9. Tuan Lutfi Andreas Wiguna

1502 Kata
"Pck! Sial!" Axel membanting map yang berisi catatan rekam medis ke atas meja kantornya. Ia memijat-mijat pelipis. Kepalanya benar-benar terasa sakit. Berjalan mondar-mandir seperti orang kebingungan. Sekarang pikirannya tidak hanya pada ucapan Papanya yang mengultimatum dirinya untuk segera menikah. Bukan pula pada kondisi kesuburan yang ia derita. Tetapi pikirannya terpacu pada Aileen, suster rumah sakit yang menjadi asisten dokter Arya. Axel tak menyangka kalau ia bakalan kembali bertemu dengan wanita itu. Dan, yang lebih parahnya; gadis itu kini menjadi kaki tangan dari dokter pribadinya. "Ya Tuhan ...! Kenapa aku bisa bertemu lagi sama tu cewek sih! Mana dia asistennya dokter Arya lagi!" gerutunya kesal. Ia menghentikan gerakan hilir-mudiknya. Menyandarkan tangan ke atas meja. Dadanya terlihat kembang kempis menahan nafas yang memburu. Sebab, otaknya sedang terpacu pada semua yang terjadi kepada dirinya akhir-akhir ini. "Kenapa harus gadis sialan itu sih yang jadi asistennya dokter Arya! Kalau begini, sudah pasti dia tahu apa yang terjadi padaku. Dan— aku yakin nantinya gadis itu pasti akan terus-menerus meledekku habis-habisan," umpat Axel pada dirinya sendiri. Tidak sanggup memikirkan semua kenyataan yang terjadi, Axel merapatkan gigi-giginya, menahan geram. Ia mengepal kedua tangan dan membawanya ke depan d**a. "Akkkhh! Memalukan!" cercahnya dengan nafas yang tersengal. Ceklek! Terdengar suara pintu terbuka. Axel tersentak, segera menoleh ke arah pintu. Dari balik pintu, muncul seorang wanita cantik berpenampilan seksi. Tersenyum manis begitu sensual kepadanya. Wanita itu mengenakan Bodycon dress. Dress berwarna merah yang panjangnya hanya sebatas lutut itu sangat jelas mempertontonkan setiap lekuk tubuhnya. Bibir tipisnya pun terbalut lipstik berwarna merah, senada dengan bodycon dress yang ia kenakan. Rambut panjangnya yang ikal tergerai, tersibak ke samping kiri seakan sengaja ingin memperlihatkan leher jenjangnya. Wanita itu tampak begitu seksi dengan dandannya yang mencolok. Dengan senyuman genit dan menggoda, wanita cantik bertubuh ramping yang bernama Melva itu, berjalan lenggak-lenggok mendekati Axel yang tengah memberungut. Wajah Axel yang tadinya gusar semakin meradang ketika menyadari siapa wanita yang telah berani masuk ke ruangannya tanpa membuat janji kepadanya terlebih dahulu. "Kau—" pekik Axel. "Iya, aku! Mel—Va!" jawab wanita itu menantang. "Mau apa kau datang kemari?" sergah Axel murka. "Mau menemuimu. Tentu saja." "Aku sedang berada di jam kerja! Kau kira bisa semudah ini menemuiku!" Axel berkacak pinggang. "Buktinya aku bisa melakukannya. Kau lihat kan aku sudah berdiri di hadapanmu." Melva melipat kedua tangan ke d**a. Mendongak mensejajarkan pandangannya dengan Axel, seakan benar-benar ingin menantang pria itu. "Mau apa lagi kau datang menemuiku?!" Tatapan Axel mengeras. Ia mengintimidasi Melva melalui tatapan matanya. "Aku hanya rindu. Apa aku salah?" jawab Melva santai. Jari jemari wanita itu naik ke d**a Axel, dan dengan beraninya menyentuh satu persatu kancing kemeja yang berada di balik jas hitam milik Axel. "Jelas salah!" Axel mencengkram tangan Melva yang telah lancang menyentuh dadanya. "Kau menggangguku!" Ia menghempaskan tangan itu dengan kasar, hingga si pemilik tangan tersentak kaget karenanya. Akan tetapi, meski sudah diperlakukan seperti itu, Melva tetap tidak menyerah. Ia masih saja menjalankan aksinya agar bisa mendekati Axel. "Apa yang bisa aku lakukan agar pikiranmu kembali tenang, hem?" tawar Melva, seakan tidak mempedulikan ekspresi yang Axel tunjukkan kepadanya. "Aku tidak butuh jasamu!" hardik Axel. "Pergi dari sini!" Ia menunjuk ke arah pintu. "Dan jangan pernah kembali untuk menemuiku lagi!" semburnya. Melva tertawa singkat. Begitu sensual karena tawa itu berbarengan dengan desahan. Sebuah tawa yang bisa membangkitkan gairah laki-laki manapun yang mendengarnya. Ia menyentuh pundak Axel. Dengan lembut membelai pundak kokoh itu melalui jari jemarinya yang lentik. Jari-jemari itu terus melaju melewati leher jenjang Axel dengan raganya yang bergerak ke belakang tubuh Axel. Melva memutari pemuda itu dengan caranya yang erotis hingga pada saat tangannya tiba di ujung pundak Axel, ia segera mencengkram pundak laki-laki itu. "Oh, my Sweetie! Aku hanya menawarkan kesenangan untukmu, lalu kenapa kau harus marah kepadaku?" Melva menempelkan dagunya di lengan kokoh pria itu. Melirik wajah pemuda itu melalui ekor matanya. Dengan sengaja pula melekatkan tubuh bagian depannya ke bagian belakang tubuh Axel. "s**t!" Axel menghalau wajah Melva dari lengannya secara kasar, hingga wajah cantik itu tersingkir dan kontan memberungut. Sontak jari telunjuk Axel mengarah lurus ke wajah Melva. Dengan matanya yang berkobar karena dibakar amarah, laki-laki itu sepertinya ingin memberikan peringatan tajam kepada Melva; wanita yang ia kencani beberapa hari belakangan. "Pergi dari sini dan jangan pernah menemuiku lagi!" kecam Axel murka. Urat-urat di lehernya tampak menegang. Hening. Dalam beberapa detik mereka terdiam dengan telunjuk Axel yang masih lurus mengarah ke wajah Melva. Melva melirik telunjuk pria itu dengan datar. Meski hatinya sakit, tetapi gadis itu tetap mempertahankan ambisinya. Sejurus kemudian, pandangannya naik menemui wajah gusar Axel yang sama sekali tidak menunjukkan sikap ramah kepadanya. Ceklek! Suara pintu yang terbuka mengangetkan mereka. Keduanya langsung beralih pandang. Sama-sama menoleh ke arah pintu. Kala menyadari siapa yang membuka pintu, Axel dan Melva terpegun dan saling memandang. Tuan Lutfi Andreas Wiguna. Seorang pria terpandang dan paling disegani di Kota itu, dengan kedua tangan yang berada di dalam saku celana, pria yang menjabat sebagai Presiden Direktur di perusahaan itu menatap mereka dengan ekspresi datar. Tidak ada keterkejutan di wajahnya ketika mendapati Axel bersama dengan seorang wanita mencolok di dalam sebuah ruangan. Namun, kehadirannya yang secara tiba-tiba, cukup membuat Axel dan Melva sama-sama terpaku dan kehilangan kata-kata. Perlahan jari telunjuk Axel mengatup. Lalu, tangannya kembali turun ke posisi semula. Ia mengalihkan pandangannya ke lain arah. Enggan memandang wajah pria yang saat ini menyorot wajahnya dengan seksama. Karena baginya, pria paruh baya itu selalu saja membuat dirinya tertekan. Lutfi tersenyum miring sambil menggelengkan kepalanya. Ia paham betul kenapa Axel meresponnya seperti itu. "Axel," tegurnya. "Apakah wanita itu adalah kekasihmu!" Pertanyaan pria paruh baya yang tak lain adalah ayah kandung Axel, sontak membuat Axel tergemap. Namun, ia tetap tenang. Membalas pertanyaan Papanya hanya dengan diam. Ia tetap cuek. Hal itu membuat Tuan Lutfi Andreas Wiguna naik pitam. Sebab, ia merasa seperti tidak dihargai oleh putranya sendiri. Memang sudah biasa Axel bersikap seperti ini kepadanya dan kepada orang lain. Tetapi kali ini, Lutfi sedang dalam kondisi tidak baik. Ada hal yang membuat emosinya menjadi labil. Kicauan para karyawan di luar sana membuat emosinya tersulut. Bagaimana tidak, bisa-bisanya seorang wanita yang tidak berkepentingan masuk ke perusahaan itu dan dengan beraninya menghilir ke ruangan Axel. Terlebih lagi, wanita itu berpakaian sangat tidak sopan. Sudah pasti memancing buah bibir orang-orang. Dari mulut ke mulut, hingga kicauan itu sampai ke telinga pemimpin utama di perusahaan itu. Dan bukankah sudah selayaknya pemandangan itu menjadi bahan pembicaraan para karyawan lainnya? Sebab Melva dengan pakaiannya yang tidak senonoh bisa lolos masuk ke gedung perkantoran itu. Dan— sampai ke ruangan Axel dengan mudahnya. Brak! Lutfi dengan sengaja membanting pintu dengan kakinya. Tentu membuat Melva kaget bukan main. Sampai-sampai ia tercegang memandang Lutfi. Namun, lihatlah Axel! Pemuda itu tetap tenang di tempatnya. Tidak ada rasa gugup saat menghadapi Papanya yang juga merupakan atasannya. Ia masih saja melengos, tidak tertarik untuk meladeni kedatangan Papanya. Dengan tatapan mata yang tak lepas dari wajah putranya, Lutfi berjalan mendekati mereka yang sudah dengan berani membuat malu dirinya. "Oke, kau tidak perlu menjawab! Karna Papa sudah tau jawabannya. Diammu seakan membenarkan tebakan Papa," tandas Lutfi. Ia mengamati Melva dari ujung kaki sampai ujung kepala. Penampilan wanita itu membuatnya geleng-geleng kepala. Melva yang merasa diamati, hanya tertunduk dalam diam. Keberanian untuk menggoda Axel kontan menghilang karena hadirnya Tuan Lutfi Andreas Wiguna di tengah-tengah mereka. "Bagaimana caranya kau bisa masuk ke gedung perkantoran ini sementara kau tidak punya Id Card?!" tanya Lutfi datar. Namun, ada sedikit kecaman di nada suaranya. Melva menelan salivanya dengan kasar. Mencoba memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan dari pria itu. "Hem, aku ... aku ...," ucapnya terbata-bata. "Baiklah! Aku tau," sambung Lutfi mengangguk. Ia memahami kenapa Melva tidak dapat menjawab pertanyaannya dengan lancar. "Aku sebenarnya sudah tau kenapa kau bisa masuk kemari. Itu karna kau mengaku sebagai kekasihnya Axel kan? Tadi aku sudah menanyakan itu pada satpam-satpam di sini." Melva diam membisu. "Kau tidak perlu merasa risih. Aku tidak menyalahkanmu dan juga para satpam itu. Mereka mengizinkanmu masuk ke gedung ini hanya karna semata-mata mereka takut kepada Axel. Dan— mereka juga tau kalau kau ini adalah teman kencannya Axel. Banyak karyawan di sini yang sudah sering melihat kalian jalan berdua. Itu sebabnya aku tidak ingin menyalahkan mereka. Tapi, perbuatanmu ini cukup membuatku semakin malu. Apakah kau tidak bisa menahan diri untuk tidak menemui Axel saat dia sedang berada di jam kantor?" Melva tertunduk. Merasa malu pada Papa Axel yang seperti sedang mengintrogasi dirinya. Sementara Axel, masih saja melengos cuek. Sorot mata Tuan Lutfi kini beralih pada Axel. Putranya itu bahkan tidak mau menatapnya dengan ramah. Namun, itu tidak masalah baginya. Yang terpenting adalah, Axel mau melaksanakan apa yang ia perintahkan. "Axel!" seru Lutfi. "Seperti yang Papa katakan sebelumnya, agar reputasi buruk tentang dirimu kembali membaik dan nama baik perusahaan kita tidak tercemar, Papa minta kepadamu untuk—" Kali ini Axel menoleh. Kedua netranya menemui bola mata Papanya lekat-lekat. "—Segera menikahi wanita ini!" "Apa?!" teriak Axel tak percaya. "Bagaimana bisa Papa menyuruhku menikahi w**************n ini! Bukankah itu hanya akan memperburuk nama baik dan karirku di mata orang-orang?!" gertaknya tak terima. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN