Minum es cendol adalah salah satu kenikmatan Dunia yang selalu Ajeng agungkan. Apalagi jika ditambah dengan nangka, hem...jangan ditanya bagaimana nikmatnya. Ibra menggelengkan kepala melihat Ajeng sudah menghabiskan dua cup es cendol seorang diri, sementara dia saja belum habis satu cup.
"Ibra lo yang bayar kan ?" tanya Ajeng dan Ibra mendengus.
"Coba sama Pak Radit berani gak lo minta bayarin ?"
"Berani dong, tapi nanti setelah resmi jadi istrinya dia." Satu toyoran mendarat sempurna di kepala Ajeng.
Ajeng dan Ibra baru kembali dari mini market tempat Ajeng bekerja, meski dengan berat hati akhirnya Ajeng melepaskan juga mata pencariannya selama dua tahun lebih itu. Tapi demi pendidikannya Ajeng harus melepaskan pekerjaan itu, lagi pula jika sesi untuk ujian sudah selesai maka dia bisa bekerja kembali.
Ibra tahu Ajeng sedang memikirkan perihal pekerjaan yang baru saja di lepaskan wanita itu, dia mengusap bahu Ajeng dan memberikan sedikit ide untuk persoalan yang sedang merundung Ajeng.
"Lo kenapa gak jualan pakai aplikasi aja ? kaya orang-orang sekarang. Jadi kalau lo sekolah lo gak usah jualan, nanti kalau sudah ada waktu di rumah baru deh lo buka gerai lo." Apa yang Ibra katakan itu membuat mata Ajeng berbinar, dia berpikir sejenak lalu langsung memeluk Ibra tanpa aba-aba. Ibra terkejut namun juga bahagia, kejadian secepat kilat itu akhirnya membuat keduanya jadi canggung dalam waktu sesaat.
Ibra kemudian melihat senyum yang di ciptakan oleh Ajeng kepadanya, sungguh manis. Andai dia tidak berada di Indonesia saat ini dia pasti sudah mencium Ajeng sekarang, tapi mengingat budaya di negri ini berbeda Ibra hanya bisa menahan keinginannya itu.
"Ibra ajarin ya,"
"Ajarin apa ?" tanya Ibra masih bingung.
"Ajarin gue buat toko online yang lo bilang itu."
"Boleh asal lo yang bayarin ini." Ibra meletakkan cup es cendolnya di atas meja, dia sengaja mengerjai Ajeng.Entah mengapa mendengar Ajeng mengomel itu sungguh membuatnya terhibur.
Mereka kembali ke rumah Ajeng hari sudah mulai sore, Ibra memarkirkan motor sport berwarna biru yang ia miliki tidak jauh dari rumah Ajeng. Dia ikut ek rumah wanita itu untuk mampir karena akan mengerjakan toko yang ingin Ajeng mulai sebagai usahanya tadi.
Sesampainya di rumah tidak ada siapapun sehingga Ajeng menyuruh Ibra untuk duduk di depan teras rumahnya yang hanya ada dua kursi kayu lama, Ajeng tersenyum tidak enak kepada Ibra. "Maaf ya tidak bisa masuk, entar kita kena grebek lagi."
"Apa grebek ?" tanya Ibra yang masih asing dengan kata itu.
"Elah ini tuan bule, udah deh gak usah lo pikirin. Intinya karena bokap dan Tika lagi gak ada dirumah lo gue larang buat masuk ke dalam rumah."
Ibra hanya mengangguk mendengar penjelasan Ajeng itu, dia kemudian membuka ponselnya dan memberitahukan kepada Ajeng mengenai aplikasi berjualan online yang ingin Ajeng gunakan. Tapi kemudian Ajeng tersadar akan sesuatu, tidak enak dengan mengutarakan kejujuran Ajeng hanya beralasan tidak tertarik dengan ide Ibra lagi.
"Gue punya ponsel yang gak gue pakai, kalau lo mau lo bisa pinjam dulu."
"Hah ! maksudnya lo kasih gue pinjem gitu ?"
"Ya iyalah, nanti kalau usaha lo lancar dan lo uah bisa beli hape sendiri baru lo balikin. Jangan lo jual," kata Ibra bercanda agar Ajeng mau menerima bantuannya itu.
"Kok bisa ada ponsel tapi gak di pakai !?" gerutu Ajeng pada dirinya sendiri namun Ibra dapat mendengarnya.
"Ya bisalah, lo lupa gue siapa !" Gaya sombong Ibra tunjukkan dan Ajeng kali ini ganti menoyornya.
"Sombong banget sih jadi manusia," ujar Ajeng namum mereka tertawa bersama.
****
Masalah kantong pemasukan sudah membuat Ajeng tenang berkat ide dari Ibra, dia juga sudah membicarakan dengan Tika saat kakaknya itu sudah pulang dari mengajar les tambahan. Tika terlihat sangat lelah jadi Ajeng membiarkan kakaknya itu untuk tidur lebih dulu, sementara dia masih banyak tugas di rumah yang harus dia lakukan.
Sang ayah yang dia tunggu-tunggu akhirnya datang juga, wajah ayahnya itu terlihat sangat lelah dan bajunya sangat kotor. Ajeng jadi curiga, karena biasanya ayahnya tidak pulang hingga larut malam seperti ini dan dengan baju yang sangat kotor pula.
"Ayah darimana ?" tanya Ajeng sambil dia membawakan teh hangat untuk ayahnya.
"Makasih ya Jeng, ayah ya habis bekerja."
"Bekerja narik angkot ?" tanya Ajeng lagi dan Dimas mengangguk sambil mengusap rambut anaknya itu.
"Ya sudah ayah mau mandi dulu, kamu tidur besok harus sekolah kan ? Tika sudah pulang ?"
"Sudah yah ! udah tidur, ya sudah Ajeng masuk ke kamar ya." Dimas tersenyum dan Ajeng pun masuk ke dalam kamarnya. Ajeng melihat foto ibunya sebelum dia membuka buku hariannya. Dia tersenyun ketika satu nama dia tuliskan.
Ibra terima kasih sudah menjadi penyelamat ku beberapa waktu ini, meski ucapan dan perbuatannya lebih banyak menjengkelkan namun dia adalah Pria yang baik. Terima kasih sudah mau menjadi teman ku, sangat jarang ada sosok Pria yang mau berteman dekat denganku biasanya.
Hem...mengingat ini aku jadi ragu untuk mendekati Pak Radit.
Ajeng menutup buku hariannya itu, lalu dia beranjak naik ke tempat tidur. Mata Ajeng memang menatap langit-langit kamarnya, dia memikirkan wajah Radit dan saat pertama dia bertemu dengan pria itu. Ajeng teringat dengan apa yang pernah Ibra katakan kepadanya, mengingat hal itu Ajeng jadi merasa cemas sendiri.
Apa Pak Radit mau dengannya ? tapi seperti kata Ibra, jika dia tidak mencoba maka dia tidak akan tahu apapun.
*****
Senin pagi saatnya semua murid untuk mendengarkan titah pembina upacara yang kali ini adalah Pak Radit. Tidak seperti biasa, Ajeng yang selalu ingin segera cepat-cepat masuk kelas kali ini dengan hikmat mendengarkan apa yang dikatakan oleh Pak Guru pujaan hatinya itu.
"Sok bijak banget ini satu manusia, munafik !" Andini bergumam kecil tapi Ajeng yang berada di depannya dapat mendengar hal itu.
Begitu upacara selesai, Ajeng buru-buru ke kelasnya dan mengambil bekal yang sudah dia siapkan untuk Pak Radit. Dia menunggu ruang guru sunyi dan saat keadaan sudah terasa aman Ajeng masuk lalu meletakkan bekal makan siang itu.
Saat Ajeng berbalik ternyata Radit sudah ada di belakangnya, dia terkejut otomatis mengucap hal-hal ajaib yang ada dunia ini.
"Pak Radit, ya ampun maaf pak saya kaget."
"Kamu kasih saya makanan lagi ?" tanya Radit dan Ajeng mengangguk malu.
"Kamu gak kasih saya pelet atau semacamnya kan agar bisa menaikkan nilai kamu."
"Astaga Pak, kalau saya kasih pelet yang saya minta adalah jadi istri bapak." Duh ! tu kan Ajeng keceplosan lagi. Dia segera menutup mulutnya, jantungnya berdetak tidak karuan saat ini terlebih Radit maju perlahan membuat jarak diantara mereka semakin terkikis.
"Kamu gak akan siap untuk itu, lebih baik jadi murid yang baik saja oke." Radit tersenyum manis lalu mengusap kepala Ajeng.
"Maksud bapak apa ?" tanya Ajeng yang merasa dia sudah di tolak, dan jika dia di tolak ia ingin tahu alasannya apa.
"Kamu murid saya Ajeng, hanya dilihat dari penampilan saja kita tidak cocok."
"Saya bisa berubah lebih anggun untuk bapak." Radit tertawa kecil, menatap Ajeng dengan lekat dan dia sadar ternyata muridnya ini benar-benar sungguh menyukainya, Tatapan mata Ajeng adalah buktinya.
Radit menarik napasnya, dia menunduk sejenak lalu kembali menatap Ajeng. "Jika kamu serius dengan apa yang kamu katakan kamu bisa temui saya di cafe dekat mini market malam ini."
Bersambung....