Terkadang tidak semua orang mengerti dengan apa yang dia rasakan.
Entah itu benci, atau juga cinta.
Tidak juga semua orang bisa mengucapkan kalimat 'Aku mencintaimu' dengan mudah.
Dan jika ini terjadi kepada mu, mungkin kamu hanya akan bisa menunggu. Menunggu prosesnya hingga dia bisa mengatakan 'Aku mencintaimu'.
****
Satu bulan berlalu....
Ajeng sedang duduk di sebuah makam sang ibu, hari ini ibunya berulang tahun dan Ajeng tidak pernah melupakan hal itu. Biasa dia akan pergi ke makam bersama Tika dan ayahnya namun, kali ini dia pergi diantar oleh Wita dan Andini sebab Tika sibuk kuliah dan juga mengajar les, sementara ayahnya juga sibuk menarik angkot dan katanya hari ini ada orang yang carteran mobil untuk acara sehingga Dimas sudah pergi dari subuh tadi dan baru akan pulang larut malam.
Ajeng tidak marah, dia tahu saat ini mencari uang dengan giat adalah prioritas mereka berdua terlebih Tika sudah memberikan deposit awal untuk membeli rumah mereka dua minggu yang lalu dari hasil dia mengajar les selama satu bulan ini dan di tambah dengan uang tabungan Ajeng juga sang Ayah Dimas. Kabar bahagia itu di sampaikan Ajeng di makam sang ibu, dengan bahagia serta bangganya dia menceritakan hal tersebut.
"Maaf ya bu kita baru bisa rumah sekarang, tapi Ajeng yakin ibu pasti bahagia juga kan mendengar hal ini ?" tanya Ajeng di depan makam ibunya. Wita dan Andini merasa terharu dan setelah kembali membaca do'a di makam itu mereka pun memutuskan untuk langsung kembali ke rumah masing-masing. Supir Wita mengantarkan Andini terlebih dahulu lalu kemudian mengantarkan Ajeng.
"Gue balik ya, lo hati-hati."
Ajeng memberikan jempolnya lalu melambaikan tangan, dia berjalan dari gang depan rumah menuju ke rumahnya. Sebelum masuk ke dalam rumah Ajeng menatap rumah yang memiliki banyak kenangan itu, dia tersenyum. Ajeng masuk ke dalam rumah sambil mengucapkan salam, dia mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian rumah. Lalu mengerjakan semua list pekerjaan yang harus dia lakukan, suara motor dari depan rumahnya membuat Ajeng langsung melihat siapa yang datang.
Suara seorang Pria yang mengucapkan salam membuat Ajeng tahu siapa gerangan yang datang. "Pak Radit," ujarnya ketika sudah membuka pintu.
"Kenapa ? kamu pikir Ibra ?" tanya Radit sambil tersenyum simpul.
"Tidak Pak, saya hanya terkejut saja. Sudah satu bulan bapak tidak ke sekolah dan sekarang ke rumah jadi saya hanya terkejut saja."
Radit tidak menjawab hal itu dia langsung memeluk Ajeng dan posisi mereka saat ini masih di ambang pintu rumah. Ajeng tahu saat ini jantungnya berdegup kencang namun dia juga merasa takut sehingga dia melepaskan pelukan itu. Hal itu membuat Radit meminta maaf, dan Ajeng mempersilahkan Radit untuk duduk di depan teras rumahnya sementara dia mengambilkan air untuk Radit.
Di dapur Ajeng memegang arah hatinya dan dia tersenyum bahagia buru0buru dia ke kamar amndi dan melihat ke cermin penampilannya. Membetulkan rambut dan sedikit membasahi bibirnya dengan air agar tidak terlihat kering, hubungannya dan Radit benar-benar sudah di depan mata. Les tambahan juga sudah selesai tinggal satu minggu lagi maka ujian akan segera di mulai, jika dia lulus dengan baik maka Radit pasti mau menjadi kekasihnya atau mungkin suaminya. Ajeng tersenyum bahagia memikirkan hal itu, dia siap menikah muda jika Radit yang meminangnya.
"Ini Pak di minum dulu," ujar Ajeng menyuguhkan teh hangat untuk Radit.
"Terima kasih." Radit melihat kondisi rumah Ajeng yang sunyi lalu beralih kepada gerobak dorong yang berada tidak jauh dari posisi mereka saat ini "Kamu sekarang jualan dengan gerobak ?" tanya Radit. Dia memang sudah satu bulan tidak bertemu Ajeng, meski sering bertukar kabar namun Ajeng tidak pernah menceritakan apapun selain perihal bertanya kabar saja.
"Iya Pak, sudah dua minggu belum lama. Saya sudah tidak bisa bekerja di mini market kan jadi ya saya menambah uang pemasukan saya dari berjualan dengan gerobak ini. Di bantu dengan Tika juga sih," jawab Ajeng masih sambil tersenyum.
"Bagus tulisan di gerobaknya."
"Oh itu Ibra yang mendesainnya," jawab Ajeng lagi dan kali ini Radit sedikit terganggu. Dia memang benar-benar aneh, tidak hanya orang lain yang menilanya dia sendiri juga begitu.
"Saya pergi ke Jerman bersama Safira dan ibunya, dia mengalami kecelakaan dan harus di bawa berobat ke sana." Penjelasan Radit yang tidak di minta oleh Ajeng membuat wanita itu malah merasa tidak nyaman saat ini. Begitu perdulinya Radit kepada mantan kekasihnya lalu kenapa dia malah ke rumah Ajeng dan memeluk Ajeng seolah dia sangat merindukannya ?
"Bapak sama kak Safira em..balikkan lagi ya ?" tanya Ajeng ragu-ragu.
"Oh tidak, tidak sama sekali. Saya tidak tahu kamu mendengar hubungan saya dan Safira darimana namun kami tidak kembali bersama lagi seperti dulu, rasanya itu tidak mungkin." Radit tertunduk setelah memberikan senyuman tipisnya kepada Ajeng.
"Kenapa Pak ?" tanya Ajeng lagi, dia benar-benar sangat ingin tahu masalah hubungan Safira dan Radit.
"Kami berpisah karena Safira yang menginginkannya, dia tidak menjalin hubungan jarak jauh dan setelah dia kembali kesini tidak ada yang berubah dengan hubugan kami selain saya berteman baik dengannya. Ibunya adalah sahabat ibu saya, dan karena kami sudah sering terbiasa bersama dari kecil jadi saya sangat menyayanginya." Ajeng sudah mengerti semuanya, meski apa yang Andini dan Radit katakan berbeda tapi satu yang pasti adalah hubungan keduanya yang sangat dekat.
"Jadi Kak Safira sahabat kecil bapak ya ?"
"Hem begitulah, kamu cemburu ?" tanya Radit sambil tersenyum tipis kepada Ajeng.
"Hah ! sa- saya buka-n Pak." Ajeng menggelengkan kepala cepat sambil di ikuti gerakan tangannya.
Ponsel Ajeng bergetar dan dia melihat siapa si penelpon itu, ketika dia melihat nama yang ada di layar gawai itu ternyata Ibra. Ajeng meminta ijin kepada Radit untuk mengangkat telponnya.
"Halo," jawab Ajeng.
"Lama banget lo angkat ! ada orderan nih," suara Ibra mengoceh.
"Aduh gue tutup hari ini kan lo udah gue kasih tau."
"Bukan buat sekarang Ajeng Cantika, buat besok malam. Orderan katering prasmanan untuk tiga puluh orang."
"Aduh Ibra kok dadakan sih ! tempat-tempatnya gue belum punya."
"Aunty Viza ini yang order, masalah tempat aman besok pagi gue ke rumah lo bawa tempatnya sekalian gue bantuin lo masak." Ajeng tersenyum bahagia, Ibra memang sudah sangat banyak membantunya selama ini.
"Oke deh !"
"Lo lagi ngapain Jeng ?" tanya Ibra.
"Hah ! oh ini gue lagi sama Pak Radit."
Hening sesaat sebelum Ibra mengucapkan salam dan sambungan telpon terputus. Ajeng beralih menatap Radit yang sedang menatapnya dengan intens membuat Ajeng salah tingkah. Kenapa Radit menatapnya seperti ini, pikirnya. Dia hanya menggunakan baju kaos usang dan juga celana sebatas lutut dengan rambut yang bentuknya sudah dia tata buru-buru tadi saat membuatkan teh.
"Kamu sama Ibra dekat banget ya ?" tanya Radit dan Ajeng hanya mengangguk singkat.
"Di minum Pak teh-nya."
"Kamu tahu Ibra itu siapa ?" Bukan mengalihkan pandangan dari Ajeng ke teh malah Radit masih betah menatapnya seperti tadi.
"Tahu Pak, dia keponakan dari donatur tetap sekolah dan keluarganya kaya raya. Alasan dia pindah ke sekolah kita juga saya tahu."
"Bukan hanya itu saja Ajeng, ya meski saya salut sama kamu karena lebih menyukai saya dibandingkan dia. Ibra padahal masih muda dan ganteng, rebutan di sekolah maupun tetangga sekolah kita. Prestasinya bagus, dan seperti yang sudah kamu tahu dia dari keluarga terpandang."
"Ibra yang tidak suka sama saya Pak, bapak tau Alya ? nah mereka sedang dalam tahap pendekatan."
"Benarkah ? saya pikir dia menyukai kamu."
"Suka apanya, tiap ketemu nimpuk kepala saya mulu itu manusia." Ajeng mengingat kelakuan jahil Ibra itu setiap bertemu dengannya "Tapi dia baik kok Pak, saya bahkan sudah menganggapnya sahabat saya."
Obrolan panjang Radit dan Ajeng tidak terasa berlalu hingga dua jam, dari Radit Ajeng tahu kalau Ibra ternyata anak dari seorang Ratu dari Kerajaan yang ada di timur tengah. Dia juga adalah calon penerus dari Kerajaan tersebut, fakta yang dia tahu ini tentu membuat Ajeng takjub. Ya, dia takjub karena Ibra selama ini sangat rendah hati kepada siapa saja, termasuk kepadanya yang hanyalah kalangan bawah.
Saat Radit ingin pulang Tika baru saja kembali, mereka sempat berkenalan lalu Radit pun langsung pergi setelah memberikan oleh-oleh yang dia bawa untuk Ajeng dari Jerman. Tika tersenyum menggoda Ajeng, senyuman malu-malu Ajeng benar-benar lucu di mata Tika sehingga dia semakin ingin menggodanya.
"Ciyee...yang malam minggu di apelin sama yayang. Kalau udah resmi pacaran jangan lupa traktir ya Jeng !" seru Tika yang berteriak dari ruang tamu sementara Ajeng di dalam kamar.
Bersambung....