Seluruh isi kepala Axel serasa mau meledak. Masalah yang menghimpitnya secara bersamaan seakan ingin meluluhlantakkan jiwanya. Pikirannya bercabang, tidak tahu mana yang terlebih dahulu akan ia selesaikan. Sebenarnya bisa saja Axel cuek dengan semua itu. Menipu diri sendiri dengan berpura-pura tidak tahu pada kenyataan yang terjadi pada dirinya. Namun, saat hati nuraninya mendesak dan berkata bahwa semua itu harus ia hadapi demi masa depannya, maka tekad Axel untuk bangkit kembali muncul.
Axel mengusap wajahnya dengan kasar. Menjambak rambutnya kuat-kuat. Geram memikirkan semua yang menghimpitnya. Baik di rumah, maupun di kantor ada saja hal yang membuatnya stres. Di tambah lagi dengan penyakit yang ia derita saat ini, semakin membuatnya frustasi.
"Aaaarggh ...!!" teriaknya sekuat mungkin. Rasanya baru kali ini ia menghadapi masalah seberat ini. Masalahnya datang secara bertubi-tubi seakan tidak kenal waktu dan tempat. Di mana saja dia berdiri pasti ada saja hal yang membuatnya kesal. Ancaman papanya, vonis dokter serta ramalan wanita tua tentang masa depannya tadi siang, semua itu benar-benar mengguncang kejiwaannya. b******k!
Eh, tunggu dulu!
Wanita tua?
Axel tersentak. Langsung terpaku dalam diam. Dia ingat pada ramalan wanita tua yang tadi siang menghampirinya secara tiba-tiba. Ramalan yang sempat membuatnya marah karena tidak terima. Tidak terima karena wanita itu berkata kalau Axel akan menikah dengan wanita terakhir yang ia tiduri. Namun, sekarang—dalam sekejap ia tersadar. Ada satu kalimat yang terngiang-ngiang di telinganya. Kalimat yang terlontar dari mulut wanita tua itu. Sebaris kalimat yang membuatnya tergemap.
Bukankah tadi wanita tua itu berkata bahwa; wanita terakhir yang ia tiduri akan menjadi ibu dari anak-anaknya? Ya, Axel ingat betapa gamblangnya wanita peramal itu mengatakan kalimat tersebut kepadanya. Jika ramalan itu benar, maka seharusnya ia tidak perlu khawatir dengan kondisinya saat ini. Axel tidak perlu takut pada vonis dokter yang mengatakan kalau dirinya akan sulit mendapatkan keturunan. Sebab wanita tua itu mengatakan axel akan punya anak dari seorang wanita malam. Meski hanya sebuah ramalan, tapi setidaknya Axel merasa beban yang menghimpit dadanya sedikit berkurang.
Sialnya, kenapa tadi ia tidak menanyakan banyak hal pada wanita tua itu. Bisa-bisanya ia tidak fokus pada kalimat terakhir yang terlontar dari mulut wanita tua itu. Lantaran sedang dikuasai oleh amarah yang meluap, Axel tak sengaja mengabaikan kalimat terakhir yang dikatakan wanita tua itu. Yang ia resapi hanya pada kalimat tentang siapa wanita terakhir yang akan menjadi calon istrinya.
Sekarang masalahnya, apakah ia harus percaya pada ramalan wanita tua itu? Apakah ucapan wanita tua itu peramal yang profesional? Kalau ramalannya benar dan menjadi nyata, bukankah itu artinya Axel akan menikah dengan seorang wanita malam?
Lagi-lagi Axel merasa kepalanya semakin berat. Kini pikirannya beralih pada wanita peramal itu. Kalimat yang terlontar dari mulut wanita tua itu seakan membuatnya berada dalam pilihan yang sulit. Disatu sisi ia ingin sekali punya anak dan berharap ramalan itu menjadi nyata. Namun di sisi lain, ia juga tidak terima kalau harus menikah dengan seorang wanita malam, dan berharap ucapan wanita tua itu hanyalah bualan semata.
So, Axel kembali kalut luar biasa. Ia menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Membuang nafas panjang. Memandang ke langit-langit kamar. Berharap masalahnya akan cepat menemukan titik terang. Di detik berikutnya, pandangannya menggelap, sebab kedua kelopak matanya mulai terpejam.
***
Driiing ... driiiing ....
Alarm handphone Axel bunyi. Sudah entah yang keberapa kali. Namun, pemuda itu masih saja bergeming dalam tidur. Tengkurap dengan wajah yang bersembunyi di balik bantal. Ia tertidur sangat pulas. Dan pakaiannya benar-benar tidak sempat ia ganti.
Driiing ... driiing ....
Lagi-lagi alarm handphonenya berdering. Memekik telinga siapa saja yang mendengar. Namun, Axel tetap saja tidak merasa terganggu. Tidurnya masih pulas tanpa merasa terusik sedikit pun.
Tok! Tok! Tok!
Seseorang mengetuk pintu kamarnya. Berkali-kali, terburu-buru. Merasa tidak digubris oleh Axel, ia kembali mengetuk pintu dengan kasar. Hingga ketukan itu terdengar seperti gedoran.
"Axeel ...!!!" jerit Lusian yang tak lain adalah ibu tiri Axel.
"Axeel ...!!" Kembali wanita itu berteriak. Kali ini dengan kekesalan yang sudah sampai ke ubun-ubun. Namun, tetap saja tidak ada jawaban ataupun respons dari dalam kamar. Lusian merasa dirinya seperti tidak dihargai. Dan Axel memang selalu begitu kepadanya. Tidak pernah menganggapnya ada sekalipun Lusian berpura-pura bersikap baik di depannya.
"Ngapain sih tu anak! Kenapa hapenya berdering terus dari tadi! Bikin sakit telinga tau gak!" cibirnya kesal.
Karena tidak ada respons baik dari Axel, maka Lusian mencoba membuka pintu kamar putra tirinya itu. Tangannya menekan handle pintu dengan kasar. Tergemap ketika tahu pintu kamar tidak dikunci. Lusian lantas masuk dan mendekati Axel yang tengah tidur dalam posisi tengkurap.
"Ya, Tuhan ... ni anak! Udah jam segini bukannya bangun!" gusar Lusian berkacak pinggang. "Gak dengar apa alarm hapenya berdering terus dari tadi!" Lusian meraih handphone Axel yang terletak di atas nakas sebelah ranjang. Lalu, menggeser layar handphone itu ke atas, dan dalam sekejap deringan alarm mati seketika. Ia meletakkan kembali handphone Axel ke atas nakas dengan cara yang kasar.
"Axel! Bangun!" jeritnya, mengguncang tubuh Axel.
"Uuhhh ...." Axel mengeliatkan tubuh. Tanpa sadar mengubah posisi tidurnya menjadi miring ke kanan. Lalu kembali pulas dalam mimpi indahnya.
Melihat itu, Lusian berdecak kesal. Kembali mengguncang tubuh Axel dengan kuat.
"Axel! Ayo bangun!" pekiknya lagi. Tapi lagi-lagi Axel tak merespon. "Axel!" bentaknya
"Apaan sih!" sergah Axel. Ia mencoba bangkit dari rebahan. Mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba membuka matanya meski masih terasa berat.
"Bangun! Ini udah siang! Apa kau tidak dengar suara alarmmu yang begitu memekik telinga!" hardik Lusian.
Axel yang nyawanya belum terkumpul sempurna, merasa geram melihat kehadiran ibu tirinya yang tiba-tiba sudah berada di dalam kamarnya.
"Siapa yang menyuruhmu masuk ke dalam kamarku!" cercahnya.
"Aku tidak akan masuk ke dalam kamarmu jika alarmmu tidak mengganggu telingaku!"
"Kalau kau tidak ingin terganggu, maka jangan masuk ke sini!" raung Axel memekik. Rasa tidak senang bercampur benci terpancar di bola matanya.
"Suara alarmmu terdengar sampai ke luar! Bagaimana aku tidak nyelonong masuk ke kamarmu!"
"Kalau begitu, tutup telingamu! Tutup dengan apapun yang bisa menulikan telingamu! Bila perlu kau potong sekalian telingamu itu agar kau tidak lagi merasa terganggu oleh suara apapun di rumah ini!" Axel tersulut emosi yang begitu dalam. Namun, ia mencoba untuk bersikap sewajarnya sebagai seorang pria. Perempuan yang berada di hadapannya ini adalah perempuan licik. Yang dapat melakukan apa saja demi harta kekayaan keluarganya. Setidaknya, Axel sudah dapat menilai itu di usianya yang masih belia.
"Axel! Jaga ucapanmu! Aku ini Ibumu!" Lusian tentu tidak terima dengan sikap yang ditunjukkan Axel kepadanya.
"Hanya Ibu sambung, tidak lebih! Bukan berarti kau bisa mengaturku sesukamu!" balas Axel menekankan.
"Keterlaluan kau Axel!" bentak Lusian dengan wajahnya yang memerah
"Pergi dari kamarku!" Axel menunjuk ke arah pintu kamarnya. Mengisyaratkan agar ibu tirinya itu segera keluar dari kamarnya. Lusian bergeming. Memandang putra tirinya dengan wajah yang mengerut. "Tunggu apa lagi? Pergi kau dari sini sekarang juga!" usir Axel dengan wajah kusut.
Lusian mengalah. Sebab, ia tahu bagaimana sifat putra tirinya itu. Jika Axel sudah dikuasai amarah, laki-laki itu dapat melakukan apapun yang ia mau tanpa memandang orang lain. Lusian sadar bahwa rumah mewah yang ia tempati saat ini adalah hak waris Axel. Ia dan Evan, putra kandungnya dari pernikahan terdahulu, memang sudah sejak lama menempati rumah ini. Lusian merupakan wanita yang berhasil menggantikan posisi ibu kandung Axel yang sudah lama meninggal dunia. Namun, Axel tidak pernah sekalipun menganggap Lusian ada di tengah-tengah mereka.
***
Siang ini, sesuai jadwal pengobatan, Axel kembali menemui dokter Arya Purnomo. Axel sengaja mengambil jadwal di siang hari agar ia bisa menemui dokter Arya ketika jam istirahat. Kebetulan letak rumah sakit tidak begitu jauh dari gedung perusahaannya.
Pria berwajah oriental itu duduk di kursi konsultasi pasien. Duduk berhadapan dengan dokter pribadinya. Seperti biasa ia menjalani pengobatan yang diarahkan oleh dokter Arya.
"Axel," tegur dokter Arya. "Apa kau masih melakukan pola hidup yang tidak sehat?" tanya dokter Arya menyelidik.
Axel membenarkan posisi duduknya. Sedikit menghembus nafas. Kemudian dengan santainya ia berkata, "iya! Aku masih suka melakukan semuanya!"
Dokter Arya mencebik. Cukup santai menghadapi pasiennya yang satu ini. Axel merupakan seorang pasien yang paling sulit diatur. Bahkan, apa yang dokter larang pun masih saja ia lakukan. Ia bertekad ingin sembuh, namun tidak mau meninggalkan pantangan. Dasar pria degil!
"Axel, jika kau ingin sembuh—tolong kontrol dirimu!" saran dokter Arya.
"Aku sudah berusaha sebisa mungkin, tapi tekanan pekerjaan membuatku stres. Dan hanya dengan merokok dan meminum minuman beralkohol bisa membuat pikiranku sedikit lebih tenang," ujar Axel.
"Aku tidak dapat melarangmu untuk melakukan apapun, itu hakmu. Tapi karna kau adalah pasienku, maka aku akan lebih tegas kepadamu! Kau harus merubah pola hidupmu. Jangan lagi merokok, minum minuman keras atau apa saja yang dapat membuat kondisimu semakin parah! Jika kau masih keras kepala, jangan salahkan aku jika kau tidak lagi mendapatkan penanganan dariku!" kecam dokter Arya.
Axel terdiam. Melengos tak berkutik. Sepertinya ancaman dokter Arya membuat Axel mau tidak mau harus meninggalkan kebiasaan buruknya.
"Selain minum minuman keras dan merokok, aku juga memintamu untuk meninggalkan kebiasaan buruk yang selalu kau lakukan hampir tiap malam!" Dokter Arya mengintimidasi. Matanya mengunci retina mata Axel dengan tegas. Kali ini ia ingin mengatakan sesuatu kepada Axel dan berharap agar Axel mau menerima tantangannya.
"Apa itu?" tanya Axel yang sama sekali tidak bisa menebak apa yang akan dikatakan oleh dokter Arya.
Dokter Arya diam sesaat. Memberi ruang untuk Axel agar dapat menebak pikirannya. Setelah beberapa detik, dokter Arya paham kalau Axel bukanlah seorang yang suka menunggu. Maka, ia melontarkan apa yang telah ia ketahui.
"Kau—harus bisa menahan hasratmu untuk tidak tidur dengan banyak wanita!"
***