7. Pertemuan Kedua

1356 Kata
Serangkai kata yang keluar dari mulut dokter Arya membuat Excel terperangah. Ia tidak menyangka kalau dokter Arya tahu segalanya tentang dirinya. Dari mana dokter Arya bisa tahu pada kebiasaannya yang suka bergonta-ganti partner ranjang? Padahal dia sama sekali tidak pernah mengatakan itu pada dokter Arya. Ketika dokter Arya menanyakan tentang pola hidupnya selama ini, Axel hanya mengatakan kalau ia adalah seorang perokok berat dan suka meminum minuman keras. Untuk urusan ranjang Axel tidak pernah melontarkannya pada dokter Arya. Sebab ia sendiri pun merasa malu jika kebiasaannya itu diketahui oleh dokter Arya. Kini Axel tertegun. Tidak tahu harus mengatakan apa. Ia salah tingkah, mirip seperti anak kecil yang ketahuan berbohong. Pemilik sifat yang tidak takut apapun ini, kini hanya dapat tertunduk dalam diam. Dokter Arya memahami kecanggungan Axel. Bukan tujuannya untuk membuat Axel merasa tersudut. Tapi sebagai seorang dokter pribadi, wajar jika ia menanyakan itu pada pasiennya. Terlebih Dokter Arya adalah seorang dokter yang menangani khusus masalah reproduksi. Wajar jika ia mengoreksi lebih dalam tentang kebiasaan yang dilakukan oleh pasiennya. Dokter Arya tersenyum tipis. "Kenapa? Apa kau kaget mendengar ucapanku?" sambitnya mengintimidasi Axel melalui tatapan matanya. "Dari mana dokter tahu tentang kebiasaanku yang satu ini?" Axel memaksakan diri untuk bertanya. "Sebenarnya sudah bukan hal yang tabu aku mendengar pasien Oligospermia memiliki kebiasaan buruk seperti itu. Kebanyakan dari kalian terlalu sering melakukan hubungan badan, hingga oligospermia menjadi imbalannya," terang Dokter Arya menjelaskan. Sebagai seorang dokter spesialis andrologi, tentu dia mempunyai banyak pengalaman menghadapi pasien seperti Axel. "Aku tidak bisa menghentikan kebiasaan burukku. Semua kebiasaan itu seakan menjadi obat bagiku," imbuh Axel. Dokter Arya menghela nafas, bergerak membenarkan posisi duduknya. "Aku tahu kau sedang menghadapi tekanan, Axel! Tapi kau juga harus sadar kalau kau sedang dalam tahap pengobatan. Jika bukan kau yang memaksa dirimu sendiri, lalu siapa lagi? Kau harus punya tekad yang besar agar bisa terbebas dari kondisimu seperti sekarang ini!" saran dokter Arya. Exel melengos. Semangatnya benar-benar menghilang. Memang sejak beberapa minggu belakangan ini ia tidak lagi menikmati percintaan. Gairahnya menurun. Entah karena stres menghadapi urusan kantor, atau memang bawaan dari penyakit yang ia derita. Namun begitu, Axel tak jua urung meninggalkan kelakuan buruknya. Meski merasa tidak terlalu b*******h dalam bercinta, tetapi Axel selalu saja tertarik dan tamak ingin mencicipi tubuh wanita yang dekat dengannya. Semua itu seperti sudah mendarah daging dalam dirinya. Axel memijit-mijit pelipisnya. Kepalanya pusing serasa ingin meledak. "Entahlah! Aku tidak yakin!" lirihnya. "Kau harus bisa meyakinkan dirimu, Axel! Ini untuk kesembuhan dan masa depanmu!" Dokter Arya memotivasi Axel agar tidak patah semangat. Axel menghela nafas berat. Mengusap wajahnya dengan Kedua telapak tangan. "Akan aku coba, Dok!" serunya. Terpampang senyum di wajah dokter Arya. Meski tidak yakin Axel akan menepati janjinya, tapi setidaknya, pasiennya yang satu ini sudah bertekad ingin mencoba menghilangkan kebiasaan negatifnya. "Hem, baiklah! Kalau begitu ... aku akan memberimu pengobatan melalui terapi hormon. Kita akan lihat perkembanganmu selama beberapa hari ke depan. Mudah-mudahan cara ini bisa membangkitkan kualitas dan jumlah spermamu agar kau tidak perlu melakukan pengobatan tahap selanjutnya," imbuh dokter Arya. Axel merespon saran dokter dengan senyuman tipis. Ia pun berharap semoga apa yang dikatakan dokter Arya menjadi kenyataan. Ia ingin secepatnya sembuh dari kondisinya saat ini. Agar ia segera terbebas dari aturan Dokter pribadinya itu. Dokter Arya meraih telepon yang ada di meja. Mencengkram ganggang telepon, menekan momor tujuan, lalu menempelkan telepon itu ke telinganya. "Halo, Aileen, bisa datang ke ruangan saya sekarang?" Dokter Arya diam sejenak. Mendengarkan jawaban dari orang yang sedang ia telepon. Ada jawaban dari seberang sana yang membuatnya manggut-manggut. "Baiklah, saya tunggu!" katanya lagi. Menutup telepon, lalu kembali pada berkas-berkas rekam medis Axel. Mengamati dan menyelidik ulang hasil rekam medis tersebut. Beberapa menit kemudian, pintu diketuk oleh seseorang. Tok! Tok! Tok! "Masuk!" seru dokter Arya, yang tentunya sudah tahu siapa orang yang mengetuk pintu ruangan pribadinya. Pandangan dokter Arya mengarah ke pintu. Sementara Axel masih terdiam tertunduk dalam lamunan. "Permisi, Dok! Selamat siang!" Seorang wanita muda yang mengenakan pakaian dinas rumah sakit masuk seraya melemparkan senyuman terbaiknya kepada dokter Arya. Wanita itu adalah asisten dokter Arya. Sudah setahun belakangan ini ia berada di bawah bimbingan dokter Arya. "Aileen, kenalkan ini Axel. Pasien yang akan kita tangani selanjutnya!" Dokter Arya mempersilakan Aileen untuk mendekati pasiennya. Memperkenalkan diri, agar pasien bisa merasa nyaman saat berada dalam masa pengobatan. "Oh, baik Dok!" seru Aileen ramah. Ia kemudian mendekati Axel yang duduk membelakangi dirinya. Belum sempat Aileen mendekati Axel, Axel sudah lebih dulu menoleh ke belakang. Pria itu penasaran karena sepertinya ia mengenali suara nyaring itu. Dan ketika Axel menoleh, keduanya saling bertemu pandang, sama-sama tercengang dalam diam. Mangap tak karuan dengan tubuh yang mematung. "Kau!" Sama-sama mereka saling menunjuk. Kedua ekspresi wajah anak muda itu seketika berubah. "Sedang apa kau di sini!" Axel bangkit dari duduk, berkacak pinggang menatap Aileen. Aileen mengerutkan keningnya. "Seharusnya aku yang bertanya padamu, sedang apa kau di sini!" jawabnya ketus. "Aku adalah pasien pribadinya dokter Arya, seharusnya kau tahu itu!" cetus Axel. "Dan aku adalah asistennya dokter Arya! Seharusnya kau juga tahu itu!" balas Aileen tegas. Dokter Arya memandang mereka secara bergantian. Bingung kenapa mereka tiba-tiba menunjukkan sikap tidak senang. Ia bangkit dari duduk, berdiri menekan meja sambil mengamati keduanya. "Hei, ada apa dengan kalian? Apa kalian sudah saling mengenal?" sambit dokter Arya. "Tidak!!" jawab dua anak muda itu bersamaan. Lantas, mereka saling memandang. Wajah keduanya saling mengerut. "Huh!" Sama-sama mereka membuang muka sambil melipat kedua tangan ke d**a. "Tidak?" Dokter Arya membeo. Tidak yakin dengan jawaban mereka. Keduanya sama-sama tidak mengakui kalau sebenarnya mereka sudah pernah saling bertemu. "Dok, aku tidak mau ditangani olehnya!" tolak Axel mentah-mentah. Bayangan ketika Aileen menampar wajahnya tadi malam seketika muncul kembali. Menggedor-gedor amarahnya. Wajah Aileen kontan mengerut. Merasa tidak senang mendengar ucapan yang terlontar dari mulut Axel. Aileen merasa seperti direndahkan. Pasien yang satu ini sama sekali tidak menghargai dirinya sebagai asisten dari dokter yang akan menanganinya. "Kau kira aku mau menanganimu, ha?" Aileen gusar. Tanpa sadar berkata kasar di depan atasannya. "Cih!" cebiknya. Tidak lagi menganggap dokter Arya ada di dekatnya. Biarlah nantinya ia akan mendapatkan peringatan dari dokter Arya, asal rasa sakit hatinya terhadap ucapan Axel terbalas. "Ya, sudah! Kalo begitu sebaiknya kau keluar sekarang!" titah Axel menunjuk ke arah pintu. "Apa? Kau mengusirku?" Aileen menatap tajam mata Axel. Tidak habis pikir dengan perkataan Axel kepadanya. Spontan tawanya pecah, menggelegar ke seluruh ruangan dokter Arya. Tentu itu adalah tawa yang bersifat mengejek. Dan Axel sadar akan hal itu. "Apa kau sadar dengan ucapanmu itu? Kau bukan siapa-siapa di sini! Kau hanya seorang pasien!" Aileen menekankan ucapannya dengan nada yang menggeram. "Tapi aku adalah pasien khusus! Aku bisa menentukan pada siapa saja aku mau ditangani! Dan aku tidak mau ditangani olehmu!" Tentu saja Axel merasa malu. Sebab ia ingat kalau ia adalah pasien Oligospermia. Dan tidak ingin gadis ini tahu tentang penyakit yang sedang dideritanya. Bisa-bisa gadis ini akan mengejeknya habis-habisan. "Kau kira bisa semudah itu? Mentang-mentang kau punya kekuasaan, trus bisa seenaknya mengubah posisi orang!" balas Aileen menantang tatapan tajam Axel. Berkacak pinggang, sama seperti yang dilakukan pria yang berada di hadapannya saat ini. "Aileen, apa-apaan ini!" Dokter Arya terpaksa menyergah keduanya. Sebab mereka sudah membuat kegaduhan di dalam ruangannya. Aileen yang tersadar, langsung merilekskan pikirannya. Sedikit merasa bersalah karena telah membuat dokter Arya berang. Ia sudah terlarut dalam emosi tanpa menyadari kalau dirinya sedang berada di jam kerja. Terlebih, ada dokter Arya di dekatnya. Ia seakan tidak menghargai atasannya itu. Amarah yang menyerang membuat matanya menggelap. Hingga tidak lagi terlihat olehnya dokter Arya yang sejak tadi berada di sana. "Ee, gak pa'pa kok, Dok! Saya cuma kesal aja liat ni orang! Selalu bikin jengkel setiap bertemu!" imbuh Aileen pelan, namun dengan nada yang menggeram. "Kenapa bisa begitu? Bukankah tadi kalian sama-sama bilang, kalau kalian belum pernah saling bertemu sebelumnya?" Aileen tertegun, lalu tersenyum getir. Ia menggaruk-garuk belakang kepalanya yang tidak gatal. Bingung mau mengatakan apa pada atasannya itu. Apapun ucapan yang akan ia jadikan alasan, pastinya dokter Arya tidak percaya. Sebab dokter Arya pasti juga sudah tahu dan dapat menebak apa yang ada di pikirannya. Lain halnya dengan Aileen, Axel terlihat cuek dan tidak berniat untuk merespon. Namun sebenarnya, ia juga merasa canggung, sebab dokter Arya memandangnya dengan satu alis yang saling bertaut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN