8. Resep Obat

1185 Kata
Setelah berhasil menghentikan perdebatan antara asisten dan pasiennya, dokter Arya kemudian kembali berpacu pada tugasnya. Ia mengambil bolpoin dan menuliskan beberapa resep obat yang akan dikonsumsi oleh Axel; pasien pribadinya. "Aileen." "Ya, Dok!" "Tolong kamu ke bagian farmasi dan segera ambilkan obat sesuai dengan resep yang saya tulis ini!" Dokter Arya menyerahkan selembar kertas kepada Aileen. Aileen yang berdiri di samping dokter Arya segera meraih kertas tersebut. "Tolong sedikit dipercepat! Karna pasien kita ini sedang berada di jam kerja," perintah dokter Arya. Wajah Aileen kontan merengut. Meski tidak menyukai perlakuan khusus dokter Arya kepada pasiennya yang satu itu, namun sebagai asisten, Aileen tetap harus melaksanakan apa yang diperintahkan oleh atasannya. "Baik, Dok!" angguk Aileen, segera beranjak. Berjalan pelan sambil melirik secarik kertas yang ada di tangannya. Kertas resep itu bertuliskan beberapa macam jenis obat-obatan yang harus ia ambil di bagian farmasi. Dahi Aileen mengernyit. Membaca tulisan dokter Arya dengan serius. Ia termegap saat menyadari resep obat yang tertulis di kertas adalah jenis obat-obatan khusus untuk terapi hormonal. "Dok!" Aileen berbalik, menoleh ke arah dokter Arya. Gadis itu memandang atasannya dengan raut wajah yang menyelidik. Ingin memastikan apa yang ia ketahui dari tulisan dokter Arya. "Bukankah ini obat untuk—" "Ssstt ...!" Dokter Arya meletakkan jari telunjuknya ke bibir. Mengisyaratkan kepada Aileen agar tidak melanjutkan ucapannya. Sebab dokter Arya tahu apa yang ada di pikiran Aileen saat ini. Dan bagaimanapun juga, sebagai petugas medis mereka harus bisa menjaga privasi pasien. Aileen tertegun. Respons yang ditunjukkan dokter Arya seakan membenarkan apa yang ada di pikirannya. Ternyata pasien mereka kali ini mengalami keluhan yang mengarah pada masalah kesuburan. Bibir manis gadis itu melengkung, melukiskan sebuah senyuman tipis yang menyiratkan sebuah ejekan. Ia berbalik dan kembali melangkah pelan. Saat langkahnya tiba di sisi kanan Axel, Aileen menoleh, lalu dengan sengaja meledek pria itu dengan senyuman yang menjengkelkan. Kedua alis Axel tertaut. Wajahnya memberungut. Tidak terima dengan ledekan yang Aileen layangkan. Dengan sigap ia berdiri, bersiap menerkam Aileen yang telah lancang meledeknya. "He'em!" Tetapi, dokter Arya dengan cepat berdehem. Menatap keduanya dengan sinis. Yang mana membuat Axel mengurungkan niatnya untuk kembali menyerang Aileen. Sementara, Aileen tetap tenang dan masih saja memandang Axel dengan alisnya yang terangkat satu. Seakan benar-benar ingin menantang Axel untuk mengambil sikap. Melalui isyarat mata, dokter Arya menunjuk kursi yang tadi Axel duduki. Mengisyaratkan kepada pasiennya itu agar kembali duduk dan bersikap tenang seperti biasa. Air muka Axel perlahan merenggang. Ia berusaha sebisa mungkin mengendalikan amarah. Axel sadar kenapa Aileen bersikap demikian kepadanya. Asisten dokter Arya itu sudah pasti sudah mengetahui keluhannya melalui resep obat yang dokter Arya berikan. Beuh! Axel menghembuskan nafas berat. Sebenarnya merasa malu pada keluhannya ini. Dengan malas ia kembali duduk. Menundukkan pandangan karena dokter Arya masih saja mengamati sikapnya. Axel mencoba menahan diri atas perangai Aileen yang membuatnya murka. Sesekali ia melirik Aileen melalui ekor mata. Gadis itu tak jua melenyapkan senyum cemooh dari bibirnya. Axel sadar, Aileen bersikap demikian pasti karena gadis itu mengetahui keluhan yang ia derita. Kenyataan itu sungguh membuat Axel malu dan marah. Sebab sekarang yang menangani dirinya bukan hanya dokter Arya, tapi juga Aileen; gadis menyebalkan yang ia temui di pinggir jalan beberapa jam yang lalu; yang juga berprofesi sebagai asisten dari dokter pribadinya. Sungguh suatu kebetulan yang sangat ia benci! Tetapi bukankah memang sudah sewajarnya Aileen harus tahu tentang semua keluhan yang dialami oleh Axel? "Aileen?" sentak dokter Arya kepada Aileen yang masih saja berdiri tegak di samping Axel. "Ah, iya Dok!" Aileen terkaget. Senyum sinisnya memudar seketika. "Tunggu apa lagi?" sindir dokter Arya dengan alisnya yang terangkat satu. "Ba-baik, Dok!" angguk Aileen, tersenyum canggung. Kedua kaki jenjang Aileen segera melangkah menuju pintu. Sebelum menggapai daun pintu, ia kembali menoleh ke Axel. Aileen sadar kalau laki-laki itu masih saja melirik gerak-geriknya dengan segenap kejengkelan yang hakiki. Well, sifat jahil Aileen muncul kembali. Yang ada di otaknya saat ini adalah, ingin membuat Axel semakin kesal melalui senyuman dan bahasa tubuhnya. Ketika pandangan mereka bertemu, Aileen kembali menyunggingkan senyum cemeehnya. Sejurus kemudian, lidahnya terjulur kepada Axel yang menatapnya dengan tatapan elang. "s**t!" Axel bangkit. Menghantam meja dengan kepalan tangan. Menyolot kepada Aileen dengan wajah yang luar biasa murka. Menyadari itu, Aileen segera membuka pintu. Bersiap melarikan diri dari amukan Axel. Sebelum kembali menutup pintu, ia sempat-sempatnya mengibaskan rambut dengan gerakan penuh kemenangan, lalu berlalu dari hadapan mereka dengan tawanya yang menggelar. Ingin rasanya Axel mengejar gadis menyebalkan itu. Tapi lagi-lagi ia sadar, ada dokter Arya yang sedang duduk bersamanya saat ini. Mengamati setiap tingkah lakunya, mengamati setiap ucapannya. Tidak mungkin rasanya ia melakukan hal yang semena-mena di tempat ini. Sebab meskipun ia adalah seorang pria arrogan, tetapi ia juga masih punya etika. Ada saatnya ia menunjukkan sikap wibawa kepada orang yang seharusnya ia hormati. Axel harus bisa menahan diri dari orang-orang yang membuatnya kesal. Dan tidak lagi mudah terpancing pada emosi hanya karena masalah sepele. Sekarang ia harus dapat melakukan itu. Sekali lagi, semua itu hanya karena ia ingin menghormati dokter Arya sebagai sahabat sekaligus sebagai dokter pribadinya. Karena dokter Arya adalah orang yang paling berpengaruh dalam hidupnya. Axel mendengus. Mencebik kesal. Sedikit merasa gelisah. Bayang-bayang wajah Aileen dengan ekspresi meledek masih saja memancing emosinya. Melihat kegelisahan Axel, dokter Arya tertawa kecil seraya menggeleng-gelengkan kepala. "Jangan terlalu gampang terbawa emosi Axel. Aku tahu kau masih labil, tapi setidaknya cobalah untuk menahan diri dari emosi yang selalu saja menggedor-gedor akal sehatmu!" tandas dokter Arya. Tangannya terulur, mengambil beberapa berkas yang terletak di sudut meja, lalu menceklis bagian-bagian tulisan yang tertera di berkas-berkas itu dengan bolpoin. Axel tak menjawab. Ia hanya diam dalam kekesalan yang mendera. Lima belas menit berlalu setelah Aileen meninggalkan ruangan dokter Arya. Gadis berkulit putih itu akhirnya kembali dari pusat farmasi dengan menjinjing sebuah Eco Bag yang berisi obat-obatan di tangannya. "Permisi!" Wajah Aileen muncul dari balik pintu. Tersenyum sumringah. Berjalan masuk ke ruangan dengan santai seperti tidak ada masalah apapun. Ia mendekati dua orang pria yang duduk saling berhadapan. "Ini Dok obatnya." Aileen menyerahkan Eco Bag itu pada dokter Arya. "Terima kasih, Aileen!" Dokter Arya meraihnya dari tangan Aileen. "Sama-sama, Dok!" seru Aileen ramah. "Saya senang bisa meringankan pekerjaan orang lain. Saya berharap semoga pasien Dokter yang satu ini bisa segera terbebas dari keluhannya." Aileen melirik Axel yang memandangnya gusar. Gadis itu tersenyum geli seraya menahan tawa. "Axel, ini obatmu. Jangan lupa diminum sesuai dosis yang aku anjurkan!" ucap dokter Arya menginterupsi. Ragu dan canggung. Sambil sesekali melirik Aileen, tangan Axel terulur. Mengambil Eco Bag itu dari tangan dokter Arya. "Baik, Dok!" balasnya pelan. Ia bangkit dari duduk, berdiri tegak menghadap dokter Arya yang juga ikut bangkit dari duduknya. Kembali ia mengulurkan tangan ke dokter Arya. "Kalau begitu, aku permisi dulu!" "Oke! Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk berkonsultasi denganku." Dokter Arya menyambut tangan Axel. "Semoga keluhanmu bisa segera teratasi." Ia tersenyum manis. "Seharusnya aku yang berkata demikian, Dok! Terima kasih karna sudah mau menanganiku," ucap Axel memaksakan senyum di bibirnya. Dokter Arya terkekeh, berjalan memutari meja. Mendekati Axel, lalu menepuk pelan pundak pasiennya itu. "It's oke! Semua akan baik-baik saja! Ingat, ada aku yang akan selalu membantumu menghadapi semuanya." Dokter Arya merangkul pundak Axel, lalu menuntun tubuh kokoh itu berjalan menuju pintu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN