Teman Ranjang!

2165 Kata
Aileen. Jadi namanya Aileen. Aku sudah beberapa kali mendengar dokter Arya memanggilnya dengan nama itu. Tapi kenapa baru kali ini nama itu nempel di pikiranku! Axel menyesap rokok yang berada di antara jari telunjuk dan jari tengahnya dalam-dalam. Menghembuskan zat nikotin itu dengan penuh penghayatan. Asap rokoknya mengepul, membentuk beberapa lingkaran dan melayang-layang di udara. Malam ini ia tengah berselonjor santai di sofa panjang yang ada di luar balkon kamarnya. Sebotol red wine, dengan zinfandel glass yang terletak di atas meja, seakan menemani kesendiriannya. Axel memandang lurus ke atas; ke langit yang sudah menggelap. Bintang-bintang yang bertaburan di langit malam terlihat begitu indah. Namun, tidak sedikitpun membuatnya terpikat pada pemandangan di malam itu. Bintang-bintang itu berkelap-kelip seperti sedang ingin merayunya. Akan tetapi Axel bukanlah seorang pria yang fanatik akan pemandangan alam. Matanya memang menatap langit, namun pikirannya tidak sedang berada di sana. Dalam beberapa jam terakhir, yang terbayang di pelupuk matanya hanyalah Aileen. Entah kenapa pikirannya terus terpacu pada gadis manis itu. Meskipun gadis itu selalu membuatnya merasa kesal, namun Axel tak menampik kalau Aileen memang sangat lucu dan menggemaskan. Menurut pandangannya, Aileen begitu unik dengan sifatnya yang keras. Lamunan Axel tertuju pada saat pertama kali mereka bertemu. Ia dan Aileen tak sengaja bertemu di sebuah jalan raya. Masih terngiang di telinga Axel saat gadis itu memekik nyaring. Memprotes dirinya yang hampir saja menabrak tubuh gadis itu. Keesokan harinya, tanpa sengaja mereka bertemu lagi di rumah sakit—ia tidak menyangka kalau Aileen adalah suster rumah sakit yang juga merupakan asisten pribadi dari dokter Arya. Pertemuan mereka terjadi lagi di keesokan harinya. Pertemuan kali ini juga merupakan suatu kebetulan. Axel tidak sengaja menangkap sosok Aileen di dalam sebuah toko bunga. Yang kala itu dengan lugunya menghirup satu persatu kelopak bunga. Gadis itu sedang sibuk bersama bunga-bunga yang terpajang di dalam sana. Dan entah kenapa Axel merasa terpanggil untuk mendekati dan menjahili suster cantik itu. Yang sebenarnya, bisa saja ia tidak menggubris Aileen, dan memilih untuk berlalu pergi. Namun, sekali lagi. Pesona Aileen ketika berada di antara bunga-bunga segar yang ada di dalam toko itu, membuat Axel terkesima. Axel dengan sengaja menepikan mobilnya. Kedua kakinya begitu antusias berjalan menghampiri Aileen. Ketika Axel sudah berada di dekat Aileen, kedua bola matanya kontan melebar. Manik matanya menangkap rupa Aileen yang terlihat begitu menawan. Begitu dekat hingga setiap seri wajah itu tampak sangat jelas di matanya. Mata Aileen yang tengah terpejam membuatnya tidak sadar akan kehadiran Axel yang sudah sangat dekat dengan dirinya. Gadis itu menyunggingkan senyum manis—dengan tangannya yang saling menggenggam di depan d**a. Senyum Aileen yang sumringah, garis matanya yang begitu indah, serta tubuhnya yang gemulai, membuat Axel tidak mau beralih pandang. Axel tidak menyia-nyiakan pemandangan indah yang ada di depannya. Dengan mata yang berbinar penuh rasa kagum, ia memandang wajah Aileen dengan takjub. Hingga ketika gadis itu mulai membuka matanya, Axel terperanjat. Segera mengambil sikap. Hingga perdebatan terjadi lagi di antara mereka. Sepenggal pengalaman itu membuat Axel tersenyum lucu. Hingga tanpa sadar, sebuah tawa kecil keluar dari mulutnya. Dengan matanya yang masih menatap langit gelap, ia tenggelam dalam fantasinya. Oh, God! Aileen bukanlah wanita termanis yang pernah ia lihat. Namun, rona kepolosan yang tergambar di wajahnya membuat Axel mati dalam lamunan. Dan sekarang, wajah menawan milik Aileen seakan mengikuti arah pikirannya terus. Seri wajah itu tak hanya membayang di pelupuk matanya, tapi juga memenuhi pikirannya. Meski hanya beberapa detik menatap wajah Aileen dari dekat, tetapi cukup membuatnya puas hingga ia harus menelan ludahnya berkali-kali. Axel menghela nafas. Melirik ke samping; ke meja kecil yang ada di dekatnya. Ia tersenyum kecil. Satu tangannya bergerak meraih buket bunga mawar putih yang berada tepat di sampingnya. Ia sengaja tidak memberikan bunga tersebut kepada siapapun. Dan ingin menyimpannya sendiri. Axel menyadari tindakannya itu merupakan suatu hal yang bodoh. Yang baru pertama kali ia lakukan seumur hidupnya. Hanya karena terpesona pada Aileen, ia rela menyimpan buket bunga tersebut. Sebab, buket bunga itu mengingatkannya kepada sosok Aileen. Yang hingga detik ini, pesona wanita itu masih saja terus menghantuinya. Namun, tiba-tiba Axel tersadar. Terperanjat dengan matanya yang melotot. F**k! Ia menjatuhkan rokoknya ke bawah. Bangkit dari rebahan, dan menginjak kasar puntung rokoknya. Huh! Lelaki itu menghembuskan nafas dengan kasar. Duduk dengan tangannya yang saling bergesekan. Ia gelisah. "Bagaimana bisa aku kepikiran terus ama cewek menyebalkan itu!" Axel mengutuk dirinya. Kembali mengambil nafas dalam-dalam. "Apa sebenarnya yang terjadi padaku hingga bisa-bisanya aku seperti ini!" gerutunya sebal. Rahang Axel mengeras. Bibirnya mengatup bersamaan dengan matanya yang terpejam dalam. Bertingkah seperti ingin membuang apa yang ada di otaknya. Ia membuka mata dan menjambak rambutnya dengan kasar. "Akh!" teriaknya, menjatuhkan kedua tangannya ke paha. Mengepal tangannya dengan kuat hingga pembuluh darah di tangannya tampak begitu jelas. Axel berdiri. Mengacak kembali rambutnya. Melirik sekilas ke arah buket bunga yang tergeletak di sofa tempatnya berbaring tadi. "Aileen!" sebutnya. "Aku tau kenapa kau menyukai bunga ini.— Ini bunga mawar kan? Bunga ini sangat persis menggambarkan siapa dirimu sebenarnya ...." Axel diam sesaat. Mengamati dalam-dalam karangan bunga itu. Terlintas senyuman miring di bibir tipisnya. "Cantik,—tapi berduri!" *** Senin pagi. Hari ini Axel kembali pada jadwal pengobatannya. Jadwal pengobatan yang seharusnya dilaksanakan pada siang hari, terpaksa dimajukan karena Axel mempunyai schedule penting yang akan ia hadiri pada siang nanti. Setelah tadi berkonfirmasi dengan dokter Arya melalui telepon, ia akhirnya diminta dokter Arya untuk datang pagi ini. Kini, lelaki itu duduk dengan wajah yang tertunduk sebal. Berhadapan-hadapan dengan asisten pribadi dokter Arya. Siapa lagi kalau bukan— "Tuan Axel Dean Wiguna." Suara lembut itu mendayu-dayu, berbisik manja seakan sengaja ingin menggodanya. Axel yang tengah duduk anteng di kursi konsultasi pasien, rasanya tidak siap menyimak apa yang akan ia dengar dari mulut wanita yang duduk di kursi atasannya. Seperti biasa, wajah tampannya selalu saja disertai dengan air muka yang masam. Bukan karena kondisi kesehatan yang membuat wajah Axel muram tak b*******h—tapi keberadaan Aileen di hadapannya seketika mampu membuatnya menciut. Dari tadi Axel mengumpat dalam hati. Kesal karena dokter pribadinya belum juga datang. Padahal mereka sudah menentukan waktu untuk bertemu pada pukul seperti sekarang ini. Sial! Axel mencela dalam hati. "Apakah Tuan sudah minum obatnya yang kemarin dokter Arya berikan secara teratur?" Aileen tersenyum manis. Akan tetapi senyum itu menyiratkan sebuah ejekan. Dan, Axel tahu itu. "Apa aku harus menjawab pertanyaanmu?" Axel malah balik bertanya. "Ya! Anda memang harus menjawabnya, Tuan!" Aileen memandang Axel dengan matanya yang ia buat sayu. Menopang dagu dengan jari jemari tangannya yang saling bertautan. Dengan sabar menantikan jawaban dari mulut Axel. "Aku akan menunggu dokter spesialis yang menanganiku! Aku hanya ingin berkonsultasi dengan dia!" desis Axel tegas. "Tapi Anda lihat sendiri kan?" Aileen membentang sedikit tangannya. "Dokter Arya masih belum muncul. Dia sedang ada kendala di jalan. Jadi mau tidak mau, untuk sementara waktu aku yang harus mengambil alih pekerjaannya." Aileen menekankan. Menerangkan kepada pasiennya tentang tugasnya sebagai seorang asisten dokter. Lelaki itu tersenyum miring. "Maaf, aku tidak mau ditangani olehmu!" tolaknya. Pernyataan Axel ditanggapi dengan senyuman oleh Aileen. "Begitu kah?" tanya gadis itu menyelidik. Axel memalingkan muka. "Seharusnya kau tau itu!" jawabnya malas. "Aku hanya bertanya, 'apakah Tuan sudah mengkonsumsi obat secara rutin sesuai anjuran dokter?'— Hanya itu, kenapa Tuan tidak mau menjawab?" "Berhenti memanggilku dengan sebutan itu!" kecam Axel. "Aku hanya melakukan tugasku sebagai seorang suster. Aku harus menghormati pasienku. Salahku di mana?" Aileen memekik. Tersenyum meledek. Yang mana membuat Axel semakin merasa jengkel. "Kau—" "Tuan Axel," sosor Aileen santai. Yang sudah tahu kalau pasiennya itu mulai murka. "Aku sudah bersikap baik kepada Anda. Tapi Anda tetap tidak menghargaiku. Kalau memang Anda ingin sembuh dari keluhan yang Anda derita, tanganku ini selalu terbuka. Aku siap membantu Anda menangani keluhan yang Anda alami. Ya—meskipun Anda itu sangat menyebalkan bagiku. Dan, bukankah aku di sini harus bersikap profesional?" Axel diam sejenak. Mendengar pernyataan yang Aileen lontarkan, ia seperti mendapatkan angin segar. "Kau bilang—kau mau membantuku menangani masalahku?" Axel menatap Aileen seakan menantang. Aileen mengangguk. "Tentu saja!" jawabnya datar. "Dengan cara apa kau bisa membantuku? Apa kau sudah siap dengan segala konsekuensinya?" Axel bertanya lagi. Aileen mengernyit. "Konsekuensi?" Ia bertanya balik. "Maksud Anda?— Aku tidak mengerti." "Kau bisa membantuku dengan cara lain bukan?!" Axel mulai tersenyum misterius. "Membantu dengan cara lain? Maksud Anda apa? Aku tidak mengerti. Tolong berbicaralah yang jelas!" desis Aileen. Axel kembali diam sejenak. Lalu, bibirnya melengkung tajam. "Belakangan ini aku merasa tertekan,—aku juga mengalami stress yang berkepanjangan. Apa kau mau jadi temanku?" tawarnya berharap. "Teman?" Aileen mengernyit. "Iya teman!" ulang Axel. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Aileen. Yang sontak membuat Aileen menolak tubuhnya ke belakang. Bersender pada kursi kerja yang ia duduki. Menatap Axel takut-takut. Beruntung sebuah meja kerja menghalangi jarak antara mereka. Axel menyorot tajam mata Aileen yang menantikan ia menuntaskan kalimatnya. "Teman, ran-jang-ku!" bisiknya menjelaskan. Dar! Bagai dilempar kotoran rasanya wajah Aileen. Telinga dan hatinya kontan memanas. Mendengar ucapan yang terlontar dari mulut Axel membuatnya terdiam. Ekspresinya mengeras. Kedua manik matanya menyala, menyorot Axel dengan tajam. Tersirat kebencian yang mendalam di rona matanya. Lelaki itu sama sekali tidak merasa bersalah atas ucapan yang baru saja ia lontarkan. Axel sanggup tersenyum miring—memandang Aileen yang terdiam mematung menahan rasa sakit hatinya. Aileen mendesah. "Aku jadi semakin yakin kalau penyakitmu ini merupakan sebuah kutukan dari Tuhan!" Aileen tak melepas pandangannya dari wajah Axel. "Mulutmu begitu kotor, sama seperti kelakuanmu! Kau pantas mendapatkan penyakit memalukan ini!" cela Aileen, menahan geram. Ia tidak lagi memanggil Axel dengan sebutan 'Tuan' ataupun 'Anda'. Rasa benci dan jijiknya terhadap Axel kembali muncul. Batinnya sakit. Hanya karena ucapan singkat dari Axel, ia merasa seperti terhina. "Apa ada yang salah dari permintaanku tadi? Kenapa kau malah terlihat tidak senang begitu?" tanya Axel sekenanya. Yang mana membuat Aileen semakin ingin meludahi wajah lelaki yang berada di hadapannya. Aileen benar-benar berada di titik kesabaran tingkat tinggi. Jika saja ia tidak berada di jam kerja, mungkin ia akan menampar wajah Axel sekali lagi. Sama seperti yang ia lakukan saat pertama kali bertemu dengan lelaki itu. "Kau memang lelaki bre***ek! Aku nyesal sudah bersikap baik kepadamu!" raung Aileen. Namun, masih dengan nada yang datar. "Kau kira semua wanita itu sama?—Hhh, kau salah!" tandasnya. Axel tidak menjawab. Dengan santainya ia malah menantang tatapan Aileen. Untuk beberapa saat mereka terdiam. Saling menatap tanpa kedip. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Di detik berikutnya, Axel membenarkan posisi duduk. Ia mengalihkan pandangan. Tak lagi memandang Aileen. Wajahnya masih saja datar seperti tidak peka terhadap perasaan yang dirasakan oleh Aileen. Sementara Aileen, masih mengamati ekspresi Axel tanpa kedip. Menahan sakit hatinya akibat ucapan lelaki itu. Bukan tidak ada alasan Aileen bersikap seperti itu. Perkataan Axel tadi sungguh membuatnya merasa seperti direndahkan. Ingin melawan atau menyerang, namun semua itu pasti percuma. Sebab baik secara fisik dan tenaga, Axel jauh lebih unggul dari dirinya. Akan tetapi, jika Axel masih terus bersikap seperti itu padanya setelah ini, Aileen tidak akan segan-segan memukul wajah Axel kembali. Masalah lelaki itu suka atau tidak—itu urusan belakangan. Yang penting ia bisa menyalurkan rasa sakit hatinya pada Axel. Lihat saja, jika kau berkata seperti itu lagi kepadaku, aku tidak akan segan-segan untuk memukulmu. Dan aku tidak akan pernah peduli siapa orang yang aku lawan nantinya! Aileen meraung dalam hati. Cukup bagi gadis itu bersikap sopan pada Axel. Tadinya ia ingin bersikap profesional. Ia juga sudah berusaha sebisa mungkin agar dapat melupakan sakit hatinya yang kemarin pada lelaki itu. Tapi sepertinya, Axel memang tidak bisa diajak untuk bersikap baik. Laki-laki itu selalu saja berucap seenak udelnya. Dan selalu memandang wanita dengan penilaian buruk. Ceklek! Pintu terbuka. Tentu membuat Axel dan Aileen tersentak. Dari balik pintu, dokter Arya muncul. Segera masuk mendekati mereka dengan langkahnya yang sedikit tergesa-gesa. "Maaf, aku terlambat!" ucapnya sambil membuka jaket kulit yang ia kenakan. Baik Aileen dan Axel tidak ada yang menjawab. Ekspresi mereka sama-sama datar. Hanya memandang dokter Arya yang sibuk dengan pakaiannya. Aileen segera bangkit dari duduknya. Sebab dokter Arya sudah mengenakan seragam putihnya. Gadis itu berpindah ke sisi sebelah kanan, tepatnya di samping kursi dokter Arya. Ia mempersilakan dokter Arya untuk duduk dengan raut wajahnya yang muram. "Em ...." Dokter Arya menarik kursi. Memandang wajah Aileen dan Axel secara bergantian. Ia bingung kenapa dua anak manusia itu terlihat datar tanpa menunjukkan ekspresi sedikitpun. "Apa ada sesuatu yang terjadi saat aku belum tiba di sini?" tanyanya hati-hati. Duduk di tempatnya. Kembali memandang Aileen dan Axel secara bergantian. Hening. Aileen dan Axel tetap tak mau bersuara. Keduanya hanya diam, menundukkan pandangan, meski sesekali melirik antara satu sama lain. "Eum ...." Dokter Arya membenarkan posisi duduknya. "Baiklah kalau begitu. Sepertinya aku akan melanjutkan tugasku." Dokter Arya mencoba mencairkan suasana. Satu tangannya terulur meraih bolpoin yang ada di sudut mejanya. Membuka laci meja dan mencari duplikat rekam medis Axel. Sementara Aileen masih mencoba menahan amarahnya. Dadanya terasa sesak. Sebab emosinya tidak tersalurkan. Namun, tidak untuk Axel. Lelaki itu malah melirik Aileen melalui ekor matanya. Tersenyum miring dengan satu alisnya yang terangkat. "Aileen. Ini belum seberapa! Ini baru ucapan. Kau akan mendapatkan perlakuan kasar dariku lebih dari sekedar ucapan yang aku lontarkan. Kau lihat saja nanti!" Gerutunya dalam hati. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN