"Ini, Tuan!" Pelayan toko memberi sebuah buket bunga kepada Axel.
Axel mengambilnya. "Terima kasih!" ucapnya datar.
"Dan, ini kartu ATM Tuan." Kembali pelayan mengulurkan tangan, mengembalikan ATM card dan memberikan struk belanja kepada Axel. "Terima kasih sudah mampir, Tuan!" ucapnya ramah.
"Hem!" angguk Axel. Ia memeluk buket bunga itu, kemudian segera bergerak dan melangkah menuju pintu.
Satu tangannya terulur menggapai ganggang pintu. Ia membuka pintu yang secara keseluruhannya terbuat dari kaca. Tak hanya pintu, dinding toko itu juga hampir sembilan puluh persen semuanya terbuat dari kaca. Arsitektur itu membuat penglihatan menjadi tembus pandang. Baik dari luar, maupun dari dalam.
Itu sebabnya kedua manik mata Axel tadi tidak sengaja menangkap keberadaan Aileen dari jauh.
Axel melihat Aileen sedang asik bercengkrama dengan bunga-bunga indah di sana. Senyam-senyum sendiri sembari mengendusi harumnya kelopak bunga-bunga yang ada di dalam toko itu. Sifat jahilnya seketika muncul. Axel yang kala itu tengah mengemudikan mobil, langsung menghentikan laju mobilnya. Menepikan mobil tersebut ke pinggir jalan tepat di depan toko bunga Lily Flower's. Lalu, kaki jangkungnya begitu antusias masuk ke dalam toko bunga itu untuk mendekati mangsanya.
Apa lagi kalau bukan karena ingin menjahili Aileen. Gadis yang dirasanya paling menyebalkan setelah Melva.
Oh, God!
Axel terdiam sejenak. Melirik barang yang baru saja ia beli. Merasa aneh pada dirinya sendiri yang sepertinya peduli dengan orang lain. Yang juga sebenarnya tidak penting untuk ia ladeni.
Kini, lelaki itu berdiri tegak di depan toko. Berdecak kesal pada dirinya sendiri.
"Untuk apa juga aku beli bunga ini." Axel menatap hampa buket bunga yang berada di dalam genggaman tangannya. "Masa iya bunga secantik ini akan aku persembahkan untuk si bre****k itu!" cetusnya, seakan tidak rela.
Lelaki itu ingin marah pada diri sendiri, tepatnya ketika pikirannya tertuju pada saudara tirinya. Ia memang sangat tidak menyukai dua orang asing yang sudah sejak lama masuk menjadi bagian keluarganya. Axel yang mempunyai pengalaman traumatis pada ibu dan adik tirinya itu, sama sekali tidak pernah menunjukkan sikap baiknya. Bahkan, untuk memikirkan mereka saja, Axel tidak sudi.
Kedua manik mata lelaki itu lekat-lekat memandang buket bunga mawar putih yang ia rebut dari Aileen. Sebegitu cantik dan segarnya bunga itu, hingga ia tidak rela untuk memberikannya kepada Evan, saudara tirinya.
"Akh! Tidak-tidak!" Axel menggelengkan kepala. Menolak nuraninya. "Aku tidak akan memberikan bunga ini pada siapapun, apalagi untuk si baj***an itu!— Apaan, romantis sekali aku memberikannya sebuket bunga. Emang dia siapa?! Kalo aku datang dengan membawa bunga ini, ntar yang ada kedua ib**s itu bakal tersanjung atas perlakuanku. Dan menganggapku telah luluh pada mereka," pikirnya pelik.
Wajah Axel mengerut. Ia menarik bibir bawah di antara gigi-giginya.
Karangan bunga mawar putih yang ia rebut dari Aileen memang terlihat begitu cantik dan segar. Indah dipandang mata dengan hiasan pita pink di setiap batangnya.
Ah— bunga ini benar-benar membuatnya teringat pada Aileen. Bunga ini seharusnya memang pantas berada di tangan wanita itu.
Bunga mawar. Meskipun ia tumbuh dengan batang berduri tajam. Akan tetapi tidak menutupi kemolekannya. Bunga ini tetap terlihat indah dan menarik. Apalagi jika dalam keadaan segar dan dirangkai dengan baik. Dihiasi pita-pita berwarna warni. Semakin menambah daya tarik dari bunga tersebut.
Sepertinya, begitulah gambaran Aileen di mata Axel, si gadis lucu dan menyebalkan menurut pandangannya. Gadis itu memiliki wajah yang cantik. Tubuh yang semampai. Dan juga suaranya yang terdengar begitu nyaring ketika sedang kesal. Namun, ia tidak mudah ditaklukkan. Meskipun ia berhadapan dengan seorang pria tampan dan mapan sekelas Axel. Dan nyatanya, Aileen terlihat begitu menggemaskan ketika sedang marah.
Aileen, ah—
Axel terperdaya.
Tunggu dulu!
Lucu? Menggemaskan? Apa-apaan ini!
Axel mengernyit tak percaya. Apa yang telah terjadi padanya hingga ia bisa berpikir kalau Aileen adalah seorang gadis yang lucu juga menggemaskan.
"Akh!" Ia menjambak kasar rambutnya. Gerahamnya bergemelatuk. Masih tak percaya kalau ia bisa memikirkan pesona gadis itu. Seumur-umur, baru kali ini rasanya ia peduli kepada seseorang terutama pada wanita. Meskipun rasa peduli itu hanya sebatas untuk menjahili. Dan—yah, harus ia akui, Aileen memang tidak mudah untuk ditaklukkan.
***
Rumah Sakit Royal Prima. Axel masih dengan wajah bantalnya, berjalan dengan malas menuju kamar rawat inap tempat saudara tirinya di rawat. Tadi Tuan Lutfi sudah mengirimkan sebuah chat pribadi yang berisi nomor kamar rawat inap Evan. Lutfi memaksa putra kandungnya agar bisa menyempatkan diri menjenguk Evan, anak tirinya.
Akan tetapi, Axel tampak tidak membawa apapun. Tidak ada satu pun barang yang ia jinjing untuk ia beri kepada Evan. Ia datang dengan tangan kosong. Sementara bunga yang ia beli tadi, sengaja ia tinggalkan di dalam mobilnya.
"Akhirnya, kau datang juga. Papa senang melihatmu seperti ini." Lutfi yang kebetulan tengah berada di luar kamar rawat inap, dengan antusias menyambut Axel yang sudah berada di hadapannya.
"Mana si breng—" Axel menahan kalimatnya. "Em, maksudku Evan."
Cih!
Ingin rasanya Axel meludah ketika ia menyebut nama lelaki itu.
"Ada di dalam! Mari ikut Papa!" ajak Lutfi, merangkul pundak Axel.
Axel melengos. Betapa malasnya ia kala itu. "Pa!" ucapnya mulai keberatan. "Kenapa aku harus jenguk dia sih? Apa anak Papa itu sekarat?" ceplos Axel sesukanya.
"Axel, Jaga ucapanmu!" sergah Lutfi terperanjat. "Biar gimana pun, dia itu adikmu! Kau tidak boleh berbicara sembarangan seperti itu!"
"Bodo amat!" balas Axel cuek.
"Axel!" Lutfi menatap keras putranya. Seakan memberi peringatan kepada putranya agar berhati-hati dalam mengambil sikap.
"Ya trus, fungsinya aku di sini untuk apa, Pa?"
"Papa hanya ingin kau memberikan semangat pada adikmu! Siapa tau dengan kehadiranmu kondisinya akan lebih membaik," terang Lutfi.
"Gak salah, Pa?" Axel mengernyit tajam. "Bukannya dengan kehadiranku ini malah akan membuat anak Papa itu semakin merasa gelisah?"
"Maka itu, Papa mohon kepadamu untuk menyemangati Evan."
"Pa! Papa kesambet se*an apa sih? Bisa-bisanya nyuruh aku ngelakuin ini!" protes Axel tidak setuju.
"Axel, sudahlah jangan banyak tanya! Papa hanya ingin hubunganmu dan adikmu membaik. Tidak dingin seperti ini!" Lutfi menekankan kalimatnya.
Axel membuang wajah. Masih saja enggan melangkah untuk masuk menemui adik tirinya itu.
Lutfi menghela nafas berat. "Sudahlah, Axel! Kau kan sudah berada di sini. Apa salahnya kalau kau masuk dan temui adikmu itu!" bujuknya.
Axel mengacak rambutnya. "Ckk! Males, tau gak!" Lalu, dengan langkahnya yang gontai, ia mencoba masuk ke dalam kamar rawat inap itu.
Jika bukan karena ancaman Papanya, mungkin Axel pagi ini tidak akan menginjak rumah sakit itu. Lebih baik santai di rumah. Tidur, atau apalah. Yang penting jauh dari orang-orang yang menyebalkan. Axel menuruti kemauan Papanya hanya karena tidak ingin dua manusia yang ia anggap sebagai benalu itu berhasil mendapatkan perhatian khusus dari Papanya.
***
Evan Putra Wiguna. Seorang pemuda berusia sekitar 22 tahun. Berperawakan tinggi dan tidak kalah tampan dari Axel. Semua yang ada di dirinya seakan menjadi nilai jual tersendiri. Namun, semua itu harus tertutupi oleh sikap dan sifatnya yang buruk. Kelakuannya tak jauh beda dengan ibu kandungnya, Lusian.
Saat ini, pemuda itu tengah terbaring di sebuah ranjang rumah sakit. Jarum infus tertanam di punggung tangan kanannya. Sebuah alat bantu pernapasan pun tampak menghiasi bagian hidungnya. Ia terbaring tak berdaya.
Namun, bagi laki-laki muda sepertinya, tentu itu bukanlah hal yang harus dicemaskan. Karena jika ditinjau secara detail, kecelakaan yang ia alami hanya menggoreskan luka di bagian pelipis dan lengannya saja. Namun, karena ia adalah bagian dari keluarga yang cukup berada, maka ia mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik.
Setelah mendapati Axel menjenguk putranya, Lusian mulai memasang wajah manis di hadapan anak tiri dan suaminya itu.
"Makasih Axel. Kau sudah mau menyempatkan diri untuk menemui adikmu ini!" ucap Lusian, menyunggingkan senyum kebohongannya.
Axel tersenyum miring.
"Biasa aja!" jawabnya tanpa memandang Lusian. "Gak ada yang spesial dari kehadiranku!"
Lagian manja amat, sih! Luka kecil gitu aja pake dirawat segala. Mana kamarnya VIP lagi!
Axel mengumpat dalam hati.
Sudut bibir Lusian terangkat. Wajahnya kontan memberungut. Wanita itu melirik putranya yang terbaring dengan wajah kecut. Begitupun Evan, ia juga merasakan hal yang sama seperti ibunya. Merasa kalau sebenarnya Axel tidak sudi jika berada di tengah-tengah mereka. Dan keduanya juga tahu kalau kedatangan Axel kemari karena paksaan dari Lutfi. Bukan karena niat baiknya.
Sedangkan Lutfi, lagi-lagi hanya bisa membuang nafas secara kasar melihat sikap Axel yang tak jua kunjung berubah. Selalu menampilkan sisi buruk pada istri dan anak tirinya.
"Hem, ya—itu menurutmu." Lusian mencoba mencairkan suasana. "Tapi, menurut Mama dan Evan, kehadiranmu ini sangat berharga, Axel!" pujinya memaksakan senyum.
"Berharga apanya!" gerutu Axel cuek.
Lusian kembali terdiam. Meski sangat tidak menyukai Axel, namun ia berusaha bersikap selembut mungkin ketika di hadapan Lutfi, suami keduanya.
Tidak mau berlama-lama di tempat itu, Axel memilih pamit undur diri.
"Udah kan, Pa! Gak ada lagi yang mesti aku liat. Lagian ni bocah sakitnya gak begitu parah kok! Cuma luka ringan. Buat apa pakek dirawat segala!" sembur Axel sesukanya.
Lutfi dan Lusian saling melirik. Namun, tak berniat untuk menjawab ucapan Axel. Sementara Evan, ia memberengut. Lelaki itu hanya dapat menahan emosinya yang berkecamuk.
"Oke, aku pamit! Males banget lama-lama di sini!"
Di ruangan yang dihuni oleh dua orang penjilat.
Pikir Axel.
Axel berbalik, bergerak menuju pintu.
"Axel." Lutfi mencegah. Namun, percuma. Putranya itu sama sekali tidak menggubris lagi panggilan darinya. Axel sudah beranjak dari tempatnya.
Ketika langkah Axel tiba di ambang pintu, tangannya segera terulur—ingin meraih ganggang pintu. Namun, ia tersentak kaget. Tiba-tiba seseorang sudah membuka pintu itu dari luar.
"Selamat si—" Seorang suster yang wajahnya tidak asing di mata Axel, tiba-tiba masuk. Tercegang kala melihat pria yang ada di hadapannya.
Aileen, suster paling aktif di rumah sakit itu—yang juga merupakan suster yang menangani Axel—datang dengan membawa sebuah meja dorong kecil yang berisi berbagai macam jenis obat-obatan di atasnya.
Tak berbeda dengan Aileen, Axel juga sama kagetnya. Keduanya saling memandang dengan ekspresi yang mengeras.
"Kau!" seru Axel.
"Kau?" Aileen membeo.
Untuk beberapa detik lamanya mereka termangu.
"Sial!" Axel mengibaskan tangannya ke udara. "Kenapa aku harus bertemu dengan gadis menyebalkan sepertimu lagi, sih!" raungnya.
"Apa?" Aileen mulai terpancing. "Gadis menyebalkan?— Kau pikir aku mau bertemu lagi dengan pria sepertimu!" celanya.
"Lalu kenapa kau selalu saja muncul di hadapanku!"
"Kau kira aku sengaja?" Aileen melotot kesal. "Jika aku tau kau sedang berada di sini, mungkin aku tidak akan masuk ke ruangan ini sebelum kau pergi!" tandasnya.
"Aku tau kau hanya mencari alasan. Kau pasti ingin memancingku. Kau ingin membalas dendam padaku kan?" tebak Axel sekenanya.
"Balas dendam??" Aileen terperanjat. "Apa maksudmu?!"
"Kau marah karna aku berhasil mengambil lebih dulu buket bunga itu kan?" Sudut bibir Axel terangkat. Tersenyum miring pada gadis yang ada di hadapannya.
"Hah?" Aileen berkacak pinggang. "Kau kira aku peduli tentang itu?—Asal kau tau ya, aku bahkan sudah melupakan peristiwa sial yang tadi pagi aku alami. Bagiku, pertemuanku denganmu hanyalah sebuah malapetaka! Malapeka yang wajib aku lupakan dan aku hindari!" sembur Aileen.
Geraham Axel bergemelatuk. Matanya menyorot Aileen dengan kesal. Namun Aileen, terlihat tidak menghiraukan sorot mata pemuda itu.
"Lagian, siapa juga yang mau bertemu dengan orang sepertimu!" lanjut Aileen. Ia menilik Axel dari ujung kaki hingga ujung rambut. Kemudian tersenyum miring. "Lihat saja penampilanmu. Acak-acakan begini. Wajahmu juga masih kusut. Seperti orang yang baru bangun tidur. Kau pasti baru saja menghabiskan malam bersama wanita bayaranmu. Lalu, tidurmu tidak cukup pulas karna itu. Benar kan ...?!" ejek Aileen tanpa beban.
Axel menganga. Ia mengernyitkan keningnya.
"Jaga bicaramu, Nona!" hardiknya sambil melirik Papanya yang serius menyaksikan perdebatannya dengan Aileen. Terlihat Lutfi seperti sedang menunggu jawaban darinya. Pria paruh baya itu melipat kedua tangannya ke d**a. Menantikan respon Axel selanjutnya.
Pandangan Axel kembali lagi pada Aileen. Gadis itu melipat kedua tangannya ke d**a. Menaikkan satu alisnya. Sama seperti Lutfi, ia juga menunggu jawaban dari Axel.
"Kau menyuruhku untuk menjaga ucapanku. Tapi kau sendiri selalu saja berkata sesuka hatimu. Apa kau tidak menyadari itu, hem?—Kau sungguh munafik, Tuan muda!"
"Dasar, kau!" Axel menunjuk wajah Aileen.
"Apa? Kau mau apa? Kau mau marah padaku?" pekik Aileen menantang.
"Akh!" Axel menjatuhkan tangannya secara kasar. Mengacak rambutnya dengan kesal. Lalu, kembali mengintimidasi Aileen melalui tatapan matanya.
"Kau lihat saja nanti! Aku akan membalasmu dengan membuatmu malu. Bahkan lebih memalukan dari kata-katamu itu!" ancam Axel tegas.
Aileen tak merespon. Ia tersenyum miring. Sementara Axel, dengan sejuta rasa kesal di hati—kembali melanjutkan langkah kakinya. Berjalan menjauh dari orang-orang yang membuatnya semakin stress!
Aileen, menyunggingkan senyum lebar. Senyum yang penuh kemenangan. Sebab, rasa kesalnya tadi pagi terhadap lelaki itu telah terobati. Kini, gantian lelaki itu yang merasakan kekesalan yang luar biasa. Sama seperti yang ia rasakan tadi pagi. Dan yang lebih lucunya, dendamnya terbalas tanpa ia rencanakan sama sekali.
****