Senyuman wanita di depan Ajeng saat ini benar-benar memukau, dia bahkan tidak berhenti menatapnya sedari tadi dan untungnya segera sadar ketika Radit menyentuh tangannya. "Kamu kenapa ?" tanya Radit dan Ajeng menggelengkan kepalanya. "Ini kenalkan Safira, dia teman saya yang ikut bergabung untuk sekolah anak-anak di sini." Jelas Radit dan Ajeng mengulurkan tangannya untuk berkenalan, wanita bernama Safira itu menyambut tangan Ajeng dan menyebutkan namanya.
"Kamu pacarnya Radit ya ?" tanya Safira membuat Ajeng salah tingkah, andai saja dia bisa mengatakan 'iya'.
"Bukan. Dia murid saya," kata Radit memberikan fakta yang menyayat hati. Safira tersenyum lalu dia dengan tanpa basa-basi menggandeng lengan Radit menuju sebuah meja yang terlihat banyak orang
Entah apa saja yang dibicarakan Radit dengan teman-temannya yang juga ada disana, sementara Ajeng hanya bisa menatap dari kejauhan. Dia sedang duduk bersama anak-anak yang akan ikut sekolah yang Radit bangun bersama teman-temannya tersebut, awalnya Ajeng masih tidak merasa bosan namun karena niatnya ikut dengan Radit agar bisa bersama Pria itu sehingga membuatnya merasa tidak nyaman saat ini.
Ajeng tahu sikapnya tidak baik seperti ini, dalam artian dia ingin membantu Radit karena ada maunya, mau-nya yaitu agar bisa dekat-dekat dengan Radit. Sesuatu mengenai kepala Ajeng membuat anak-anak disana tertawa, Ajeng menarik napasnya lelah lalu melihat siapa yang sudah melemparkan botol air mineral yang sudah kosong itu ke kepalanya.
"Ibra," seru Ajeng namun bukan dengan nada marah melainkan terkejut.
"Lo di sini ?" tanya Ibra dan Ajeng mengangguk.
"Gue pikir siapa tadi." Ibra menjawab sambil berjalan santai untuk mendekat ekarah Ajeng. Ibra terlihat sangat tampan menggunakan polo shirt berwarna navy dan celana jeans. Terlihats antai dan juga memukau pastinya. Tinggi Ibra mungkin sekitar seratus delapan puluh dua centimeter yang membuat Ajeng layaknya anak kecil jika berada di samping Ibra. Radit saja kalah tinggi dengan adik kelasnya itu.
"Doyan banget ya lo mukul kepala gue, kalau gue hilang ingatan gimana ?"
"Bagus dong !"
"Ih kok bagus sih, kamvret banget jadi adek kelas. Gak sopan !"
"Kalau lo hilang ingatan tingkah lo gak bakal konyol kaya gini."
"Konyol gimana ?"
"Pikir aja sendiri ! lagian gue sengaja lemapr kepala lo biar lo dengerin anak-anak yang sibuk nanya sama lo, bukan malah terus liat ke arah sana," tunjuk Ibra dan buru-buru tangannya di tarik Ajeng. Gawat jika sampai Pak Radit tahu kalau sedari tadi dia hanya menatap Pak Radit dan tidak memperdulikan anak-anak disana.
"Lo kenapa bisa ada disini ?"
"Kenapa ? gue salah satu donatur di sekolah ini," jawab Ibra lalu dia menatap Ajeng yang saat ini mencibirnya. Ibra hanya tersenyum sambi menggelengkan kepala.
"Ayo balik, ini udah malam banget. Kasihan keluarga kamu pasti nungguin."
"Ta-pi Pak Rad-it ?"
"Dia sudah besar, bisa balik sendiri." Ibra menarik paksa tangan Ajeng, namun dengan cepat Ajeng menarik lengannya. Keributan yang mereka ciptakan itu tentu saja menarik perhatian dari Radit dan juga Safira yang tidak jauh berada dari posisi mereka saat ini.
Radit menghampiri kedua orang itu lalu berdeham. "Pak Radit maaf," ujar Ajeng tidak enak karena beberapa pasang mata sudah melihatnya saat ini.
"Ada apa ini ?" tanya Radit dan dia jelas menatap ke arah Ibra.
"Saya mau ajak Ajeng pulang Pak, ini kan sudah larut malam. Kasihan pasti keluarganya cemas," jawab Ibra tidak takut sama sekali dengan tatapan Radit. Radit melihat jam di pergelangan tangannya lalu mengangguk.
"Tapi-kan saya datang sama Pak Radit, ya harus balik sama Pak Radit dong. Lo kalau mau balik yaudah balik aja," kata Ajeng tapi tanpa menunggu persetujuan Radit Ibra sudah menarik lengan Ajeng sambil berkata.
"Pak Radit biar saja aja yang antar Ajeng."
"IBRA !" Kesal Ajeng lalu menghentakkan kakinya sambil berjalan.
"Lo ngapain sih ganggu gue aja ? suruh banget jadi manusia," ujar Ajeng masih kesal meski saat ini di kepalanya sudah di pakaikan helm oleh Ibra. Ketika helm itu sudah terpasang sempurna di kepala Ajeng, Ibra memukul pelan helm itu yang otomatis membuat Ajeng mengumpat.
Ajeng naik ke atas motor juga pada akhirnya, karena memang sudah jam sebelas malam mau tidak mau dia memang harus kembali ke rumahnya. Ajeng sangat menjaga jarak ketika dia sudah naik, tapi dengan jahilnya Ibra menarik gas yang cukup membuat tubuh Ajeng ingin jatuh ke belakang sehingga otomatis tangan Ajeng memeluk erat Ibra.
Ketika Ajeng menyadari hal itu dia ingin melepasnya namun di tahan oleh salah satu tangan Ibra "Peluk aku, jika kau ingin lihat bagaimana Pak Radit bereaksi setelah ini maka lakukan saja seperti ini."
Ajeng terdiam, dia masih mencerna kenapa Ibra melakukan ini semua dan ketika motor Ibra mulai bergerak Ajeng bisa melihat tatapan dingin dari Radit ke arah mereka. Satu pertanyaan tersemat di pikiran Ajeng, apakah Radit dan Ibra saling kenal dekat satu sama lain.
"Ibra lo kenal Pak Radit ?"
"Tentu saja, dia guru di sekolah gimana gak kenal !"
"Ck, bukan itu maksudnya. Lo kenal dekat ya sama Pak Radit ?"
"Enggak ! hanya sebatas kenal saja, tapi Safira setahu gue Safira itu adalah mantan pacar dari Pak Radit." Ajeng yang mendengar hal itu langsung terdiam seketika.
Ajeng diantarkan langsung ke rumah oleh Ibra, dan setelah memastikan wanita itu masuk kedalam rumahnya Ibra pun pergi begitu saja, tanpa mengatakan apapun juga tanpa Ajeng mengucapkan terima kasih. Kepala Ajeng benar-benar sudah buntu rasanya karena memikirkan perihal Safira serta Radit.
Baru juga jatuh cinta dan mulai berusaha, cobaannya sudah ada saja. Biasa orang manis-manis dulu baru ketemu masalah. Tapi dia ? belum apa-apa sudah punya saingan, mana mantan pacar pula.
"Kalau masuk rumah itu mengucapkan salam Ajeng," tegur Dimas membuat Ajeng hanya bisa tersenyum merasa bersalah.
"Maaf ya Pak," katanya dan Dimas langsung menyuruh Ajeng untuk tidur.
****
Diam-diam menyukai seseorang itu bukanlah hal yang mudah, melihat Ajeng bersama dengan Pak Radit sungguh membuat Ibra tidak nyaman. Terlebih wanita itu begitu konyolnya hanya terus menatap ke arah yang sama, bahkan lemaparan batu kerikil kecil yang Ibra lemparkan ke tangan Ajeng tidak membuatnya menoleh sedikit pun. Alhasil dia meminum air mineral hingga tandas lalu botolnya dia lemparkan ke kepala Ajeng.
Ibra memang ikut berdonasi untuk program sekolah yang dibangun Radit dan juga teman-teman Pria itu lainnya, tentu Ibra tahu mengapa Radit mengajaknya untuk memberikan sumbangan. Itu semua tidak lepas karena Radit tahu siapa dia dan bagaimana latar belakang keluarganya.
Tadinya Ibra tidak ingin ikut ke pembentukan sekolah itu, namun setelah mendengar jika Ajeng akan pergi dengan Radit dia langsung berinisiatif untuk datang, dan benar saja sudah ada Ajeng ketika dia datang.
Ibra sudah sering memikirkan apa yang membuatnya tertarik kepada Ajeng, dan dia tidak menemukan jawabannya. Semua yang wanita itu lakukan terlihat manis untuknya, dan juga Ibra hanya selalu betah menatapnya. Meski tahu jika sifatnya ke Ajeng sungguh menjengkelkan tapi hanya cara itu yang bisa membuatnya dekat dengan Ajeng, bagi Ibra saat ini semua rasa memberontaknya bisa dikendalikan karena adanya Ajeng.
Ponsel Ibra bergetar dan saat melihat nama si penelpon Ibra tersenyum simpul, mengangkatnya dan terdengarlah suara wanita yang begitu Ibra sayangi serta hormati di Dunia ini.
"Hei Ibunda, ku pikir kau tidak mau lagi menelpon ku ?"
"Apa itu yang kau inginkan ?" tanya sang ibu dengan nada datar.
"Tentu saja tidak ! I miss you ibunda." Bukankah Ibra anak yang manis ketika menelpon ibunya ?
"Ibu juga merindukan mu Ibra, maka dari itu lekaslah kembali. Hukuman mu sudah ibu hentikan," kata Harlein sang Ratu Fortania.
"Ibunda maaf, Ibra tidak bisa kembali sekarang. Ada yang perlu Ibra selesaikan disini."
"Apa karena wanita itu ?"
"Oh come on, apa Ibunda memata-matai kami ?"
"Lupakan saja dia, dia tidak akan menyukai mu. Terlebih dia tidak akan bisa beradaptasi di istana."
"Ibunda," kata Ibra penuh penekanan. Bagaimana bisa Ibundanya itu sudah memikirkan Ajeng akan tinggal di istana, jalannya dan Ajeng masih sangat panjang bukan mau langsung menikah bulan depan. Ada-ada saja, pikirnya.
"Baiklah, ibunda ada urusan dengan ayahanda mu. Pikirkan lagi tentang keputusan mu ini Ibra, jangan terlalu gegabah membuat keputusan apalagi karena seorang wanita."
Bersambung...