BAB 8. HASILNYA POSITIF

1096 Kata
. . Bulan sudah memeriksakan ibunya dan mendengar setiap interuksi dokter demi kemajuan kesehatan sang ibu. Usai keluar dari ruang periksa dokter. DIAN sudah melambai dari arah ruang dokter kandungan. Yang mengantri di sana tinggal beberapa orang saja. Dengan langkah berat Bulan mendorong kursi roda ibunya ke arah Dian berdiri. Wajah ibunya terlihat bingung. "Sebentar ya bu, Bulan mau nemeni Dian periksa rahimnya. Apa ya namanya, pap smear atau apa gitu Bulan kurang paham istilahnya. Yang jelas kayak dicek ada gejala kanker atau nggak. Cuma cek tahunan saja kok bu. Bulan juga, ikut periksa. Ibu di sini nggak papa kan? Nanti Bulan titipin ke perawat," ucap Bulan lembut. Meski dia melihat sorot penuh kekhawatiran di mata senja ibunya tapi dia bisa apa? Ibu Bulan hanya bisa mengangguk pasrah. Dia khawatir dengan kondisi Bulan. Entah firasat seorang ibu atau apa, tapi dia merasa kalau Bulan sedang tidak baik-baik saja. Setelah menitipkan ibunya kepada perawat yang berjaga. Bulan dan Dian masuk ke dalam ruang praktek dokter kandungan. Sekitar hampir seperampat jam keduanya di ruang praktik dokter kandungan. Ibu Bulan hanya bisa berdoa kalau apa yang menjadi ketakutannya tidak terjadi. Pasalnya tadi saat Bulan bercerita dengan Dian, ibu Bulan samar-samar mendengar semuanya. Tapi sebelum putrinya sendiri yang bercerita dia tak mau berpikiran buruk. Doa yang terbaiklah yang selalu dia panjatkan untuk putrinya tercinta. Hanya Bulanlah yang dia miliki kini. Tak ada keluarga, diusir oleh suaminya sendiri. Meski kondisinya yang nyaris seperti mayat hidup, ibunda Bulan tau semuanya. Mulut pelayan bercerita dengan bebas di depannya. Tak perlu takut dia akan marah atau membentak mereka. Jangankan marah, mengeluarkan suara saja tak bisa. Dia mencoba menggerakkan jemarinya perlahan. Mulai bisa meski hanya gerakan kecil saja. Dia bersumpah akan sembuh demi Bulan. Tak mau selamanya menjadi beban Bulan. "Ibu. Apa Bulan terlalu lama?" Tanya Bulan dengan raut pucat. Retno menatap wajah anaknya yang sepertinya sedang tidak baik-baik saja. Ingin rasanya Retno memeluk tubuh putrinya yang pasti butuh dukungan darinya. Dia merutuki kondisinya yang lemah, bahkan hanya menjadi beban Bulan saja. "Mmmmaaaf," gumam Retno berusaha sekuat tenaga menggerakkan bibirnya. Tapi hanya gumaman tak jelas yang terdengar. Akan tetapi anehnya Bulan bisa mengerti apa yang baru saja ibunya gumamkan. "Kenapa ibu minta maaf. Bulan harusnya yang minta maaf karena belum bisa memberikan yang terbaij untuk ibu," sesal Bulan sembari duduk menekuk lutut di depan kursi roda ibunya. Dengan lembut Bulan mencium punggung tangan ibunya dengan lembut. Baginya kini hidupnya dia dedikasikan untuk kebahagiaan ibu dan juga calon anak yang ternyata sudah bertumbuh di rahimnya. Ya, perbuatannya dengan lelaki misterius itu ternyata membuahkan janin tak berdosa. "Bu maafkan Bulan, mungkin mulai sekarang kita tidak akan hidup berdua saja karena sekarang Bulan hamil. Di perut Bulan ada cucu ibu. Maafkan Bulan ya bu. Tapi Bulan tak sampai hati menghilangkannya. Ijinkan Bulan membesarkan anak Bulan ya Bu," ucap Bulan perlahan. Dia tak mau ada orang lain yang mendengar ucapannya dan menjadikannya bahan bulian. Bu Retno menatap Bulan dengan iba. Perlahan dengan susah payah dia mengangguk samar. Tanpa perlu menjelaskan semuanya bu Retno paham apa yang sudah terjadi dalam hidup anaknya. Apalagi tadi sebelum berangkat dia juga mendengar pembicaraan antara Dian dan juga Bulan yang membahas tentang malam di mana Bulan sudah dijebak oleh Siska. Retno mengutuk keponakannya itu. Dia berharap kalau hidup Siska lebih hancur dibanding putrinya. Retno sakit hati akan semua perbuatan suami dan istri barunya. Dia benci semua keluarga Kusuma. Andai saja, saat itu dia tak pergi dari keluarganya mungkin saat ini Retno masih menjadi kesayangan keluarga Barata. Bahkan Aji saja tak tau kalau sebenarnya wanita yang sudah dia sia-siakan merupakan kesayangan keluarga Barata. Retno bertekad sembuh dari penyakitnya yang membuatnya lemah ini. Dia harus membawa Bulan ke keluarga Barata dan menuntut balas akan apa yang terjadi padanya dan putrinya. "Ddddan aaannniis," begitu berat bibirnya hanya demi ingin bilang 'jangan menangis'. Sebenarnya banyak kata yang ingin dia ucapkan untuk menghibur putrinya. "Bulan nggak nangis kok bu. BULAN bersyukur ibu ada perkembangannya. Terus begini ya bu. Bulan janji akan kerja keras demi kesembuhan ibu," ucap Bulan terharu ibunya sudah bisa menggumamkan beberapa kata yang mulai dia pahami. Tekadnya kian kuat untuk membawa ibunya terapi. "Wah ... wah ... lihat nih Pi. Siapa yang menjual air mata di depan umum. Untung saja kamu sudah mencoret namanya dari keluarga Kusuma. Kalau nggak pasti nama baik Keluarga Kusuma akan tercoreng." Dari arah depan Bulan bisa melihat sosok ibu tiri dan ayahnya sedang berjalan memasuki lorong rumah sakit. "Ibu, kita pergi saja dari sini ya. Hawanya mendadak panas. Kayaknya ada makhluk jahat yang memasuki rumah sakit ini. Makanya hawanya jadi nggak enak," ucap Bulan tak mau menghiraukan ucapan busuk ibu tirinya. Dian mengekor di belakang Bulan yang cekatan mendorong kursi roda bu Retno. "Dasar anak kurang ajar. Nggak ada sipan-sopannya sama orang tua," bentak Anggi. Ibu tiri Bunga. "Oalah masih menganggap anak toh? Bukannya sudah dicoret ya dari keluarga Kusuma yang terhormat?" Tanya Bulan lantang tanpa mau menghentikan langkah. Dia sudah teramat muak dengan mulut ibu tirinya itu. Selama ini dia bertahan dan diam karena memikirkan biaya pengobatan ibunya yang tergantung dari belas kasihan ayah dan ibu tirinya itu. Kini tak lagi dia mengalah atau menahan lisannya jika memang dia benar. Dian mengkodenya dengan dua jembol ke atas. Belum lagi senyumnya yang lebar. Entah apa yang membuatnya begitu bahagia. "Ngapain kamu cengar cengir begitu," tanya Bulan sinis ke arah Dian. Hatinya masih emosi dengan kehadiran ibu tiri dan juga ayahnya yang terlihat tak suka melihatnya dan sang ibu. "Keren banget bestie ku ini. Gitu dong, jangan diem aja kalau dihina. Yang bisa membela harga diri kita ya kita sendiri. Gue suka gaya loh," ucap Dian dengan senyum yang masih lebar. "Gua gue lah loh. Sok gaul loh," balas Bulan kini lebih ceria. Dia masih marah, tapi tak bijak juga kan kalau menyalurkan amarah kita pada orang yang bahkan selalu ada untuk kita. "Sekarang kan aku sudah bebas dari mereka. Jadi nggak ada alasan buat aku tetap nurut sama mereka," ucap Bulan lagi. Ketiganya menuju mobil yang terparkir. "Habis ini mau ke mana?" Tanya Dian begitu mereka sudah berada di dalan mobilnya. "Boleh nggak kalau nanti kita mampir ke indo*aret. Ada yang mau kubeli," sahut Bulan ingat kalau sekarang dia sedang hamil dan dia berencana membeli s**u ibu hamil. "Ibu mau sesuatu?" Tanya Bulan lembut ke arah ibunya yang juga sedang menatap ke arahnya. Dengan perlahan ibu Retno menggeleng sembari tersenyum manis. Bulan rasanya bahagia sekali bisa melihat lagi senyuman itu. "Ah iya, stok mie ku juga habis," ucap Dian membuat Bulan terkekeh. "Ya ampun masih saja kamu cemilannya mie," ejek Bulan menanggapi kebiasaan Dian yang mendarah daging sejak mereka saling kenal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN