26 :: Tika yang Hilang ::

1071 Kata
Ajeng sedang membersihkan rumah di bantu dengan Tika Wita dan juga Ibra, mereka sudah selesai membuat pesanan nasi goreng dan juga kue untuk Viza dan sebelum pergi mengantarkannya mereka harus membersihkan rumah terlebih dahulu. Hari minggu yang benar-benar produktif untuk Ajeng, ketika sudah selesai mereka semua langsung pergi ke rumah Viza tentunya mereka sudah berganti pakaian yang layak. Dengan mengendarai mobil Ibra membawa mereka semua ke sana, tanpa Tika. Kakak Ajeng itu mengatakan dia ada jadwal mengajar les privat. Sehingga hanya Ajeng dan Wita saja yang pergi. Sesampainya di rumah Viza mereka di sambut begitu hangat oleh pemilik rumah besar yang selalu di sukai Ajeng itu. "Ajeng Wita ayo masuk, Alya juga sudah datang dan menunggu kalian." Ajeng yang mendengar nama Alya langsung menyikut lengan Ibra "Kalian benar-benar sudah pacaran ?" tanya Ajeng dan Ibra hanya tertawa kecil tanpa menjawabnya. Dia tidak habis pikir kenapa bisa Ajeng mengatakan hal itu. "Alya adalah keponakan dari uncle Banu, apa kau sudah paham sekarang kenapa dia sering terlihat bersama ku di sekolah ?" Ajeng terdiam sejenak sebelum menepuk keningnya sendiri. "Tapi dia bertanya apakah aku berpacaran dengan mu atau tidak," ujar Ajeng lagi. "Lalu masalahnya apa ? tidak semua wanita yang bertanya seperti itu artinya dia menyukai pria yang sedang dia tanyakan." Ajeng memajukan bibirnya karena sudah berpikiran terlalu jauh dan Ibra sepertinya sengaja memanfaatkan ketidaktahuan Ajeng. Mereka menuju taman belakang di mana acara kumpul keluarga Jayker di adakan. Ajeng di kenalkan oleh Ibra beberapa saudara keluarga Viza dan Banu membuat Ajeng merasa dia hanyalah remahan keripik kentang. Semua pria dan wanita di sana sungguh terlihat anggun dan cantik, dan yang di sukai Ajeng adalah mereka tidak menganggap Ajeng rendah. "Hei kata aunty Viza ini masakanmu," tanya seorang wanita yang seumuran dengannya. "Ya benar," jawab Ajeng sedikit gugup. "Masakan mu sangat enak, apa aku boleh minta nomor ponsel mu ? Nanti akan aku bantu promosikan ke teman-teman ku." "Oh iya boleh," jawab Ajeng dan langsung memberikan nomornya. Hati Ajeng berbunga-bunga karena apa yang dikatakan wanita tadi. Dia tidak menyangka akan ada pujian seperti ini. Ibra melihat senyuman lebar Ajeng, hatinya menghangat karena senyum itu. "Kau tidak akan pernah mendapatkannya jika kau tidak mengatakan perasaan mu Ibra." "Uncle Bian," kata Ibra dan dia mendapatkan pelukan hangat dari Bian. "Jika kau tidak mengatakannya akan ada orang lain yang jadi alasannya untuk tersenyum." "Tidak masalah uncle, asal dia bisa terus tersenyum." Bian yang mendengar hal itu tidak percaya jika Ibra yang masih remaja sudah memiliki hati yang besar dan juga bijaksana. Ajeng di tempatnya masih berbincang dengan semua orang di taman itu namun sesekali dia menatap Ibra. Tidak terasa waktu berlalu dan kini sudah jam sembilan malam, perut Ajeng sangat-sangat kenyang dan dia teringat harus pulang karena besok adalah jadwal ujian pertama. Dia harus belajar malam ini, Wita juga setuju untuk pulang dan mereka diantarkan pulang oleh Ibra setelah berpamitan dengan semua orang di sana. "Jangan sungkan untuk main ke sini ya Ajeng," kata Viza dan dia mengangguk. Viza juga membawakan beberapa makanan untuk Ajeng bawa pulang, dia memang tidak hanya memesan makanan dari Ajeng jadi masih banyak makanan di sana. "Salam sama ayah kamu ya Ajeng." Banu melambaikan tangan. **** Seluruh tubuh Ajeng rasanya remuk karena lelah, tapi dia masih harus belajar. Ya belajar dengan perut kenyang, Ajeng menarik napasnya lelah dan matanya melihat ke arah jam. Tika belum pulang dia baru teringat perihal ini, harusnya Tika pulang tadi jam tujuh namun sudah jam sepuluh malam kenapa belum kembali pikir Ajeng. Tidak ingin berpikiran buruk Ajeng melanjutkan membaca catatannya hingga tanpa sadar dia memejamkan mata. Ajeng terbangun ketika Dimas mengetuk pintu rumah, buru-buru bangun dan menjawab salam dia membuka kunci pintu. "Kau masih belajar Jeng ?" "Tadi sih iya ayah, sekarang sudah ngantuk." Ajeng menguap lalu kemudian teringat Tika yang belum juga kembali. "Ada apa ?" kata Dimas melihat raut wajah Ajeng yang langsung berubah. Ajeng tidak langsung menjawab, dia melihat jam di dinding baru bergumam dengan firasat yang tidak enak. "Tika belum pulang pulang Ayah." Dimas yang mendengar hal itu langsung cemas, ini sudah pukul dua belas malam dan Tika biasa adalah yang paling cepat sampai di rumah. Ajeng coba telpon Tika, kata Dimas namun Ajeng hanya bisa menunduk. "Ajeng telpon Tika nak," kata Dimas lagi dia lalu langsung duduk sambil memegang arah jantungnya. "Ayah tenang dulu, sebentar Ajeng ambilkan minum." Ajeng buru-buru ke dapur mengambilkan air hangat untuk Dimas. "Ini ayah minum dulu, Ajeng akan mencari Tika. Kita tidak bisa menelponnya ayah Tika tidak lagi memiliki handphone. Dia menjualnya untuk tambahan uang deposit rumah yang kita ambil." Dimas yang mendengar hal itu sangat sedih. Ajeng langsung menghubungi Ibra untuk meminta pertolongannya mencari Tika. Untungnya Ibra langsung mengangkat panggilan itu. Berbicara dengan cepat Ibra langsung pergi ke rumah Ajeng menggunakan motornya. Begitu sampai di rumah Ajeng dia melihat Ajeng yang berpamitan kepada Dimas, untuk mencari Tika. Mereka pun pergi, mencari ke arah tempat Tika mengajar dan juga Ajeng menghubungi satu teman Tika. Teman Tika yang bernama Juli mengatakan tidak tahu dimana keberadaan Tika karena memang mereka tidak bertemu hari ini. Sepanjang jalan mereka terus mencari dari arah tempat mengajar hingga kembali ke rumah namun Dimas mengatakan Tika belum juga sampai. Ibra memutuskan untuk menelpon Banu meminta bantuan kepada uncle-nya itu. Banu juga langsung menghubungi orang yang bisa mengurus masalah seperti ini. Ibra juga mengantarkan Dimas ke kantor polisi untuk membuat laporan, sudah jam tiga dini hari tapi Tika belum kembali juga sudah pasti ada sesuatu yang terjadi. Ajeng terus terjaga menunggu Tika di rumahnya, dia meminta bantuan Juli teman dekat dari kakaknya itu untuk bertanya kepada teman-teman kuliah mereka yang lain siapa tahu ada yang mengetahui dimana Tika, dan satu-satunya yang tahu mungkin pacar Tika. Iya, pria itu Ajeng menelpon Juli untuk mendapatkan nomor Pria itu namun Juli juga tidak memiliki nomornya tapi dia akan membantu mencari informasi kepada teman-temannya yang lain. Ajeng melihat kehadiran Dimas dan Ibra di rumah lagi, Ibra menjelaskan kalau polisi belum bisa memproses pencarian karena belum dua puluh empat jam. Ajeng terlihat sangat panik, dia suadh tidak tahu lagi harus melakukan apa sekarang. "Ya halo," jawab Ibra saat Banu menelponnya. ["Mereka sudah menemukan Tika, dan dia sudah dibawa ke Rumah Sakit. Uncle menunggu kalian di sana."] Setelah mendengar hal itu Ibra pun merasa lega, dia memberitahukan kepada Ajeng dan juga Dimas. "Apa yang terjadi kepada Tika ?" tanya Ajeng ketika mereka sudah di dalam taksi menuju ke Rumah Sakit. "Aku tidak tahu Jeng, uncle Banu hanya mengatakan hal itu." Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN