Empat Belas

1004 Kata
Tuhan~ Benarkah pikiranku? Apa memang benar ada orang lain selain bayangan hitam yang memanggilku dengan nama 'Citra'? Tapi, siapa? Setengah mati aku merasa penasaran. Hidupku benar-benar menjadi rumit sekarang. Mulai dari bayangan hitam, Erland, Oktavia dan pendukungnya, dan sekarang ditambah lagi dengan seseorang yang juga memanggilku Citra selain bayangan hitam. Sibuk dengan pikiranku sendiri, laki-laki yang tadi muncul dari tembok kamarku itu tiba-tiba terlihat masuk kembali ke dalam lubangnya saat aku menoleh ke arahnya. Dia menghilang. Aku yang merasa tertarik melihat lubang hitam yang masih ada di dinding kamarku dengan jelas itu pun memutuskan berjalan menghampiri, berniat mengamati lubang besar itu dari dekat. "Citra, tolong! Tolong aku!" Suara laki-laki yang tadi kembali terdengar begitu aku tiba di depan dinding. Kali ini terdengar lebih lirih dan hampir seperti desahan. "Tolooong!" Suara itu terdengar lagi. Sedikit ragu, akhirnya kuputuskan menjulurkan sebelah tanganku ke lubang hitam itu, lalu— Bleb! Baru saja ujung jemariku menyentuh permukaannya yang memang transparan, lubang hitam itu langsung menarikku masuk ke dalamnya. Dan saat menoleh ke belakang di mana lubang itu seharusnya berada, lubang itu sudah hilang menyisakan gelap. Aku tertegun. Sejenak mengamati sekeliling, aku kemudian sadar kalau sekarang sedang berada di tengah-tengah ruang gelap yang asing. Tempat lembab yang lebih mirip ruang bawah tanah yang memiliki aroma yang khas seperti gudang. "Tolong! Tolong aku!" Aku kembali mendengar suara dari laki-laki yang tadi itu. Mendongak ke arah suara yang berasal dari atas, mataku langsung terbelalak mendapati laki-laki yang muncul dari dinding kamarku sedang tergantung di sana. Tepat beberapa meter di atas kepala. Melihatnya, aku pun terpana selama beberapa lama. "Ba-bagaimana caranya?" tanyaku akhirnya sembari mencoba sedikit berteriak. "Kau lihat senjata yang tergeletak di tanah itu? Lemparkan itu ke arah rantai yang menggantungku!" Laki-laki itu menunjuk sebuah benda berkilauan yang berada tidak jauh dariku. "Potong rantai ini!" katanya lagi. Aku kembali mendongak dan membalasnya. "Aku ... gue nggak bisa." Aku berusaha melihat lebih jelas sosoknya, terlebih wajahnya. Namun tetap, hanya siluet gelap yang ditangkap retina mataku. "Tolong lakukan saja! Kamu pasti bisa melakukannya." Suara laki-laki itu menggema di langit-langit. Entah mendapat dorongan dari mana, beberapa waktu setelah mendengar kalimat terakhir laki-laki itu aku kemudian mengangguk menurut. Pelan kuambil benda berkilauan yang berada tidak jauh dari sisiku di depan sana. Berat. Benda yang ternyata adalah sebuah golok itu memiliki berat tiga kali lebih besar dari golok yang pernah kulihat sebelumnya di rumah Buyut Minah di Kediri---untuk pertama kali. Sebuah benda tajam yang bisa menjadi senjata dan biasa digunakan orang-orang di sana untuk memotong atau menebang batang bambu dan pohon lainnya. Mereka menyebutnya bendo kalau tidak salah. "Lo, yakin, gue harus lemparin golok ini?" tanyaku masih ragu. Satu menit berlalu dan tidak ada jawaban dari laki-laki itu. "Iya." Laki-laki itu menjawab lirih tapi masih bisa kudengar. Akhirnya setelah menimbang-nimbang apa yang sebaiknya kulakukan, aku kemudian mengangkat golok itu di tangan setelah menghela napas. Dilihat dari besinya yang berkilauan, golok ini pasti sangat tajam. Mendadak aku kemudian merasa tidak terlalu yakin bisa melemparnya dengan tepat sasaran. Bagaimana kalau misalnya golok ini malah mengenai orang itu dan melukainya saat aku melemparnya? Kembali aku disergap keraguan. "Lemparkan sekarang juga!" Aku terkesiap. Laki-laki itu tiba-tiba menukas dengan suara cukup kencang. Seolah dirinya adalah seorang panglima perang di film-film laga yang biasa kulihat di televisi saat malam hari. Aku yang mendengarnya pun hanya terdiam selama beberapa lama. "Lo yakin?" tanyaku masih diselimuti ragu sembari susah payah kembali mengangkat golok itu di kedua tangan. Lagi, laki-laki itu kembali menyahut 'iya'. Saat itu juga aku kemudian merasa yakin jika aku harus dan pasti bisa melakukannya. Kuputuskan mengambil langkah beberapa meter menjauh untuk mengambil ancang-ancang. Setelah menghirup napas panjang dan menghelanya perlahan, kutarik kedua tanganku ke atas kemudian kuarahkan golok itu sedikit ke belakang tubuh. Selanjutnya dengan seluruh tenaga yang kupunya, kulontarkan golok itu ke udara. Aku menahan napas menanti hasilnya. Dan— Prang! Bugh! Suara beruntun yang dihasilkan golok yang berhasil memotong rantai disusul jatuhnya laki-laki misterius itu terdengar keras dan menggema. Aku menghela napas lega. Mataku mengerjap melihat laki-laki yang bertelanjang d**a itu terjerembab ke tanah dengan posisi telungkup. Pasti sakit, batinku. Jatuh dari ketinggian terlebih dengan rantai yang masih melilit tubuh. Aku dibuat meringis membayangkan bagaimana rasanya. Pasti sangat snagat sakit luar biasa. Namun, yang kemudian terlihat malah justru sebalikya. Di kejauhan, kulihat orang itu tampak baik-baik saja melepas satu demi satu rantai yang melilit tubuhnya seperti seorang anak kecil yang melepas plester dengan kedua tangannya. Sangat gampang. Hei, itu besi! Bagaimana bisa? Padahal jika mengingat kondisinya tadi ketika ia muncul dari lubang di dinding kamarku pertama kali, laki-laki itu terlihat begitu lemah. Apa seperti bayangan hitam dia juga memiliki kekuatan? Semacam magic power. White magic? Black magic? Ya Tuhan astaga~ Orang-orang seperti apa mereka sebenarnya? Kenapa aku mengalami ini semua? "Citra. Terima kasih banyak telah menolongku." Laki-laki itu tiba-tiba berkata sembari mengangkat wajahnya. Saat itu bertepatan dengan munculnya lubang-lubang di langit-langit yang sama tiba-tibanya seperti apa yang dilakukan laki-laki itu tadi, memancarkan cahaya dari luar. Mataku pun dibuat langsung membola ketika seberkas cahaya jatuh tepat di wajah laki-laki itu dan meneranginya. Wajah itu ... aku mengenalinya. "Erland?!" ujarku tertahan. Merasa heran sekaligus tak percaya akan apa yang kulihat dengan kedua mataku. Apa yang dilakukan cowok itu? Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Erland Altair Januar. Masih sedikit tidak percaya, aku berjalan menghampirinya. "Kenapa lo bisa ada di sini?" tanyaku. Laki-laki yang sangat mirip Erland itu bangkit sambil menatapku. Dahinya berkerut dalam dengan aku yang terus berjalan ke arahnya. Semakin dekat, aku bisa semakin jelas melihat wajah beku bak animenya. Seketika di kepalaku bergumul banyak pertanyaan: Ada apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ini nyata? Atau, hanya ilusi? Dia tiba-tiba muncul di kamarku dari sebuah lubang yang tercipta di dinding dalam kondisi terantai. Kemudian setelah dia kembali masuk ke dalamnya, malah ganti aku yang juga tersedot masuk entah ke mana saat menyentuh permukaannya. Dan yang paling aneh dari segalanya adalah ... sosok yang kukenal sebagai Erland di depanku ini memanggilku Citra. Kenapa seperti bayangan hitam dia juga memanggilku Citra? Ada apa sebenarnya? Aku masih waras dan belum gila kan? Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN