Menyadari memiliki saingan sedikit banyaknya akan mempengaruhi mood seseorang, bohong jika ada yang mengatakan 'aku baik-baik saja' ketika sudah mengetahui ada lawan atau saingan yang harus mereka kalahkan. Memikirkan trik selanjutnya agar bisa memenangkan pertarungan, baik dalam dunia bisnis maupun percintaan. Itulah yang saat ini menjadi beban baru dalam pikiran Ajeng, fokusnya sudah benar-benar terbagi. Antara mencari uang, belajar untuk mendapatkan hasil baik di akhir kelulusan, dan sekarang memikirkan cara menarik perhatian Bapak Guru tercinta agar Pak Radit tidak kembali melirik sang mantan yang bernama Safira.
Safira atau yang disebut Ajeng Sapiro kini benar-benar mengusik pikiran Ajeng, hal itu jelas terlihat dari raut wajah Ajeng yang tidak tersenyum sepanjang waktu di sekolah. Wita dan Nindi juga bahkan di biarkan begitu saja oleh Ajeng, tapi jatah makan siang Pak Radit tetap dia berikan sesuai dengan permintaan Pak Radit, tidak berminyak dan menggunakan minyak olive oil.
"Nin," panggil Ibra yang melihat Nindi serta Wita berada di kantin saat jam istirahat berlangsung. Penampakan mereka berdua terasa aneh tentu saja untuk Ibra, karena biasanya akan ada Ajeng kemana pun mereka pergi.
"Ajeng mana ?"
"Dia lagi bad mood, tau deh habis jalan sama Pak Radit kan semalam, malah hari ini gak semangat hidup begitu." Wita berkomentar.
"Atau jangan-jangan dia udah nembak Pak Radit ya ? trus di tolak, makanya lagi bad mood karena patah hati." Nindi mulai mengarang bebas dan Ibra menghembuskan napasnya.Ibra tidak berbicara lagi melainkan langsung pergi mencari Ajeng di kelasnya, dia tidak melihat adanya wanita itu.
Mencari ke halaman belakang sekolah juga tidak ketemu, Ibra mulai bingung dan satu-satunya tempat yang akan Ajeng menurut Ibra adalah ruang guru. Ibra berjalan kesana dan benar saja, dia melihat Ajeng sedang duduk di salah satu bangku yang ada di luar ruangan guru sambil memegang sebuah buku di hadapannya layaknya wanita itu tengah membaca isi buku tersebut.
Ibra yang sedang memegang bola bakset langsung saja melemparkan bola itu ke arah buku yang tengah Ajeng pegang, dia tersenyum ketika Ajeng terkejut dan mengumpat. Ajeng yang hapal siapa yang gemar sekali mengusik ketenangannya tanpa menoleh sudah menggeram dan menyebutkan nama Ibra.
Ibra mendekati Ajeng dengan senyumnya, demi apapun di dunia ini ingin sekali rasanya Ajeng melemparkan bola basket itu ke wajah Ibra saat ini.
"Jangan mempermalukan diri lo sendiri Jeng," ujar Ibra membuat Ajeng berdecak kesal. Dia sedari tadi tidak melihat Pak Radit, maka dari itu dia menunggu disana sambil berpura-pura membaca buku. Padahal logikanya tidak mungkin Ajeng kesana duduk dengan membaca buku, jarak kelasnya dan ruang guru bahkan jauh.
Ajeng melihat Ibra yang mengembalikan bukunya lalu menarik bahu Ajeng untuk dia rangkul menjauh dari ruang guru. Ajeng hanya menurut saat Ibra mengajak menjauh dari ruang guru, tapi ketika wajah Radit muncul buru-buru Ajeng menurunkan tangan Ibra yang ada di pundaknya. Meski begitu tetap saja Radit sudah melihat hal tersebut, wajah Radit sempat terdiam sesaat dan itu jelas dilihat oleh Ibra.
"Hai Pak Radit," sapa Ajeng dengan manis membuat Ibra mencibir pelan.
"Kalian pacaran ?" tanya Radit dan Ajeng langsung menggelengkan kepalanya.
"Saya sedang mencobanya Pak, bolehkan ?" tanya Ibra yang membuat Ajeng melotot kepada Pria itu. Gagal sudah rencananya untuk dekat dengan Pak Radit jika sudah begini, pikir Ajeng.
"Tentu saja, asal tidak mengganggu nilai pelajaran." Setelah mengatakan hal itu Radit berlalu begitu saja. Ajeng menahan emosinya mati-matian, setelah Radit benar-benar sudah pergi dan tidak terlihat lagi Ajeng menginjak kaki Ibra dengan sangat kuat.
"Aj-eng," kata Ibra yang merasa kesakitan.
"Lo bener-bener nyebelin jadi manusia ya."
"Gue sore ini ada pertandingan basket Jeng, astaga kak-ki gue."
"Bodo amat !" kata Ajeng dan dia mengambil bola bakset Ibra untuk dia bawa bersamanya. Sepanjang jalan menuju kelas Ajeng terus mengoceh dengan bola basket itu layaknya bola tersebut adalah Ibra. Dia meminjam pisau cutter dari temannya di dalam kelas, lalu dengan kesalnya membuat sayatan banyak di bola tersebut.
Nindi dan Wita yang baru masuk kedalam kelas melihat itu langsung segera mendekati Ajeng.
"Jeng astaga lo ngapain ?"
"Ini bola setan, biar dia rasain !" Ajeng masih melakukan aksinya itu sampai muncul lah Ibra di kelasnya yang berjalan masih dengan susah payah, melihat benda kesayangannya dijadikan alat pelampiasan emosi Ibra tidak terima. Dia segera menarik paksa bola itu hingga melukai telapak tangannya sendiri.
"Astaga Ibra tangan lo," ujar Nindi yang melihat darah segar mengalir.
"Apa lo ? mau marah," kata Ajeng masih dengan emosinya.
"Penilaian gue sama lo ternyata salah, seharusnya lo udah cukup memaki gue Ajeng bukan dengan merusak benda yang sama sekali tidak mengerti dengan tindakan yang lo lakuin."
"Bodo amat ya, makanya jadi orang jangan selalu ikut campur urusan orang lain. Ngapain lo juga dekat-dekat gue terus, gue risih tau gak !"
Ibra tersenyum tipis dan seolah mengejek Ajeng dengan hal itu, pandangan Ibra kini lebih dingin dan menusuk dari sebelumnya seolah Pria itu sangat membenci sosok Ajeng saat ini. "Gue mencoba menyelamatkan tindakan bodoh lo, lo pikir pria yang lo puja itu bakal melirik lo dengan apa yang lo lakuin tadi ? terlebih dengan penampilan semraut yang lo perlihatkan seperti ini ? lo itu wanita, kalau bukan lo yang menjaga harga diri lo sendiri siapa lagi. Atau mungkin itu semua gak ada artinya buat lo ya, membuang waktu saja !" Ibra pergi setelah mengatakan hal itu, dia tidak perduli dengan darah yang terus menetes.
"Ibra," panggil Wita lalu dia mengejar Ibra untuk mengobati luka pria itu. Sementara Nindi memandangi sekeliling mereka yang tentu saja tengah menatap ke arah Ajeng, dia menyuruh Ajeng untuk duduk.
Nindi tahu maksud dari omongan Ibra tadi, dan dia tahu jika Ibra mengatakan hal yang benar. Menarik napasnya lelah, dia tahu dia harus memberitahukan Ajeng serta Wita sesuatu. Tapi mungkin nanti setelah usai jam sekolah, karena saat ini guru biologi mereka sudah masuk.
"Dimana Wita ?" tanya guru itu.
"Wita sedang ada di UKS bu, sebentar lagi dia masuk kok bu."
"Baiklah."
Ajeng hanya diam, tidak berbicara sedikitpun, bahkan saat Wita sudah masuk dan duduk di sebelahnya dia tidak mengatakan apapun. Wita dengan tenang melihat raut wajah Ajeng, dia mengusap bahu Ajeng lalu menahan ingin mengatakan sesuatu. Meski tahu perbuatan Ajeng salah tapi dia tidak akan menghakimi sahabatnya itu, setiap orang jika sudah emosi pasti akan melakukan hal yang bodoh dan salah. Tapi dari hal itulah kita akan mendapatkan pelajaran dan akan menghindari kesalahan itu lagi untuk kedepannya.
****
Jam sekolah usai, tapi Ajeng masih saja terus diam meski Wita dan Andini sedang membantunya di mini market. Andini tidak lagi bisa menahan lebih lama ingin menyampaikan hal yang ingin dia katakan kepada Ajeng dan juga Wita, dia tahu setelah mengatakan ini mungkin dia akan menyakiti hati Ajeng tapi sepertinya itu harus dia lakukan.
"Ajeng," ujar Nindi dan hal itu menarik perhatian Ajeng dari beberapa makanan yang sedang dia bersihkan dari rak.
"Apa ?" tanya Ajeng tidak bersemangat.
"Pak Radit, dia abang gue." Wita dan Ajeng menatap Nindi tanpa ingin berkata apapun selain menuntut penjelasan lebih.
"Dia saudara gue tapi tidak dari ibu yang sama, dia anak dari selingkuhan bokap gue."
"Lo serius ?" tanya Wita yang tidak yakin dengan fakta yang ia dengar saat ini.
"Serius, tapi bokap gue lebih sayang dia daripada gue.Karena ibunya adalah kekasih bokap gue dan ibu gue hanyalah wanita yang di jodohkan. Gue bencin dia Jeng, gue juga benci ibunya dan saran gue lo gak seharusnya suka sama manusia egois seperti dia."
Mendengar hal itu Ajeng tidak berkomentar apapun, dia tidak tahu setelah mendengar hal ini hatinya akan berubah atau tidak. Dia sungguh rasanya ingin kembali kekamar dan memeluk guling seharian penuh, hanya itu yang ingin Ajeng lakukan.
"Dulu dia punya pacar, namanya Safira hubungan mereka sudah lama setahu ku. Tapi mereka berpisah karena Safira melanjutkan kuliah di luar negri dan abang tiri gue itu yang memutuskannya, Safira yang cerita ke gue karena hampir setiap harinya wanita satu itu mencaritahu keberadaan Radit."
"Lo tinggal satu rumah dong sama Pak Radit ?" tanya Wita.
"Enggak ! kita pernah satu rumah tapi sebentar, setelah gue minta bokap pilih tinggal gue atau dia, taunya gak lama dia pindah dari rumah. Sadar diri kali," ujar Nindi terdengar jelas jika dia sangat membenci Radit.
"Tapi bokap sayang banget sama dia, semua bisnis juga sekarang dia yang atur. Sampai dia juga harus ke sekolah ini, apalagi jika bukan untuk lihat mana guru dan staf yang kompeten dan harus di pertahankan dan mana guru serta staf yang harus dia keluarkan."
"Astaga !" Wita menutup mulutnya tidak percaya dengan hal itu.
"Dia itu ibaratnya serigala berbulu domba. Manis banget tapi sadis aslinya, dia pecat semua orang yang di pekerjakan almarhumah nyokap gue dengan alasan mereka tidak kompeten. Bahkan supir gue juga di pecat, padahal hanya supir itu satu-satunya tempat gue sering cerita masalah gue dan bokap. Gue udah tau sih alasan dia melakukan itu, pasti dia ingin semua gerak-gerik gue di rumah maupun di luar bisa dia ketahui, karena dia menganggap gue ini saingan dia. Itu yang tante gue bilang."
"Jeng, gue gak maksa untuk lo lupain dia itu perasaan lo. Gue gak bisa meminta dan memaksa lo, tapi gue cerita ini hanya agar lo bisa tahu siapa dia sebenarnya. Dia suka nolong anak-anak jalanan hanya sebagai bentuk pencitraan ke bokap gue. Gue gak mau hati lo dipermainkan oleh dia, karena sudah pernah ada korbannya."
"Maksud lo ?" tanya Ajeng dan baru kali ini dia bersuara dari sekian banyak cerita yang Andini ucapkan.
"Namanya Agnes, dia anak dari teman bisnis bokap gue. Hal yang buat Safira putus dengan Radit, dan juga setahu gue mereka pernah begituan bareng sampai si Agnes datang kerumah nangis-nangis di depan bokap gue."
"Terus ?" tanya Wita tidak percaya.
"Terus ya apalagi, bokap gue keluar duit banyak buat nyumpel mulut perempuan itu."
Hati Ajeng sakit mendengarnya, wajah Radit yang selalu ramah dan sopan kepadanya kini menghias pikirannya. Bagaimana mungkin pria sebaik Pak Radit yang diketahui bisa berbuat hal demikian, Ajeng sungguh tidak bisa percaya. Tapi Nindi tidak mungkin berbohong, dan untuk apa wanita ini berbohong kepadanya.
Bersambung....