Subuh menjelang. Axel belum juga dapat memejamkan mata. Ia berdiri di depan jendela, menatap ke luar balkon kamarnya. Rambutnya terlihat acak tak beraturan. Wajahnya muram tak bersemangat. Bahkan, pakaian kerjanya saja tidak ia ganti dengan piyama atau pakaian santai lainnya. Kemeja putih yang biasa berada di balik jasnya itu terlihat awut-awutan dengan beberapa kancing yang dibiarkan terbuka. Axel tak lagi terlihat rapi.
Di kamarnya yang temaram, Axel termenung. Satu tangannya ia senderkan ke kaca jendela tepat di atas kepalanya. Memandang jauh ke depan. Tatapannya kosong, pikirannya melayang. Terbayang kembali diingatnya tentang vonis dokter yang mengatakan kalau ia menderita Oligospermia.
Rumah sakit xxx, adalah salah satu rumah sakit yang cukup terkenal di kota tersebut bahkan di Indonesia sendiri. Fasilitasnya yang mewah dan lengkap, membuat rumah sakit ini dinilai internasional. Banyak kalangan kelas atas mencari pengobatan di rumah sakit ini. Tak terkecuali dengan Axel. Seperti biasa, ia datang sesuai jadwal yang telah ditentukan oleh dokter pribadinya.
Sudah tiga hari belakangan ini ia menemui dokter Arya yang merupakan dokter spesialis andrologi. Awalnya ia hanya ditangani oleh dokter umum untuk menangani keluhannya. Namun, karena dokter umum mendiagnosa Axel menderita masalah reproduksi, maka ia diserahkan dan ditangani langsung oleh dokter spesialis andrologi. Dan kebetulan dokter yang menanganinya adalah dokter Arya Purnomo yang tak lain adalah temannya sendiri. Usia mereka memang terpaut jauh, namun karena mereka sudah kenal sejak lama, maka persahabatan pun terjalin di antara mereka.
Axel duduk di kursi konsultasi pasien. Menantikan hasil pemeriksaan medis. Di hadapannya, tampak dokter Arya yang sibuk mengamati laporan hasil pemeriksaan laboratorium yang akan ia jelaskan kepada pasiennya itu.
"Baiklah, Xel. Aku akan menjelaskan kepadamu tentang penyakit yang kau alami saat ini." Dokter Arya membuka suara. Mencoba merilekskan tubuhnya.
Axel diam, namun tak memungkiri ingin secepatnya tahu tentang penyebab keluhan yang ia alami belakangan ini.
Dokter Arya membuang nafas. Mengumpulkan kekuatan untuk dapat menyampaikan hal yang telah ia ketahui dari hasil tes laboratorium Axel.
"Axel," ucapnya pelan. "Dari hasil pemeriksaan lab selama dua hari ini, sudah dipastikan kalau kau menderita Oligospermia, atau yang sering disebut sebagai m**i encer!" lontar dokter Arya dengan tegas.
Mendengar vonis yang dilayangkan oleh dokter Arya, mata Axel membulat sempurna. Ia tergemap.
"Ma-maksudnya??" tanyanya tercekat. Kepanikan jelas terpancar dari raut wajahnya.
"Axel, aku rasa kau mengerti akan maksudku!"
"Tapi, kenapa aku bisa mengalami itu!" protes Axel tak percaya.
"Banyak faktor yang membuatmu menderita penyakit itu, Xel. Mulai dari obat-obatan, genetik, dan juga gaya hidup," terang dokter Arya.
"Lalu aku harus bagaimana, Dok? Apa aku akan selamanya seperti ini? Apa aku tidak akan mempunyai keturunan? Adakah pengobatan yang ekstra cepat yang bisa aku lakukan? Aku akan membayar berapapun biayanya!" Axel mendesak agar dokter Arya segera menjawab semua pertanyaannya.
"Axel, tenanglah! Ini memang berat, tapi bukan berarti kau harus putus harapan! Kau masih bisa sembuh, yakinlah! Aku akan menangani kau sebaik mungkin. Kau harus menyemangati dirimu sendiri. Karna jika bukan kau, siapa lagi!" Dokter Arya memberikan sugesti terbaiknya. Berharap agar Axel tidak panik dan bertindak emosional. Sebab dokter Arya sangat paham bagaimana sifat Axel. Pria itu akan menunjukkan sikap tempramentalnya ketika dirinya sedang menghadapi tekanan.
"Apa aku bisa terbebas dari kondisi ini?" Dan Axel berharap semoga dokter Arya menjawab 'Ya'.
"Ya!" tegas dokter Arya. Yang mana membuat Axel bisa sedikit bernafas lega. "Kau bisa sembuh melalui berbagai pengobatan. Aku akan mendampingimu. Dan itu adalah tugasku!"
Axel menarik nafas dalam-dalam dan menghembusnya secara kasar. Mencoba menenangkan pikirannya meski dalam kondisi penuh tekanan. Ia mengusap wajah. Berbalik dan berjalan mendekati ranjangnya. Lantas duduk di tepi ranjang dengan kedua tangan yang menopang dahi.
Itu adalah satu dari beberapa masalah yang sedang ia hadapi. Belum termasuk masalah lain yang juga menekan kejiwaannya. Ya, Axel masih punya perkara yang harus ia selesaikan. Kedatangan papanya siang tadi ke ruangannya, membuat Axel frustasi. Axel ingat apa saja yang dikatakan Papanya hingga semua yang terlontar dari mulut pria paruh baya itu berhasil membuatnya semakin terpuruk.
Siang tadi, Tuan Lutfi datang ke ruangannya. Menatapnya tajam dengan raut wajah yang tidak bersahabat.
"Hentikan kebiasaanmu bermain dengan wanita jalang! Kau tau, Papa sangat tidak menyukainya!" tegas Lutfi Andreas Wiguna yang merupakan ayah dari Axel.
Axel yang kala itu tengah duduk di kursi kekuasaannya hanya diam menyaksikan Lutfi mengintrogasi dirinya. Namun, dibalik diamnya, terselubung emosi yang berkecamuk. Ia dan papanya sedikit tidak akur sejak lama. Sejak mamanya meninggal dan papanya menikah lagi dengan wanita lain yang menurutnya begitu menyebalkan.
Lutfi berdiri tegak di depan meja kerja putranya. Laki-laki paruh baya itu masih terlihat gagah dan berwibawa meskipun usianya sudah tidak lagi muda.
"Jangan membuat nama baik kita rusak hanya karna sikap murahanmu itu!" lanjut Lutfi menegaskan.
Axel tersenyum dalam diam. Bangkit dari duduk, berjalan mendekati papanya yang berdiri tak jauh darinya. "Nama baik keluarga kita sudah rusak bahkan jauh setelah Papa menikah dengan wanita licik itu!" jawab Axel tegas.
"AXEL!! Jaga ucapanmu!!" bentak Lutfi tidak senang.
Axel tersenyum miring. Ekspresi wajah yang keras ia tunjukkan kepada papanya yang mengerut karena ucapan lancangnya.
"Pa, sudahlah! Aku mohon jangan kekang aku dengan semua keinginan Papa! Aku ini bukan anak kecil lagi. Yang bisa papa atur dengan sesuka hati!" cercah Axel. Tersirat kebencian kala ia mengucap kalimat tadi. Sebab wajah setan ibu dan adik tirinya terbayang di otaknya.
"Hentikan ucapanmu itu Axel! Papa sangat tidak menyukainya!" Lutfi menekankan kalimatnya. Memandang Axel dengan tatapan tidak senang.
"Tidak suka? Lalu, bagaimana dengan perasaanku selama ini? Apa Papa kira aku menyukai hubungan Papa dengan wanita busuk itu!"
"AXEL! CUKUP!" bentak Lutfi keras.
Axel diam. Bukan karena takut dengan suara keras yang baru saja ia terima. Namun, ia tahu kalau Lutfi sangat tidak menyukai ucapan yang terlontar dari mulutnya. Cukup membuatnya sedikit merasa menang.
Kedua mata Lutfi berkobar. Menatap putranya yang juga membalas tatapan tajamnya. Kedua ayah dan anak itu saling memandang dengan sorot mata yang memancarkan emosi. Sama-sama tidak mau kalah dengan pemikiran masing-masing.
"Baiklah!" Lutfi kembali membuka suara. "Jika ini memang maumu! Papa akan bertindak tegas padamu. Kau taukan bagaimana sifat Papa? Papa akan berbuat sesuka hati kepada siapapun yang membangkang ucapan Papa!"
Axel tidak menjawab. Lebih memilih menyimak apa yang akan Lutfi katakan kepadanya.
"Papa ingin kau menghentikan kebiasaan burukmu itu! Maka menikahlah dalam waktu dekat dengan seorang wanita yang baik. Terserah dengan wanita manapun yang kau suka. Tapi ingat, setelah itu kau tidak boleh memakai tubuh wanita lain selain istrimu. Jangan lagi membeli wanita sesukamu!" lontar Lutfi.
Tentu Axel tercegang mendengar perkataan papanya. Ia tidak menyangka kalau papanya akan meminta hal yang tidak masuk akal bagi dirinya. Memintanya menikah dengan usia semuda ini? Hah! Sontak saja ia tertawa. Tawa yang sudah pasti meledek ucapan papanya. Dan Lutfi menyadari itu.
"Papa mau aku menikah dengan wanita mana aja yang aku suka, begitu?" Axel mengulang kalimat Lutfi dengan nada menyindir. Dan seketika itu juga tawanya meledak. "Pa, apa Papa sedang bergurau? Masa iya aku harus menikah dalam waktu dekat! Papa kira menikah itu seperti merencanakan acara makan malam!" sindirnya.
"Jangan membantah! Kau harus menuruti perkataan Papa! Papa hanya ingin kau menghentikan kebiasaan burukmu yang terlalu sering bergonta-ganti partner ranjang! Kau tau, itu sangat membuat Papa malu!" pekik Lutfhi dengan rahang yang menegang.
"Tidak Pa! Aku tidak akan menikah dalam waktu dekat! Aku masih ingin menikmati hidupku. Aku masih ingin mencari perhatian dari orang lain di luar sana. Perhatian yang tidak pernah aku rasakan lagi sejak Mama meninggal!" desis Axel menekankan.
Mendengar keluhan putranya, Luthfi diam sejenak. Cukup meresapi apa yang sebenarnya Axel rasakan. Sifat putra sulungnya itu berubah semenjak ia menikah dengan istri keduanya. Dan sejak saat itu, pribadi Axel sulit ditebak. Susah diatur dan selalu bertindak sesukanya.
"Kalau begitu menikahlah!" Kali ini Lutfhi berbicara dengan nada lembut. Tatapannya sedikit meredup, memandang putranya dengan iba. Ada perasaan bersalah yang mengekang hatinya. "Hanya dengan menikah kau akan mendapatkan semua yang kau inginkan. Semua yang dulu sempat kau rasakan, namun hilang begitu saja akan kau dapatkan kembali setelah kau menikah!" saran Lutfhi berharap putranya akan memahami.
"Aku tidak akan menikah dalam waktu dekat, Pa! Aku masih ingin bebas! Aku masih ingin melajang!" Axel tidak peduli bagaimana reaksi papanya nanti. Baginya, menikah muda bukanlah solusi yang tepat untuk memendam kebiasaannya bertukar partner ranjang. Ia malah takut menghadapi pernikahan sebab ia juga mempunyai masalah di bagian reproduksi.
"Kau menikah ...," lanjut Lutfi. "Atau kau ingin Papa keluarkan dari perusahaan ini. Dan namamu—akan Papa coret dari daftar ahli waris! Sebagai gantinya, Evan yang akan menggantikan posisimu!" kecam Lutfi dengan nada pelan, namun cukup menantang.
Bagai disambar petir rasanya seluruh tubuh Axel. Ia tidak menyangka kalau papanya akan mengatakan itu kepadanya. Apa sebenarnya yang ada di pikiran papanya hingga membuat statement seperti itu. Menantang dan mengancamnya dengan dalil harta dan tahta.
Tidak. Axel tidak takut kalau hanya disuruh pergi dan keluar dari kehidupan keluarga yang saat ini begitu ia benci. Ia bukanlah seorang pria yang gila harta, dan juga tahta. Tetapi pernyataan papanya yang mengatakan kalau semua harta warisan akan beralih kepada Evan yang merupakan adik tirinya, jelas ia tidak bisa terima. Sebab ia sangat membenci ibu dan adik tirinya. Selama ini yang membuat kejiwaan Axel tertekan ya mereka berdua. Ibu dan adik tirinya.
Kini, Axel merasa dirinya seperti sedang berada di tengah-tengah lumpur hidup yang siap menelannya kapan saja. Ingin mengalah, dan lari dari keluarganya, tapi ia juga tidak ingin ibu dan adik tirinya merasa menang dengan pengunduran dirinya.
***