22 :: That Night ::

1151 Kata
Sudah malam, Tika dan Dimas belum kembali tapi Ajeng sudah bersiap-siap untuk pergi menemui Pak Radit. Dia berdandan kali ini, dandan ala Ajeng bukan menggunakan make up malainkan berpenampilan lebih baik dan rapi. Ajeng memakai baju kemeja yang ia miliki namun sudah lama tidak dia pakai, setelah dia melihat-lihat bajunya tidak terlalu baik untuk dia pakai. Ganti, Ajeng mengganti pakaiannya dengan milik Tika. Pakaian Tika memang pasti lebih banyak dan masih bagis-bagus daripada miliknya karena kakaknya itu kuliah. Ajeng mendapatkan satu kemeja santai lalu dia mengikat rapi rambutnya. Dia tidak bisa memakai make up meski itu tipis, jadi dia hanya menggunakan lip blam dan bedak tabur yang lagi-lagi adalah punya Tika. Ajeng siap, dia tinggal ingin menyemprotkan parfum namun teringat apa yang pernah Ibra katakan padanya. "Lain kali jika pakai parfume jangan berlebihan, bau mu membuat hidungku tersumbat." Ajeng tersenyum seorang diri di depan cermin mengingat hal itu, lalu dia menyemprotkan parfum cukup di belakang telinga dan juga pergelangan tangannya. Ajeng baru saja melangkah keluar dari pintu rumahnya dan dia sudah di kejutkan dengan kedatangan Ibra. "Mau ke mana lo ?" tanya Ibra meneliti penampilan Ajeng dari atas hingga ke bawah. "Mau it-itu aduh. Astaga Ibra maaf gue lupa kalau udah janji sama lo." "Lo memang selalu lupa kalau udah janji sama gue kan ? Dan alasannya biasa hanya satu. Pak Radit," ucap Ibra terdengar jelas jika pria itu menyindir Ajeng. "Ibra maaf ya," kata Ajeng lagi dengan wajah memelas. Dia memang sudah janjian dengan Ibra untuk bertemu malam ini, Ibra ingin memberikan ponsel yang ia janjikan dan juga malam ini mereka akan mendaftar gerai online tersebut. "Pak Radit tadi bilang, katanya kalau gue beneran suka sama dia malam ini gue datang ke cafe dekat mini market." Ajeng melirik wajah Ibra yang sangat santai mendengarnya dia mengangguk kemudian memberikan ponsel kepada Ajeng. "Ini ponselnya, besok aja kita daftar kalau urusan lo sama Pak Radit udah selesai." Ajeng mengangguk begitu saja, lalu tanpa dia duga Ibra memberikannya helm "Ini buat apa ?" "Pakai biar gue antar lo ke cafe itu." Ajeng tersenyum lebar lalu dia dengan senang hati pergi bersama Ibra. Tidak ada percakapan antara keduanya selain Ajeng yang sedikit memegang jaket Ibra dengan senyuman. *** Ibra akhirnya memberhentikan motornya di tempat yang Ajeng katakan. Wanita yang dia suka itu turun dari motor dan memberikan helm-nya. Saat Ajeng ingin pergi Ibra menarik tangan Ajeng, gerakan tangannya tiba-tiba membuka ikat rambut Ajeng. Membiarkan rambut ikal sebahu milik Ajeng tergerai sempurna. "Lo lebih cantik seperti ini." Ajeng tersenyum manis mendengarnya lalu dia melambaikan tangan sekaligus berterima kasih kepada Ibra. Ajeng tidak pernah tahu betapa kecewanya Ibra saat ini, tapi dia menahannya mati-matian agar Ajeng tersenyum. Menahan perasaannya agar Ajeng bisa meraih keinginan dalam diri wanita itu. Ibra sudah tidak lagi melihat Ajeng, dia pun memutuskan untuk pergi dari tempat itu kembali ke rumahnya. Meski tidak rela jika Ajeng akan berpacaran dengan Radit, tapi Ibra tetap berharap yang terbaik untuk Ajeng. Mungkin pria seumurannya tidak akan mau melepaskan wanita yang sudah mencuri perhatian mereka, tapi tidak bagi Ibra. Dia sudah mendengar banyak kisah cinta dari keluarga maupun sepupunya, dan menurutnya poin penting dalam mencintai adalah membiarkan orang yang di cintai bahagia. Bukan Ibra lemah dengan perasaannya bukan, tapi dia lebih tidak ingin menyakiti Ajeng jika dia memaksa. Dia berusaha, dia melakukan apapun yang dia bisa tapi jika Ajeng tetap hanya melihat Radit apa yang bisa dia lakukan ? **** Ajeng sudah duduk berhadapan dengan Radit, Pria pujaannya itu terlihat sangat tampan meski dalam balutan kaos biasa. "Ayo Ajeng makan," ucap Radit dan Ajeng mengangguk. Sama dengan orang lain yang masih malu-malu ketika baru pertama pergi makan dengan pasangannya maka Ajeng pun sama, dia malu-malu untuk menyuapkan satu sendok makanan ke mulutnya bahkan perlahan meminum air yang sudah di sediakan. Dalam keadaan yang awalnya hening itu Radit membuka obrolan mereka. "Kamu benar menyukai saya ?" "I-iya Pak. Apakah boleh ?" Radit menggelengkan kepalanya mendengar Ajeng yang gugup saat ini. "Ajeng jangan lakukan itu, kamu dan saya adalah guru dan murid. Saya aku saya tidak akan mampu menyembunyikan apa yang saya rasakan kepada kamu." Mendengar hal itu dari Radit Ajeng mulai berdebar-debar. "Saya menyukai kamu Ajeng, tapi__" Radit memberikan jeda pada kalimatnya "Tapi saya menyukai kamu sebagai murid saya, saya suka semangat kamu dan juga yang terpenting kamu sangat membantu Andini. Adik saya," ucapan Radit itu menyakitkan ? Ya, tentu saja tapi Ajeng tidak terlalu merasa sakit karena dengan semua itu dia berpikir akan ada harapan untuknya. "Andai saya menganggap hubungan kita serius maka akan banyak perubahan yang terjadi, dan saya tidak ingin mempersulit kamu. Lagi pula kamu masih muda dan saya bukan pria yang patut untuk kamu jadikan kekasih." Ajeng tahu dia di tolak mentah-mentah dan dia tidak bisa terima. "Kamu__," Ajeng menempelkan jari telunjuknya di bibir Radit dan matanya sudah melebar dengan sempurna. "Susstt...Pak Radit suka saya atau tidak ?" tanya Ajeng dengan sedikit malu namun dia memaksa. Radit terdiam cukup lama hingga Ajeng kembali duduk sempurna di kursinya lalu menghembuskan napas. "Saya tahu Pak, sebenarnya gak mungkin buat jadian sama bapak apalagi kalau sampai saya dinikahi oleh bapak. Tapi... tidak ada yang bisa menghentikan perasaan ini kan ? Kalau bapak ingin saya lebih feminim dan tidak ribut-ribut lagi di kelas ataupun sekolah saya bisa kok Pak. Tapi saya perlu tahu apakah bapak menyukai saya ?" Radit tersenyum mendengar nada pasrah yang Ajeng gunakan saat ini. Dia mengulum senyum dan tidak ingin menyangkal kalau dia memang menyukai Ajeng, tapi apakah itu cinta ? Radit tidak yakin akan itu. Ajeng bukan tipe wanita yang dia inginkan, meski Radit menyukainya. Terlebih dia juga tidak ingin berpacaran, yang dia inginkan adalah menikah secepat mungkin di karenakan usia yang dia miliki. "Bapak sebagai guru harusnya mau dong membantu muridnya meraih impiannya," ucap Ajeng lagi kini sudah duduk dengan antusias menatap Radit. "Memang apa impian kamu ?" "Menjadi istrinya Pak Radit salah satunya," jawab Ajeng dengan senyuman lebar. Radit yang tidak menyangka jawaban absurd itulah yang Ajeng berikan menjadi kelu untuk bersuara. "Baiklah, begini saja. Jika kamu bisa mendapatkan nilai bagus, lalu bisa berubah lebih manis lagi dan menjaga tubuh kamu dengan baik saya akan mempertimbangkannya lagi." Ajeng mencerna dengan baik, meski awalnya dia kesal karena Radit menyinggung soal tubuh tapi dia tetap bahagia mendengar kesempatan secara terbuka yang Radit berikan untuknya. "Berarti sekarang kita pacaran Pak ?" "Ngawur kamu !" Ajeng tertawa meski malu-malu. Dia yakin jika Wita ada di sini bersamanya pasti dia sudah kena sentil. Tapi kenapa syarat dari Pak Radit sulit sekali pikir Ajeng, dan tidak lagi berselera melanjutkan makan. Nilai bagus ? harus ekstra belajar. Berubah lebih manis ? itu artinya dia harus sedikit lebih diam setiap harinya dan tidak menjadi Ajeng yang bar-bar lagi. Menjaga bentuk tubuh ? Berarti dia harus diet dong. Pikiran Ajeng sudah membuatnya ingin muntah saat ini. "Ya salam," ujar Ajeng membuat Radit menatapnya bingung. "Ada yang salah Ajeng ?" "Hehehehe... Tidak ada Pak, saya hanya sedikit pusing saja." Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN