdengar. Begitupun sudah membuat Bulan bahagia. Setidaknya ibunya tidak tidur terus. Alhamdulillah semenjak sebulan ini banyak kemajuan yang dibuat oleh ibunya. Usai mendandani ibunya, Bulan berganti pakaian dan merias wajahnya tipis-tipis. "Sudah Lan?" tanya Dian melihat Bulan keluar dari kamar tidurnya dengan menentemg tas tangannya. "Sudah. Aku ambil ibu dulu," ucap Bulan sembari masuk ke kamar ibunya. "Perlu bantuan nggak?" Tanya Dian perhatian. "Nggak usah. Ibu sedikit-sedikit sudah bisa nggeser badannya kok," sahut Bulan sumringah. Ibu Bulan juga tersenyum menanggapi ucapan putrinya. "Ibu sudah siap?" Tanya Dian begitu ibu dan anak itu berada di ruang tamu. Ibu Bulan mengangguk riang. Wajahnya tampak lebih bersinar dibanding pertama kali Dian tiba di rumah kontrakan ini. Dian ikut lega melihat kondisi ibu Bulan yang kian membaik. Mereka berkendara dengan santai. Banyak obrolan santai antara Dian dan Bulan. Sedang ibu Bulan hanya tersenyum mendengar percakapan keduanya. Mobil Dian berhenti di halaman parkir sebuah Bank negri di kota A. Letaknya yang tak jauh dari rumah sakit tempat ibu dan Bulan periksa. Dian memang sudah memperkirakannya. "Ibu di sini sama saya saja ya. Biar Bulan masuk sendiri. Kalau di dalam takutnya ngantri bikin ibu nggak nyaman," ucap Dian memberi solusi biar Bulan nggak capek naik turunin ibunya dari mobil. Apalagi Bulan selalu menolak bantuannya. "Kamu serius? Nggak ngerepotin emangnya?" Tanya Bulan tak enak hati kalau merepotkan Dian. "Sudah sana turun. Mumpung masih pagi. Antriannya belum banyak," ucap Dian dan dituruti oleh Bulan. "Bu. Bulan turun dulu ya. Kalau ada apa-apa minta bantuan Dian saja," pamit Bulan pada ibunya. "Nitip ibu ya Di," ucap Bulan sebelum menutup pintu mobil. "Siap." Bulan masuk ke dalam bank. Sesuai perkiraan Dian di dalam bank hanya ada dua yang mengantri. Seorang satpam mendatangi Bulan dan menanyakan keperluannya. Dengan bantuan satpam Bulan mendapatkan nomer antrian. Tak lama nomer antriannya yang dipanggil. Dengan ramah CS bank itu menanyakan keperluannya. BULAN mengatakan ingin menabung. Dan Cs memperkenalkan beberapa produk, baik kelebihan dan limit pengambilannya. Bulan memilih produk yang standart saja. Setidaknya menyesuaikan kantong dan keperluannya. Keperluan di bank selesai. Bulan sudah memiliki tabungan dan atm di dalam dompetnya kini. Kini waktunya memeriksakan ibu dan dirinya. Jantung Bulan berdebar saat mobil Dian kian mendekat ke arah Rumah Sakit.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN