"Baiklah, Axel. Semoga pada pertemuan kita selanjutnya, kondisimu akan membaik," ucap dokter Arya, tersenyum tipis.
Mereka tengah berjalan beriringan. Sama-sama melangkah keluar ruangan dokter Arya.
"Makasih, Dok," balas Axel ramah. "Kalau begitu, aku izin untuk kembali ke kantor dulu," pamitnya, menghentikan langkahnya sejenak.
"Baiklah. Sukses untuk karirmu, ya!" ucap dokter Arya sembari mengulurkan tangannya pada Axel.
Axel menyambut tangan itu. "Sama-sama, Dok!" balasnya, menjabat erat tangan dokter Arya.
Dokter Arya mengangguk. Lalu mempersilakan pasien yang juga temannya itu untuk kembali pada kegiatannya.
Axel segera melangkahkan kaki meninggalkan ruangan dokter pribadinya itu. Yang mana baik dokter Arya dan juga Axel sama sekali tidak menyadari, bahwa ada seorang wanita licik yang telah berhasil menguping pembicaraan mereka. Wanita itu sengaja menempel di tembok bagian sudut ruangan. Menguping pembicaraan putra tirinya dan dokter Arya sejak tadi.
Percakapan antara Axel dan dokter Arya, ternyata telah didengar oleh Lusian, ibu tiri Axel. Wanita itu sengaja menguping pembicaraan mereka ketika ia tidak sengaja melihat Axel masuk ke dalam ruangan dokter Arya. Tentu Lusian tahu dan sangat mengenal dokter Arya. Sebab, ia adalah sahabat Axel sejak dulu. Namun, bukan Lusian namanya kalau ia tidak ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Axel.
Ia berpikir, kenapa Axel harus menemui temannya disaat jam kerja seperti ini. Bukankah mereka hanya akan bertemu diluar jam kerja? Itu juga tidak di ruangan pribadi. Mereka selalu bertemu di luar atau di rumah salah satunya.
Dan karena pemikirannya itu, Lusian menjadi penasaran. Ia kemudian mendekati ruangan dokter Arya. Merapatkan tubuhnya pada dinding penyangga pintu. Mengintip sesekali dari celah jendela. Telinganya begitu awas mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Axel, dokter Arya, dan bahkan suara yang keluar dari mulut Aileen.
Ketika Lusian sudah mendengar semua yang mereka perbincangkan, seketika ia tersenyum. Sebuah senyuman yang misterius. Tentu ada maksud dibalik senyuman setannya. Lusian melipat tangannya ke d**a. Memandang lurus dengan pandangan kosong.
"Jadi, kau merupakan pasiennya dokter Arya, Axel?!" gumamnya dalam hati. "Aku kira hubungan kalian hanya sebatas berteman!" Lusian terkekeh.
***
Axel dengan gagahnya berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Penampilannya yang sederhana, namun berkelas membuat dirinya menjadi pusat perhatian dari para wanita yang ada di sekitaran rumah sakit tersebut. Namun, begitulah Axel. Meski ia adalah seorang cassanova yang tentunya sering bergonta-ganti pasangan, akan tetapi ia tidak menggubris para wanita yang tengah meliriknya saat ini. Dengan cuek, ia melanjutkan langkahnya keluar dari rumah sakit.
Ketika tiba di halaman rumah sakit yang memang cukup luas tersebut, Axel tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ia urung menuju parkiran. Sebab matanya menangkap sosok yang tidak asing di matanya.
"Di—dia kan—si wanita tua yang pernah meramal masa depanku!" celetuk Axel pada diri sendiri.
Ya, sepertinya ia tidak salah. Axel sangat yakin pada penglihatannya. Tak jauh di sudut sana, tepatnya di bawah sebuah pohon yang cukup rindang, seorang wanita tua duduk santai bersender pada batang pohon. Terlihat begitu menikmati semilir angin yang membelai wajahnya. Wanita tua itu begitu nyaman dengan posisinya.
Tidak mau berpikir panjang, Axel segera mendekati wanita itu. Setelah berada di sisi sebelah kanan wanita itu, Axel merukukkan tubuhnya.
"Maaf, apakah kau masih mengenaliku?" sapanya pelan. Membuat wanita tua itu tersentak.
Wanita itu menolehkan pandangannya pada Axel .
"Tentu. Aku masih sangat mengenalimu." Wanita tua itu menjawab datar. Ia membenarkan posisi duduknya. Lalu, kembali memandang Axel tanpa ekspresi.
"Baguslah berarti aku bisa bertanya banyak kepadamu." Axel tersenyum miring.
"Bertanya?" Alis wanita itu tertaut. "Kau ingin menanyakan apa padaku?"
"Jangan pura-pura tidak tau! Bukankah kemarin kau yang menghampiriku dan mengatakan kepadaku, kalau aku akan menikah dengan wanita terakhir yang pernah aku tiduri. Apa kau tidak ingat itu?"
"Ya, aku ingat." Wanita tua itu kembali menjawab dengan datar.
"Kalo begitu, aku minta kepadamu, tolong jelaskan secara rinci kepadaku, siapa wanita yang akan menjadi istriku kelak?" pinta Axel mendesak.
"Aku tidak bisa merincikan wanita itu karna aku bukan Tuhan." Wanita itu menegaskan.
"Trus, kenapa kau berani sekali meramal dan mengatakan itu kepadaku?! Jika kau tidak dapat memastikan ucapanmu, untuk apa kau menasehatiku!" pekik Axel tidak terima.
"Aku tidak dapat memastikan siapa wanita yang akan menjadi istrimu. Tapi semua yang aku katakan tergambar jelas di wajahmu!" lontar wanita tua itu lagi.
Hh!
Axel menghela nafas berat. "Seharusnya aku sadar kalau kau ini adalah wanita gila!" hinanya sesuka hati.
Tidak ada respon keras di wajah wanita tua itu. Mendengar hinaan Axel, ia hanya tersenyum tipis dan sekilas.
"Terserah apa yang ingin kau katakan tentang aku, anak muda! Yang jelas, aku tetap menyarankan kepadamu, hati-hatilah memilih partner ranjang. Kau tidak akan pernah tau siapa wanita yang berhasil merebut hatimu nanti," tutur wanita tua itu dengan santai. Tidak sedikitpun ia memasang raut wajah yang masam ketika ia mendapat hinaan dari Axel.
Wanita itu kemudian mencoba bangkit dari duduk. Mengambil tongkatnya yang sengaja ia sandarkan di batang pohon. Meski dengan kesusahan karena ia adalah seorang yang lanjut usia, tetapi akhirnya ia berhasil berdiri sendiri. Wanita itu membalikkan badan, membelakangi Axel dan hendak berlalu.
"Tunggu!" Axel mencegah.
Wanita tua menghentikan gerakan kakinya. Kembali berbalik menatap Axel.
"Kau tidak bisa pergi begitu saja sebelum memberi tahuku tentang ciri-ciri wanita itu. Aku yakin kau tau ciri-ciri wanita yang akan menjadi istriku nanti. Kau pasti sengaja menyembunyikannya dariku. Iya kan?!" Axel memekik tajam.
"Aku tidak menyembunyikan sesuatu darimu Tuan muda. Kaulah yang seharusnya mencari dan memecahkan teka-teki ini. Kau yang menjalani hidup, maka kaulah yang harus berusaha." Wanita tua itu berujar.
Axel mengernyit. Tentu saja masih tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh wanita tua itu. Dan, wanita itu juga paham, kalau pemuda yang ada di hadapannya sedang berusaha keras mencerna apa yang baru saja ia lontarkan.
Wanita itu tersenyum kecil.
"Jodohmu sudah semakin dekat, Tuan Muda! Maka berhati-hatilah dalam mengambil sikap!" celetuk wanita tua itu sembari menepuk pelan pundak Axel. Dan anehnya, Axel tidak merasa terganggu atas perlakuan itu.
"Apa aku akan punya anak darinya?" Axel memberanikan diri untuk bertanya. Sebab pikirannya kembali pada ucapan yang wanita tua itu lontarkan beberapa hari yang lalu. Ucapan yang selalu terngiang di telinganya selain, wanita dan ranjang!
"Sudah aku katakan kepadamu bukan? Kalau aku ini bukan Tuhan! Aku tidak tau seluruhnya apa yang akan terjadi kepadamu. Kelebihanku hanya bisa membaca dan menebak apa yang tergambar di raut wajah setiap orang. Untuk kepastiannya, hanya Tuhanlah yang tau." Usai mengakhiri kalimatnya, wanita itu kembali berbalik, kemudian berlalu pergi dari hadapan Axel.
"Apa-apaan maksudnya ini!" cetus Axel tak mengerti.
Wajah Axel mengerut. Mulutnya terbuka dan menganga tak karuan. Sambil memandang punggung wanita tua yang telah berlalu itu, dia berdecak, "tidak mungkin! Apa yang dia maksud itu adalah—Melva?!" Axel mengernyit. Kemudian menundukkan kepalanya.
Sudah pasti Axel berpikir ke sana. Sebab saat ini Melva lah yang sedang dekat dengannya, meskipun kedekatan itu hanya keinginan dari satu pihak. Ditambah lagi ucapan Papanya yang menyarankan kalau ia sebaiknya menikah dengan Melva.
"Tidak! Aku tidak akan menikah dengannya! Aku tidak sudi mempunyai istri bekas pakai dari laki-laki lain. Aku hanya mau, ibu dari anak-anakku nanti adalah seorang wanita yang masih suci. Yang sama sekali belum dijamah oleh laki-laki lain. Ya—aku tetap akan menentang saran Papa!" gerutunya bertekad.
Setelah mengumpat dalam hati, Axel kembali mengangkat wajahnya. Mencari sosok wanita tua yang tadi berdialog dengannya. Axel menyapu pandangannya ke setiap penjuru halaman rumah sakit. Namun, sepertinya sosok itu sudah menghilang.
"Kemana perginya wanita tua itu?!" desis Axel. Memutar badannya, mencari sesuatu yang tidak lagi ia lihat.
"Akh, siall!" umpatnya kesal.
***