Kedua bola mata indah itu berkobar. Berapi-api menahan amarah yang meluap. Seluruh wajahnya menyala dengan ekspresi yang mengeras. Gadis itu sangat tidak terima dengan tuduhan yang Axel lontarkan.
"Dasar bajingaaan!!" teriak Aileen, mendorong tubuh Axel.
Dengan cekatan, Axel mencengkram kedua lengan ramping yang mendorong dadanya dan menahan tubuh Aileen yang sedang dibakar amarah itu.
Aileen mendongak. Menemui mata Axel yang menatapnya penuh ekspresi.
"Jaga ucapanmu! Kau kira aku ini w************n, ha?" raungnya memekik.
"Lalu, sedang apa kau tengah malam begini di tempat seperti ini kalo tidak sedang menjajakan diri! Bukankah hanya wanita mu***an yang berkeliaran di jam-jam seperti ini!" tuduh Axel sekenanya.
"Lepaskan aku!" sentak Aileen menepis tangan Axel dengan paksa. Saking kencangnya, sampai tubuhnya sendiri terdorong ke belakang. "Mulutmu itu yang mu***an!! Apa kau tidak bisa menjaga sikap pada wanita? Baru kali ini aku bertemu dengan pria tempramental seperti dirimu! Mulutmu seperti SAMPAH!" maki Aileen.
"Kau—" Jari telunjuk Axel mengarah ke wajah Aileen. "Hati-hati kalau bicara! Aku bisa menuntutmu karna hinaanmu itu!" ancam Axel.
"Hoh," angguk Aileen, tersenyum sinis seraya melipat kedua tangannya ke d**a. "Aku jadi takut dengan ancamanmu!" Ia tertawa singkat. Namun, dibalik tawanya tersirat sebuah ejekan.
Axel tak melepaskan pandangannya dari Aileen. Kedua manusia itu sama-sama menampilkan wajah yang mengeras dengan urat-urat yang menegang di rahang dan leher mereka.
"Tadi kau bilang apa? Kau mau menuntutku karna aku sudah menghinamu? Begitu?" Aileen diam sejenak, kemudian tawanya pecah. Lucu mendengar ancaman yang keluar dari mulut Axel.
Axel mengerutkan wajah. Mengamati garis wajah lawan bicaranya dengan seksama. Ia tersihir pada senyum dan tawa yang Aileen tunjukkan. Walau senyum dan tawa itu bermaksud untuk menyindirnya, namun entah kenapa, Axel seperti terhipnotis pada indikasi yang terpampang di garis wajah gadis itu.
Gadis yang berada di hadapan Axel ini memiliki rupa yang lumayan cantik. Wajah dan kulitnya putih bersih. Matanya bulat dengan bola mata berwarna coklat. Alis matanya melengkung tanpa dipermak. Rambutnya lurus sebahu. Dan, bibirnya—ah! Bibir sensual itu sungguh membangkitkan hasrat pria jika terus-menerus diperhatikan. Tidak terkecuali, Axel.
Sial!
"Hey, Tuan Muda! Apa kau tidak sadar kalau kau tadi juga menghinaku? Apa kau tidak ingat pada ucapanmu yang mengatakan kalau aku ini adalah seorang wanita malam? Bukankah ucapanmu itu juga termasuk sebuah penghinaan bagiku? Apa perlu semua itu aku ingatkan lagi kepadamu? Hem?" sergah Aileen menantang. Sedikit mengacungkan wajahnya ke hadapan Axel.
Axel membuang wajah. Tak lagi memandang wajah cantik Aileen dengan seksama. Mengutuk dirinya, karena memang seharusnya ia mempertahankan pendirian. Bukan malah terkesima pada wajah rupawan Aileen yang memang begitu menarik perhatian.
"Lalu, sekarang kau mau apa? Apa kau ingin aku bertanggungjawab? Apa kau ingin aku mengeluarkan uang untuk biaya pengobatanmu? Biaya pengobatan tubuhmu yang sama sekali tidak tersentuh oleh mobilku, begitu?" desis Axel.
"Aku tidak butuh uangmu! Simpan saja uangmu itu!" Aileen menggeram. "Aku hanya menuntut permohonan maaf darimu! Kau telah menghinaku! Kau telah membuang-buang waktuku yang paling berharga! Ayo cepat katakan maaf kepadaku. Dan akui kesalahanmu!"
"Aku minta maaf padamu?" Alis Axel naik satu. Memastikan telinganya tidak salah mendengar. Lalu, ia tertawa sinis. "Kau kira aku mau melakukan itu! Ha? Aku tidak akan pernah mau meminta maaf kepada orang yang sejatinya telah berbuat salah kepadaku!" tegas Axel berkacak pinggang. Menantang gadis yang ada di hadapannya saat ini.
"Apa? Kau bilang aku yang salah?" tanya Aileen menunjuk dirinya sendiri.
"Iya!" Axel mengangguk. "Kaulah yang salah di sini!" tekannya.
"Kau ini! Ikkhhhh ...." Aileen menggenggam kedua telapak tangannya. Menggeram kepada Axel yang menatap dirinya tanpa rasa bersalah. Laki-laki itu malah tersenyum meledeknya. Membuat Aileen semakin kesal.
"Kau tidak perlu menggeram karna kesalahanmu sendiri, karna aku akan mencoba memaafkanmu meski kau sama sekali tidak memintanya kepadaku!"
"Hah? Apa?" Aileen menajamkan pendengaran. Rasa jengkelnya sudah melewati ubun-ubun. Ingin lagi bertindak kasar pada laki-laki itu. Namun, dia harus sadar, Axel adalah seorang pria, yang tentu mempunyai tenaga jauh lebih besar dari dirinya. Secara fisik saja Aileen sudah jauh kalah. Tubuhnya yang ramping dan mungil, tertutup oleh tubuh Axel yang tinggi besar.
Axel mengamati ekspresi gadis itu. Ia tahu kalau Aileen saat ini sedang kesal karena ucapannya. Namun, ia pun bukanlah tipe orang yang suka mengalah. Apalagi kepada seseorang yang telah melakukan kesalahan padanya. Tak peduli orang itu wanita atau pria.
Gadis berkulit putih itu mendengus kesal. Membuang wajahnya ke samping. Oke, sekarang sebaiknya ia yang mengalah. Ia tidak ingin berdebat lagi dengan laki-laki arrogan yang satu ini. Lebih baik tidak lagi menentangnya. Dari pada terus-menerus dibuat jengkel dengan kalimat yang keluar dari mulut laki-laki ini. Well, dari raut wajah Axel, Aileen dapat menebak kalau laki-laki itu pasti sedang memiliki masalah yang cukup mengganggu pikiran. Mungkin karena itu Axel menjadi sedikit tempramental.
"Baiklah! Sekarang terserah apa katamu! Aku tidak peduli!" lontar Aileen dengan jutek. Axel tidak menyahut. Namun, seringainya tetap bertahan di sudut bibir. "Seharusnya aku sadar, kalau aku sedang menghadapi orang gila sepertimu! Kau tidak pantas untuk dilawan!" makinya.
Wajah kedua anak manusia itu saling menatap satu sama lain. Ekspresi mereka sama-sama tajam dan tegas. Tidak ada yang mau mengalah di antara mereka meski Aileen sudah mengakhiri. Mereka sama-sama mempertahankan pendapat dan ego masing-masing.
"Huh!" Aileen mendengus kesal. Lalu, pergi meninggalkan Axel yang masih menatapnya tajam.
Axel membuang nafas. Mengacak rambutnya. Sesak juga berdebat dengan seorang wanita, pikirnya. Kini, ia masih saja memandang punggung Aileen yang telah berlalu. Gadis manis berambut panjang sebahu yang mengenakan dress putih sebatas lutut itu, membuat dirinya berfantasi. Ingin menikmati keindahan tubuh itu tapi sayang, Aileen bukankah wanita seperti yang ia pikirkan. Buktinya, wanita itu memekik ketika Axel mengatakannya perempuan malam. Tidak terima dengan tuduhan yang terlontar dari mulutnya. Andai saja gadis itu memang benar seorang pekerja seks, pastinya ia tidak akan meraung ketika Axel meminta tubuhnya tadi.
Axel berbalik badan. Berjalan gontai masuk ke mobil. Duduk di bangku kemudi, lalu kembali membuang nafas. Ia menghempaskan punggung ke senderan kursi. Mendongak ke atas. Memijat-mijat pelipisnya. Otaknya serasa ingin keluar. Belakangan ada saja masalah yang menghampiri dirinya. Ingin rasanya ia lari dari hidupnya saat ini, namun ia sadar, jika ia melakukan itu tentu akan ada sebagian orang yang akan merasa menang atas pengunduran dirinya. Yang tentu mereka semua akan menganggap kalau dia sudah menyerah dan kalah.
Tidak. Axel tidak mau itu terjadi. Bagaimanapun juga ia harus menghadapi dan menyelesaikan masalahnya. Dan sebisa mungkin menyingkirkan musuh-musuhnya. Tidak peduli bagaimanapun beratnya beban yang ia junjung saat ini, ia harus tetap bertahan.
***