Jatuh itu sakit, hanya jatuh cinta saja yang indah. Namun hati-hati, jatuh yang satu ini ada efek sampingnya. Malah bisa jadi komplikasi !
****
Menarik napasnya lelah Ajeng pulang dan masuk kedalam rumah. Dimas dan Tika menyambut kedatangan Ajeng dengan raut wajah bahagia, ada satu buah kue mini dengan satu batang lilin kecil yang bisa Ajeng lihat, dia lalu tersenyum sangat tersentuh dengan apa yang sudah Tika dan ayahnya lakukan.
"Ayah," kata Ajeng mengusap air matanya.
"Selamat ulang tahun anak ayah yang paling cerewet," ucap Dimas dan Ajeng bersungut-sungut dengan manjanya.
"Selamat ulang tahun ya adek aku yang paling manis. Semoga apapun yang kamu inginkan tercapai ya," ujar Tika ikut memeluk ayah dan adiknya itu bersamaan.
Sejujurnya Ajeng tidak teringat jika dia berulang tahun, jatuh hati dengan gurunya itu membuat pikirannya semakin bertambah banyak. Ajeng benar-benar kesal pada diri sendiri, pantas saja tadi Wita mentraktirnya setelah jam kerjanya selesai. Menyebalkan, Wita bahkan tidak mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya. Jika Andini wajar saja, dia juga baru berteman dekat dengan wanita itu.
"Oh ya, tadi ada yang datang katanya teman kamu. Dia nitip ini buat kamu," kata Tika lalu tidak lama Ajeng melihat kotak kado dan juga kotak kue yang secara bersamaan Tika berikan untuknya.
"Siapa yang ngasih ?" tanya Ajeng namun dari ciri-ciri yang Tika beritahu Ajeng mulai bisa mengetahui siapa orangnya.
"Sudah ayo makan, bapak tadi beli makanan kesukaan kamu loh !"
"Serius Pak ?" tanya Ajeng sumringah dan meletakkan dua kotak yang saat ini dia pegang. Buru-buru dia ke dapur mengikuti ayahnya dan Tika.
Ajeng bisa melihat bungkusan makanan yang khas dengan restoran cepat saji yang merupakan makanan kesukaannya. Namun tidak lama kemudian Ajeng menatap sedih kearah Dimas, dia memeluk Dimas yang masih mengambil nasi untuk makannya.
"Maafin Ajeng ya Yah, harusnya ayah tidak perlu membelikan Ajeng ini pasti uang setoran ayah jadi berkurang karna membeli ini." Ajeng meneteskan air matanya, Dimas hatinya seolah diremas dia sakit melihat Putrinya yang masih belia bisa memikirkan hal ini. Harusnya Ajeng tidak perlu terbebani dengan kondisi ekonomi mereka, harusnya tugas Ajeng hanya perlu belajar tapi dia tidak bisa memberikan semua itu kepada Ajeng dan Tika.
Kedua Putrinya harus ikut membantu serta memikirkan beban ekonomi yang jatuhnya adalah tanggung jawabnya. "Ajeng, hari ini ada yang nyewa angkot ayah. Katanya dia buru-buru, dia pakai satu jam saja dan Ayah di bayar lima ratus ribu hanya untuk mengantarkan dia ke rumah sakit yang tidak terlalu jauh juga."
Ajeng dan Tika terdiam mendengar hal itu mereka menatap Dimas dengan tidak percaya.
"Ayah tahu kan kalau berbohong itu dosa ?" Ajeng yang tidak percaya dengan polosnya mengatakan hal itu kepada Dimas, satu sentilan mendarat di kening Ajeng dan Dimas mengeluarkan dompetnya.
"Ini lihat !" Dimas memperlihatkan isi dompetnya membuat dua wajah anak gadisnya itu tersenyum lebar.
"Sering-sering aja ada orang buru-buru berarti ya," ucap Ajeng dan mereka tertawa bersama.
Sambil makan ayah dan anak itu menikmati siaran dari televisi jadul yang mereka masih pakai hingga saat ini, mungkin pada era moderen sekarang semua orang sudah memiliki jaringan internet di rumahnya namun mereka masih menggunakan antena dan juga televisi tabung. Makan ayam saja belum tentu bisa mereka nikmati satu bulan sekali, mengingat hal itu rasanya Ajeng sudah terlalu berlebihan dengan mengeluarkan uang untuk membeli minyak zaitun yang harganya mahal itu untuk memasak makanan yang akan dia berikan kepada Pak Radit.
Dimas malam itu juga menasehati anaknya jika lebih baik mereka tidak berpacaran dulu, karena jika berpacaran maka konsentrasi belajar mereka akan menurun. Tapi, jika memang tetap ingin pacaran Dimas tidak melarangnya asal dengan batas yang wajar dan Dimas harus tahu siapa kekasih anak-anak mereka itu.
Mendengar hal itu,Tika tersenyum malu sehingga Ajeng menebak jika kakak perempuannya itu sudah memiliki tambatan hati. Wajar saja, Tika cantik dan juga pintar pasti ada pria yang menyukai kakaknya itu. Tidak sepertinya yang masih saja awut-awutan dalam berpenampilan. Ajeng melihat wajahnya dari depan cermin yang ada di dekatnya, pantulan wajahnya terlihat menyeramkan. Ada gerutu-gerutu tidak jelas, dan wajahnya sangat kusam. Rambutnya juga tidak bersinar seperti yang dimiliki teman-temannya.
"Ajeng kenapa melamun, ayo makan." Tika membuyarkan lamunan Ajeng.
"Tik," kata Ajeng sambil menatap kakanya itu dengan tatapan memelas.
"Hem, ada apa sih !"
"Ajarin gue dandan dan perawatan wajah dong."
Dimas terbatuk-batuk mendengar hal itu sementara Tika malah tertawa, Ajeng biasa tidak pernah perduli dengan hal semacam ini. Jadi saat dia berbicara seperti ini rasanya sangat lucu, melihat raut Ajeng yang kesal Tika berhenti tertawa.
"Perawatan wajah apanya ? gue juga cuma pakai bedak bayi sama kaya elo, bedanya gue rajin mandi."
Sialan sekali Tika malah mengejeknya, Ajeng semakin kesal saja. Dimas yang melihat dua Putrinya itu sangat bahagia, Dimas mengusap lembut rambut Ajeng. "Kamu sedang suka dengan seorang Pria ? apa dia yang datang kesini dan membawa semua itu ?" tanya Dimas mengingatkan Ajeng jika masih ada hal lain yang perlu dia lihat apa isinya.
"Itu yang antar siapa juga Ajeng belum tahu siapa," ujar Ajeng segera menghabiskan nasinya membuat Tika menggelengkan kepala.
"Jeng makan yang manis-manis kaya mesti lo kurangi deh, itu badan lo makin besar aja gue lihatnya."
"Tika ! diem dong, suka banget ngatain adik sendiri. Ayah lihat nih Tika." Ajeng kesal setengah mati, sudah mood-nya hancur karena Radit dan masa lalunya sekarang Tika ikut membully dia pula.
"Siapa yang ngatain sih Adik ku sayang, ini hanya sebuah kritikan sayang saja. Lagian kalau lo gak percaya dan masih mau makan manis sebanyak mungkin juga terserah lo aja, gue cuma kasih tau biar lo gak kebablasan. Kalau sudah terjadi susah ntar lo nurunin berat badan lo."
"Apa yang Tika bilang itu benar Ajeng, jangan marah ya."
"Iya !" seru Ajeng namun masih dengan wajah masam.
Acara makan malam sederhana bersama keluarga sudah selesai, Ajeng dan Tika sudah masuk kedalam kamar mereka. Keduanya menatap sebuah hadiah yang pasti harganya sangat mahal, tapi siapa yang mngirimkannya ini ? benarkah Ibra ?
"Lo yakin dia pakai motor sport dan jaket denim ?" tanya Ajeng lagi dan Tika mengangguk.
"Tas sekolah dengan merk terkenal ini sepertinya sudah di persiapkan jauh-juah hari deh, lihat ada nama lo juga di dekat resletingnya." Tika menunjukkan apa yang dia maksud dan Ajeng membenarkannya. Besok pagi dia akan berbicara dengan Ibra, Ajeng menutup mata ketika mengingat Ibra. Pertengkaran mereka berdua masih mengganjal dalam benak Ajeng, tapi sepertinya tidak mungkin jika itu Ibra, kan mereka juga masih bertengkar.
Ajeng kemudian menatap cake ulang tahun yang bertuliskan namanya serta ucapan selamat ulang tahun, cake ini juga sangat enak pastinya terlihat dari hiasan yang begitu indah. Hiasan starberry dan cream keju membuat Ajeng sangat menyukai kue itu. Lagi dia bertanya siapa pengirimnya, dan Ajeng kesal sendiri.
Tika sudah terlelap tidur, namun Ajeng dia masih menulis di buku catatan alias diary yang ia miliki. Satu lagi nama Pria yang masuk ke dalam sana, namun yang ia tulis hanya tentang bagaimana dia kesal dan jengkel kepada pria itu, Adik kelas yang selalu melempar kepalanya dengan apa saja.
****
Pagi hari yang sangat santai bagi Ajeng karena dia tidak membuat sarapan pagi dan kue untuk dia jual hari ini, alasannya sederhana karena dia sedang malas. Haduh malas, kapan kayanya kalau dia memelihara ini sifat malas.
"Jeng," sapa Wita dan memberikan satu kotak hadiah.
"Lo gak ngucapin selamat ulang tahun gitu," ketus Ajeng dan Wita hanya tertawa.
"Penting banget ya di ucapin, yang penting kan do'a nya gembul !" Wita mulai memeluk Ajeng dengan gemas.
"Apa-apaan itu ? jangan panggil gue gembul lagi ya, awas aja lo !" Wita menutup mulutnya dan memberikan jempol kepada sahabatnya itu Andini tiba datang dan memeluk Ajeng dari belakang.
"Happy birthday ya Ajeng," ujar Nindi semakin menambah kebahagiaan Ajeng "Maaf ya gue telat ucapinnya, gue gak tau semalam lo ulta."
"Terus sekarang lo tau dari mana ?" tanya Wita dan Ajeng bersamaan.
"Dari Ibra, gue ketemu dia di toko Roti terus pas gue tanya buat siapa kata dia buat elo."
"Astaga Ibra kasih lo cake ulang tahun Jeng ?" Ajeng belum menjawab karena keterkejutannya lalu matanya menatap sosok Ibra yang baru turun dari motornya di parkiran sekolah. Ajeng tanpa menunggu langsung saja menghampiri Ibra di tempatnya.
"Ibra," katanya dan Ibra menatap Ajeng dengan datar namun tetap pergi dari parkiran itu membuat Ajeng terpaksa mengejarnya "Ibra ngapain lo kasih gue kado mahal kaya gitu dan cake ulang tahun ? lo mau bikin gue gendut dan gue berhutang sama lo gitu ?"
Ibra mendengus lalu menatap wajah Ajeng dengan kesal, tapi dia tetap saja pergi bahkan satu bahunya sedikit mendorong Ajeng ketika dia berjalan. "IBRA !" panggil Ajeng dengan berteriak kesal, ini masih pagi dan otot Ajeng sudah sangat tegang. Wita dan Nindi yang melihat hal itu langsung mendekati Ajeng juga Ibra, mereka saat ini sedang jadi bahan tontonan.
"Bukannya lo gak mau bicara sama gue lagi ?" tanya Ibra setenang mungkin dan sialnya sangat mempesona mata semua kaum hawa disana termasuk Ajeng.
"Terus kenapa lo kasih gue kado dan cake itu ?"
"Gue beli pakai duit gue dan terserah gue mau kasih ke siapa, kalau lo gak suka silahkan lo buang. Gampang kan, jangan suka memancing perhatian orang Ajeng, lo gak pantas melakukan hal itu. Karena lo pantasnya untuk di perhatikan, bukan mencari perhatian." Ajeng mengikuti arah pandang Ibra saat ini dan benar saja dia melihat Pak Radit ada di parkiran itu juga sedang melihatnya dan Ibra yang berbicara terlalu dekat saat ini.
Entah kapan Ibra pergi Ajeng tidak tahu, yang dia tahu saat ini adalah tatapan mata Radit yang tidak bisa dia mengerti kepadanya. Nindi segera pergi tanpa menunggu Radit mendekati mereka, Ajeng jadi salah tingkah karena saat ini banyak mata yang menatap dia.
"Kamu ulang tahun Ajeng ?"
"I- iya Pak. Hehehe.." Ajeng sedikit tidak nyaman untungnya Wita masih ada didekatnya.
"Kalau begitu selamat ulang tahun, semoga semua yang kamu impikan bisa tercapai ya." Senyuman itu membuat kaki Ajeng lemas bagaikan jelly dan jantungnya berdetak lebih cepat. Ajeng benar-benar sudah jatuh cinta kepada Pak Radit, dia mengulum senyum dan sangat bahagia saat ini.
"Andai bapak tahu kalau impian saya saat ini adalah menjadi wanita yang bapak cintai,"
Bersambung....