Mendekati ujian akhir semester tidak ada guru yang absen sama sekali dalam satu bulan ini, tugas sekolah juga ikut menumpuk membuat pikiran Ajeng semakin kusut.
Saat bel tanda istirahat berbunyi Ajeng menghembuskan napas lega, ketika guru benar-benar sudah keluar kelas Ajeng merebahkan kepalanya di atas meja.
Wita menepuk pundak Ajeng untuk keluar dan karena dia butuh energi Ajeng mengikuti Wita dan Andini yang ingin ke kantin.
"Wit traktir ya," kata Ajeng dan Wita mengangguk sambil memberikan jempolnya.
Saat menuju ke kantin Ajeng bisa melihat Ibra yang tengah bermain bola bakset seorang diri, banyak wanita yang berdiri menatap pria itu sambil berbisik-bisik tapi tidak sedikitpun membuat Ibra terusik.
"Ada cowo ganteng main basket jam istirahat begini pasti deh jadi tempat cuci mata gratis !" Wita berseru sambil tertawa bersama Andini.
"Ibra," panggil Ajeng tiba-tiba membuat semua orang terkejut dan menatap kearahnya termasuk dua sahabatnya itu.
Ibra tidak menghiraukan panggilan Ajeng tersebut, dia terus saja bermain hingga Ajeng kesal dan menghampiri pria itu di lapangan basket.
"Ibra," panggil Ajeng lagi saat posisinya sudah dekat namun tetap saja Ibra tidak perduli.
Ajeng sebarnya merasa bersalah, terlebih dia melihat telapak tangan Ibra yang saat ini masih di perban. Ajeng menghalangi Ibra yang ingin memasukkan bola tapi sialnya dia terpeleset hingga nyaris saja tubuhnya menyentuh lantai.
Untung saja Ibra dengan sigap menahan tubuh Ajeng, pandangan mereka terkunci Ajeng jadi salah tingkah lalu segera membenarkan posisinya. Wita dan Andini yang melihat itu tertawa, sementara para siswi lainnya mulai mencibir Ajeng.
"Lo mau apa ?" tanya Ibra sehingga Ajeng mengerjapkan matanya.
"Mau bicara sebentar boleh ?"
"Lo udah mau bicara sama gue ?"
Ajeng mengerucutkan bibirnya dan tanpa aba-aba Ibra menarik lengan Ajeng menuju kantin bersamanya diikuti Wita dan Andini.
Ibra memesan makanan untuk mereka semua sementara Ajeng juga bingung apa yang ingin dia bicarakan kepada Ibra. Maksudnya bagaimana cara dia membuka percakapan untuk minta maaf.
"Masih sakit ya ?" tanya Ajeng melihat arah perban di telapak tangan Ibra.
"Tidak ingin meminta maaf ?" Bukan jawaban yang diberikan Ibra malah menyindir Ajeng.
"Ini bocil ngeselin banget sih !?"
"Coba lihat siapa yang paling kecil di meja ini." Ibra membalas, merasa paling pendek di antara Wita Ibra dan Andini Ajeng jadi kesal dengan Ibra, niatnya mau minta maaf malah dia ingin meninju wajah Ibra saat ini.
"Sussstt... Ini di hadapan kita sudah ada makanan, ayo dimakan pamali ribut di depan makanan." Wita memperingati.
Ibra tahu Ajeng masih menatap telapak tangannya, dia menarik bahu Ajeng yang dudu di sebelahnya lalu tiba-tiba mengecup puncak kepala Ajeng.
Wow.... Ini pertama kalinya seorang Pria melakukan hal semanis ini kepadanya dan pria itu adalah Ibra, bukan Pak Radit yang dia harapkan. Tubuh Ajeng membeku, Wita dan Andini tidak bisa melanjutkan kunyahan mereka.
"Gue gak apa-apa, jangan khawatir. Bola basket itu pemberian seseorang jadi aku sangat menyayanginya." Ajeng hanya mengangguk kaku, sementara Ibra sudah berdiri membayarkan makanan serta minuman mereka semua.
Bukan hanya Ajeng saja yang terdiam bagaikan patung di etalase toko, Wita dan Andini juga melakukan hal yang sama. "Gue balik ke kelas ya, nanti balik gue tunggu di parkiran." Ajeng menaikkan satu alisnya melihat Ibra yang berbicara namun tidak menatap ke arah mereka, siapa yang dia ajak bicara ? Pikir Ajeng.
***
Ibra menunggu Ajeng yang tidak kunjung terlihat batang hidungnya. Sudah dua puluh menit dia menunggu dengan motornya yang tidak jauh dari gerbang sekolah.
Ketika melihat Andini dan Wita langsung saja Ibra menghampiri keduanya.
"Ajeng mana ?"
"Astaga Ibra, pake salam kek sapa kek !" Wita yang terkejut mengusap dadanya sambil menghembuskan napas.
"Itu lagi sama iblis di belakang." Andini yang menjawab, Ibra melihat ke arah yang di maksud dan benar saja Ajeng sedang berjalan bersisian dengan Pak Radit.
Tidak menunggu lama Ibra berjalan menemui Ajeng, dia langsung menarik lengan Ajeng ingin menjauhkan pujaan hati dari saingan beratnya.
"Pak Radit saya dan Ajeng buru-buru, maaf ya Pak."
"Loh Ibra, mau kemana ?"
"Tadi udah gue bilang tunggu kan ?"
"Ya tap-i tapi.."
"Bye Wita..Andini." Ibra tidak memperdulikan Ajeng yang bingung, dia menyuruh Ajeng naik ke motornya lalu pergi dari sekolah. Ajeng diam saja ketika arah jalan yang di pilih Ibra menuju mini market tempat dia bekerja. Turun dari motor ternyata Ibra juga ikut turun, Ajeng berbalik badan menatap sengit adik kelas yang super aneh menurutnya.
"Lo kenapa sih ?"
"Mau minta lo temenin gue sih ke toko perhiasan."
"Hah ? buat apa ?"
"Nyokap gue ulang tahun, jadi gue butuh seseorang yang bisa bantu gue pilih perhiasan."
Ajeng mengerti, dia sudah mendengar perihal Ibra sekilas dari Andini. "Tapi gue kerja, mana bisa."
"Ya sudah nanti malam bagaimana ?"
"Boleh deh, asal gue di traktir ya ?"
Ibra tersenyum tipis, Ajeng benar-benar perhitungan pikirnya namun itu terlihat menggemaskan. "Oh ya Ibra makasih ya atas kado dan kue-nya, gue baru kali ini makan cake ulang tahun se-enak itu."
"Gue juga baru kali ini memberikan hal seperti itu ke orang lain selain nyokap gue."
"Ha ! serius ?" tanya Ajeng sedikit kaku, dia tidak yakin apa maksud Ibra mengatakan hal itu kepadanya. Ya Ibra memang bersikap manis kepadanya sesekali, tapi bukan berarti pria ini menyukainya kan ? Dia hanyalah seorang Ajeng yang tidak menarik sama sekali, bahkan meluluhkan hati Pak Radit saja dia sudah tidak yakin akan mampu karena saingannya adalah Safira, wanita yang sangat jauh diatasnya untuk masalah wajah serta penampilan.
"Serius ! Nanti malam gue jemput ya," ujar Ibra.
"Oke, sip." Ajeng tersenyum kaku, dia masih tidak mengerti dengan jalan pikirannya saat ini.
Ajeng melakukan kegiatannya di mini market itu seperti biasa, merapikan barang-barang dan juga melayani pembeli dengan ramah. Disaat sepi Ajeng menggunakan waktunya untuk belajar, tanpa terasa waktu pun berlalu dengan cepat. Jam tutup toko tinggal tiga puluh menit lagi, Ajeng mulai merapikan buku yang ia keluarkan lalu melihat penampilannya di depan cermin.
Ajeng memakai kaos yang warnanya sudah tidak lagi cerah dan juga celana berbahan kain yang sudah usang juga warnanya. Sudah sangat lama dia tidak berbelanja pakaian, Ajeng kemudian melihat buku tabungannya yang ia simpan rapi di dalam tas. Dia tersenyum melihat angka yang tertera disana, setidaknya biaya uang kuliah sudah dia genggam separuhnya.
Pintu mini market dibuka, dia berpikir Ibra yang datang melainkan wajah Pak Radit. "Eh Pak Radit ? butuh sesuatu Pak ?"
"Kamu sudah selesai bekerja ?"
"Sebentar lagi sih Pak, ada apa ya Pak ?"
"Ajeng sudah ada janji dengan saya Pak," suara seorang Pria yang tidak lain adalah Ibra kini membuat keduanya menatap sosok pria itu. Ibra sudah sangat tampan dengan jaket denim yang dia gunakan.
"Oh kalian sudah ada janji ?"
"Iya Pak," jawab Ajeng penuh penyesalan. Ini kan malam minggu, mungkin Pak Radit mau mengajaknya untuk malam mingguan.
"Ini malam minggu Pak, jadi wajar dong kalau kami mau pergi bersama. Atau bapak mau ikut ?" tanya Ibra yang jelas tidak ikhlas menawarkannya.
"Oh tidak apa-apa, nikmati saja malamnya saya pergi dulu." Radit pergi begitu saja, hati Ajeng rasanya tidak rela sehingga tatapan sengit dia tunjukkan kepada Ibra.
"Siapa yang mau malam mingguan sama lo," katanya lalu berdecak.
Bersambung....