20 :: Malam Minggu ::

1219 Kata
Ajeng tidak henti-hentinya tersenym dan juga tertawa ketika ada hal yang lucu. Dia bahagia karena akhirnya Dimas sanga ayah bisa kembali berbaur dengan orang lain, karena semenjak meninggalnya ibu mereka Dimas sudah jarang menghabiskan waktu untuk hal seperti ini. Ketika Ibra memberikan satu piring daging ayam yang sudah dia bakar Ajeng tersenyum bahagia. "Ini bukan buat lo, tapi buat bokap lo." Ibra meledek Ajeng yang sungguh membuat Ajeng gemas. "Ini om silakan," ujar Ibra dan Dimas tersenyum mengambil makanan itu. Dimas merasa sangat beruntung karena Ajeng bisa mendapatkan teman-teman sebaik ini. Setidaknya Ajeng tidak kesulitan di sekolahnya. Ajeng akhirnya mendekati tempat bakaran yang di sana sudah ada Wita dan juga Andini. "Lo cakep banget Jeng," ujar Wita membuat Ajeng tersenyum malu. Ajeng memang terlihat berbeda ketika rambut panjangnya di potong, dia juga saat ini memakai pakain yang Viza berikan untuknya. Menggunakan dress sebatas lutut dan lengan yang hingga ke siku tangannya. Viza berkata itu adalah pakaian putrinya yang saat ini sedang study di luar negri. Alya terlihat sedang berbicara dengan Ibra juga Tika, entah apa yang mereka bicarakan. "Om Banu maaf saya terlambat," suara itu tentu Ajeng kenali. Dia melihat ke sumber suara lalu terkejut karena ada Pak Radit di sana, Andini juga sama terkejutnya dengan yang lain. Ibra langsung menghampiri Viza bertanya siapa yang mengundang Radit ke acara mereka dan jawabannya tentu saja Banu. Banu memang berteman baik dengan keluarga Zigfrids karena masalah bisnis jadi dia menganggap Radit sebagai anak dari pemilik yayasan di sekolah Ibra wajar untuk di undang. Andini ingin langsung permisi pergi dari sana namun dia segan karena Viza dan Banu masih bersama mereka, sementara Ajeng dia tersenyum kecut dan itu semua karena Radit tidak datang ke sana seorang diri melainkan bersama Safira. Ya, wanita yang Ajeng dengar adalah mantan kekasih Radit. "Ada Ajeng juga ya ?" tanya Safira mendekati Ajeng saat ini sehingga senyuman terpaksa harus Ajeng tampilkan. Radit mengalihkan pandangannya kepada nama wanita yang disebut oleh Safira, dia juga tidak menyangka jika Ajeng ada di sana dan Ajeng terlihat berbeda. Ajeng terlihat lebih dewasa dan juga sangat anggun. Ibra tahu sorot mata Radit sehingga dia menarik lengan Ajeng untuk ikut dengannya. "Mau ke mana ?" tanya Ajeng tapi Ibra tidak menjawabnya melainkan terus menarik lengan Ajeng. "Ini kamar gue,"kata Ibra lalu dia menghempaskan tubuhnya di tempat tidur besar miliknya. Ajeng masih berdiri di dekat pintu, dia ragu untuk masuk terlebih mereka hanya berdua saja. "Masuk saja, dari jendela kamar ku kau bisa bebas menatap Pak Radit tanpa dia tahu." Ajeng melihat jendela yang Ibra maksudkan, dia perlahan mendekat kesana dan benar saja dia bisa melihat pemandangan di taman belakang rumah itu dari jendela kamar Ibra. Ajeng menahan sesak di d**a ketika dia melihat Safira dan Radit yang begitu dekat dan saling berbicara satu sama lain, raut wajah Ajeng itu jelas di lihat oleh Ibra tapi pria itu pura-pura tidak tahu. Ibra bisa saja mengatakan jika dia menyukai Ajeng dan meminta Ajeng menjadi kekasihnya, namun dia tidak mau jika sampai hal yang dia lakukan itu malah membuat Ajeng menjauhinya. Ibra sadar jika Ajeng hanya menyukai Radit, dan mungkin jalan Ibra mendekati Ajeng masih sangat jauh. "Jangan terlalu di pikirkan," ucap Ibra mendekati Ajeng lalu dia duduk di bangku sambil bertopang dagu melihat wajah Ajeng "Jika kau terlalu menggenggam orang yang kau suka maka dia akan semakin menjauh." Ajeng beralih menatap Ibra lalu dia tersenyum kecil. "Kau pernah menyukai seseorang ?" tanya Ajeng kemudian. ""Pernah, dan sampai sekarang aku masih menyukai setiap yang ia lakukan." Ajeng tersenyum kembali menatap Radit, hatinya menghangat meski hanya melihat Pak Guru pujaan hatinya dari jauh "Jika aku terus berusaha, apa dia akan melihatnya ? apa aku dan dia mungkin bersama sebagai pasangan ?" tanya Ajeng kemudian membuat Ibra diam. "Katakan saja kalau kau menyukainya, jika dia menyukai mu maka kalian bisa berjalan seperti yang kau harapkan. Tapi jika dia menolak, kau bisa menjauh perlahan dan tidak membuang-bunag waktu dengan kembali memikirkannya." Ajeng tertegun mendengar jawaban dari Ibra. "Kau takut ?" "Tentu saja !" "Kau tidak boleh takut Ajeng, dia baik terhadap mu bukan ?" Ajeng berdecak, dia belum berani melakukan hal seperti yang Ibra katakan. Sementara Ibra di dalam hatinya mengumpat dengan apa yang dia sarankan kepada Ajeng, jika Radit benar menyukai Ajeng maka tamat sudah bab untuknya dan Ajeng bersama. Tapi dia berkata seperti itu karena ingin menolong Ajeng, dia ingin Ajeng tidak sedih lagi. Mata Ajeng beralih menatap bola basket yang dia hancurkan saat itu di meja, Ibra tidak membuangnya berarti bola itu benar-benar sangat berharga untuknya. "Ibra bola itu ?" Ibra menatap bola kesayangannya dan dia tersenyum tipis. "Iya ! itu bola yang mendiang kakek gue berikan, jadi meski udah gak bisa gue pakai tetap gak akan gue buang." Ajeng merasa sangat bersalah, wajahnya yang murung menjelaskan semuanya kepada Ibra "Gak usah lo pikirkan, bola itu juga udah lama banget usianya," jelas Ibra lagi lalu perhatiannya teralihkan kepada ponsel di dalam saku celana yang ia kenakan. Ponsel Ibra bergetar, itu adalah panggilan dari Viza. Dia mengatakan jika Ajeng di cari oleh ayahnya. Mereka berdua kembali ke halaman belakang rumah itu, pandangan Radit jelas bertanya apa yang di lakukan Ibra serta Ajeng dari dalam rumah itu berdua saja. "Ajeng kita pulang yuk," ajak Tika dan Ajeng mengangguk ketika melihat wajah Ayahnya yang juga sudah lelah. Ajeng kemudian pamit dengan semua orang disana, Radit menawarkan untuk mengantar Ajeng dan keluarganya pulang tapi di tolak halus oleh Ajeng karena ayahnya sudah membawa mobil angkot yang biasa dibawa oleh Dimas. Viza memeluk Ajeng dan berpesan agar Ajeng sering-sering datang ke rumahnya bersama Wita juga Andini dan Alya. Ajeng mengatakan dia akan memulangkan baju yang ia kenakan saat ini namun Viza menolak dengan mengatakan kalau baju untuk Ajeng. Ajeng menatap Ibra dan ketika Ibra mengangguk maka Ajeng juga dengan senang hati menerima. Ibra dan Ajeng jalan bersisian sementara Radit dan Safira serta lainnya berjalan di belakang mereka. Ajeng teringat perihal dia yang ingin mengundurkan diri dari mini market karena harus fokus dengan les dan juga ujian yang tinggal di depan matanya. "Ibra, besok mau temenin gue gak ?" "Mau kemana ?" tanya Ibra langsung dan Ajeng tertawa melihat ekspresi pria itu. Semnetara Radit hanya bisa diam mendengarkan apa yang Ajeng dan Ibra perbincangkan. Entahlah, satu sisi dia menyukai Ajeng namun satu sisi ada sesuatu yang membuatnya menolak perasaan itu. "Gue mau ngundurin diri kerja, jadi mau bilang sama pemilik mini market besok. Kalau ada jadwal les tambahan senin gue mana bisa masuk kerja, padahal sayang banget kan." Ajeng malah sedih memikirkan nasib pemasukan kantongnya yang akan berkurang. "Oke besok siang gue ke rumah lo, " kata Ibra membuat Ajeng bersorak gembira. Ajeng permisi dari rumah besar yang dia impikan akan ia miliki di masa depan. Ajeng kembali ke rumahnya dengan mobil angkot yang Dimas bawa, Viza melambaikan tangan begitu mobil angkot yang Dimas bawa pergi dari halaman rumah itu. "Sudah lama kamu tidak sebahagia ini sayang," kata Banu dan Viza mengangguk setuju. "Wanita yang Ibra suka itu adalah alasannya," jawab Viza membuat Ibra terdiam menghadapi tatapan mata dari Banu. "No uncle, kami hanya berteman. Aunty salah mengartikan semuanya," ucap Ibra mengelak. "Jangan berbohong Ibra, tidak ada Pria yang mau repot-repot mengurusi wanita jika buka karena dia menyukainya. Iya kan sayang ?" "Ya itu benar !" Banu masih menatap Ibra dengan penuh pertanyaan "Jika kau butuh trik mendapatkannya uncle siap membantu." Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN