Lima Belas

1660 Kata
"Lo ... Erland, kan? Erland Altair Januar?!" kataku ragu. Jemari telunjukku terangkat dan mengacung ke arah laki-laki itu. Satu langkah lagi sebelum aku berdiri tepat di depan laki-laki itu, tiba-tiba semuanya menjadi terang. Lubang-lubang cahaya yang tadi tercipta di langit-langit membesar dan membuatku tidak bisa melihat apa pun selain cahaya-cahaya itu. Shiet~ Silau. Aku membuka mata dan Erland yang tadinya ada di depanku sudah tidak ada. Tiba-tiba saja aku sudah berpindah ke tempat lain, berada di sebuah ... entahlah, aku tidak tahu di mana. Yang jelas, sekarang aku berada di dalam ruangan besar yang dipenuhi kelambu dari sutra warna merah. Sebuah ruangan yang di tengahnya terdapat ranjang ukuran king size yang dipannya diukir indah dan berkilau, berwarna emas. Aku tidak yakin, tapi sepertinya dipan itu memang terbuat dari emas. Di samping dipan itu, ada meja rias yang tidak kalah indah. Ukirannya juga dengan warna senada, emas. Lalu di atasnya, sebuah tiara tergeletak dengan kalung, gelang, dan beberapa perhiasan emas lain yang tidak kutahu namanya. Sesuatu yang lebih berkilau berpendar menghiasi permukaan tiara itu, seperti permata atau mungkin juga berlian. Aku yang orang awam biasa tentu saja tidak bisa membedakan antara keduanya. Bahkan, bisa juga benda berkilauan itu adalah intan, rubi, zamrud, atau batu mulia lain. Crek ... Crek ... Crek .... Tanganku hampir saja menyentuh tiara di atas meja saat tiba-tiba ada seseorang yang mendekat. Langkahnya terdengar mengarah ke ruangan ini. Dari suara yang terdengar, sepertinya orang itu memakai sesuatu di kakinya yang kemudian menghasilkan suara itu. Aku segera melihat sekeliling lalu menemukan tempat sembunyi di sudut ruangan, di balik tirai dekat jendela yang berlapis-lapis. Dari balik tirai, kulihat ada seorang perempuan muda masuk. Tubuhnya dibalut kain jarik bermotif indah dengan rambutnya yang tergerai dan tampak masih basah. Beberapa perempuan berpakaian sama menyusul di belakang perempuan itu. Seorang di antaranya sudah berusia paruh baya. Aku tidak bisa melihat wajah perempuan itu karena ia membelakangiku. Saat masuk ia langsung memunggungiku. Di kaki kanannya, tampak ada sebuah benda yang berkilauan. Itu dia! Sudah kuduga. Itu adalah sebuah binggel atau sebut saja gelang kaki. Suara tadi pasti berasal darinya. Kemilau emasnya telak menarik perhatianku. "Ndoro Ayu ingin memakai pakaian yang mana hari ini?" kata seorang perempuan yang sudah paruh baya dengan nada lembut. "Yang mana saja, Mbok," jawab perempuan muda itu. Suaranya terdengar halus. Perempuan paruh baya yang tadi pun kemudian mengeluarkan sebuah pakaian dari peti kayu besar yang ada di sampingnya, warnanya kuning kunyit. Terlihat jelas pakaian yang dikeluarkannya itu adalah pakaian kerajaan Jawa yang aku tidak pernah tahu namanya. Yang jelas pakaian itu indah, dan entah bagaimana warnanya membuatku teringat pada gaun tak berlengan yang dibelikan Erland. Meski tentu saja berbeda. Baiklah, kurasa aku tahu sekarang ada di mana. Sepertinya sekarang aku berada dalam sebuah kerajaan. Tepatnya, di dalam kamar seorang putri. Dari balik tirai merah ini kemudian kusaksikan perempuan-perempuan yang berpakaian sama tadi, yang kuyakini adalah pelayan dan dayang-dayang sang putri membantunya mengenakan pakaian. Satu di antaranya menata rambut panjang putri bersama dayang yang lebih senior. Setelah beberapa saat, karangan bunga melati kemudian dipakaikan di kepala sang putri setelah semua perhiasan yang tadi kulihat di mejanya ia pakai. Sempurna! Penampilan putri itu terlihat sangat berkharisma meski sampai sekarang aku belum melihat wajahnya. Aku yakin dia pasti cantik. Karena dari cerita-cerita yang kudengar mengenai putri raja, kebanyakan dari mereka pasti memiliki kecantikan yang berada di atas rata-rata. Aku tidak sabar melihat bagaimana wajahnya. Set! Harapanku terkabul karena putri berputar membalik tubuhnya. Namun, aku yang melihatnya langsung membeku di tempat. Seperti mengalami deja vu, melihat putri itu aku seperti melihat diriku sendiri dalam pantulan cermin. Aku hampir tidak percaya, tapi aku dan putri itu memiliki wajah yang sama. Ya, benar-benar sama kurasa. Yang membedakan hanya penampilan dan pakaian kami yang kami kenakan. Tubuhku langsung lemas dan hampir tidak bisa merasai tubuh sendiri saat jatuh. Siapa perempuan itu? Kenapa wajahnya sama denganku? Kepalaku mendadak pusing memikirkan itu. "Citra!" Masih sibuk dengan pikiranku, sebuah suara tiba-tiba memanggil. Dan lagi, aku mengenali suaranya. Di depan pintu, seseorang yang tadi bersuara berdiri di sana menyerupai bayangan. Bukan seperti bayangan sebenarnya. Dia terlihat seperti itu karena aku tidak bisa menangkap dengan jelas sosoknya. Dia seorang laki-laki yang hanya terlihat jelas siluetnya. Aku jadi teringat bayangan hitam saat melihat orang itu. Yang membedakan mereka hanya satu. Bayangan hitam selalu terlihat memakai jubah dan tudung kepala sedangkan sosok ini memakai pakaian kerajaan. Mungkin, dia seorang pangeran. Namun, karena suara dan siluet keduanya terlihat sama, mungkinkah mereka juga orang yang sama? Aku harus bisa berdiri untuk memastikannya. "Ras, Laras ...!" Sebuah suara berat yang berteriak-teriak tiba-tiba terdengar bersamaan dengan suara ketukan pintu. Kamar putri dan kerajaan tiba-tiba berubah menjadi tempat gelap di mataku. "Laras, bangun, Ras!" Pemilik suara itu terasa ada di dekatku bersamaan guncangan kasar yang rasanya diterima oleh tubuhku. "Eungh ... Kak Rama?" kataku saat membuka mata. Wajah kakakkulah yang pertama kali tertangkap oleh retina netra. Tiba-tiba aku sudah berada di dalam kamarku saat kesadaran kembali menyapaku. Berbaring di atas ranjang hangat dengan Kak Rama yang duduk di sisiku. Tidak lama aku kemudian bangkit sambil mengucek mata menggunakan sebelah tangan. "Ada apa, Kak?" gumamku melirik jam digital meja yang masih menunjukan pukul tiga dini hari. Eh, jadi, semua tadi itu cuma mimpi?! Aku menggumam di dalam hati. Kak Rama bangkit berdiri. "Kakak mau minjem laptop kamu, Ras. Laptopku tiba-tiba nggak bisa dipakai ngerjain tugas kuliah yang rencananya dikumpulkan hari ini." Ia menjelaskan tujuannya datang. "Laptop, Kak?" tanyaku. "He'em." Kak Rama menganggukkan kepala sebelum mengulurkan tangannya, "Jadi, di mana kunci lemari harta karunmu?" Kakakku itu mencebikkan mulutnya di depanku. "Ihh. Kirain apaan, Kak?" Aku mendengkus menatapnya. "Noh. Ada di bawah piala lomba catur!" kataku menunjuk salah satu piala di atas lemari. Setelah mengonfirmasi, Kak Rama segera pergi ke tempat telunjukku bermuara. Kulihat bagaimana kakakku itu serampangan mengambil kunci dan membuka lemariku. Aish, awas saja kalau terjadi sesuatu dengan piala-pialaku! "Kak," panggilku. "Kak Rama nggak bisa ya, bangunin orang baik-baik gitu?Lagian Subuh juga masih lama tahu!" cebikku melontarkan kekesalan. "Yeee. Ya, abis kamu, laptop aja dikunciin di lemari. Taruh meja aja kan aku jadi gampang kalau sewaktu-waktu mau minjem malam-malam. Biar nggak bangunin kamu, Ras!" "Ya, salah Kak Rama sih, ngerjain tugas suka banget dadakan! Salah sendiri lah," cercaku tak mau kalah. Bukannya merespons, Kak Rama malah melengos keluar dari kamar dengan laptopku yang sudah ada di pelukan tangannya. "Dasar! Jangan utak-atik data punyaku, ya!" teriakku memandang pintu yang baru ditutup olehnya. Semoga saja Kak Rama mendengarnya. Beberapa menit dalam senyap, aku kemudian meraih segelas air putih yang ada di atas nakas dan meminumnya hingga tandas. Haus sekali. Setelahnya lampu kamar yang tadi dinyalakan Kak Rama kumatikan dengan tombol otomatis yang ada di sisiku kemudian kembali berbaring di atas ranjang. Aku teringat kembali pada kejadian yang kulihat barusan. Mulai dari Erland, Citra, dan seseorang yang terlihat seperti bayangan hitam. Atau ... bisa jadi dia memang bayangan hitam? Jujur aku masih tidak percaya jika tadi itu hanya mimpi. Jika memang hanya mimpi, kenapa semuanya terasa sangat nyata? Aku menghela napas. Tidak mau terjebak dalam kebingungan sendiri, kuputuskan untuk memperhatikan dinding yang ada di sisi kanan depanku, tempat di mana lubang hitam muncul dan semua kejadian aneh yang terasa nyata tadi itu bermula. Kutatap beberapa lama namun tidak terjadi apa-apa. Tidak terdengar suara. Tidak ada lubang hitam besar. Dan tidak ada seseorang yang mirip Erland, laki-laki terantai yang keluar dari dalam dinding itu. Selain itu aku juga tidak merasakan kehadiran bayangan hitam lagi di sisiku. Jadi, semua itu benar hanya mimpi? Aku menghela napas lelah. Lima belas menit waktu kemudian terlewat begitu saja dengan aku yang belum bisa memejamkan mata lagi. Aku tidak bisa kembali tidur. Bahkan setelah menarik selimut hingga menutupi wajah dan mencoba tidak memikirkan apa pun, usahaku yang biasanya manjur itu berakhir sia-sia. Kantukku hilang bersama detikan menit jam analog yang terdengar keras di tengah kesunyian. Ya, di kamarku aku memasang dua jenis jam itu, jam digital dan analog. Tiga menit setelahnya, aku kemudian sudah berpindah duduk di meja belajar. Menatap sebuah buku warna biru muda yang masih terbungkus plastik bening dan sebatang bolpoin di jemari. Buku biru itu tidak lain adalah sebuah diary. Hadiah ulang tahunku kemarin yang kuperoleh dari Tante Gita. Sebuah buku diary, bolpoin, dan sebuah n****+ yang aku lupa siapa penulisnya. Novel itu belum k****a dan kalau tidak salah sekarang masih dipinjam oleh Karina. Sahabatku itu memaksa meminjamnya dulu kemarin saat aku membawa n****+ itu ke sekolahan. Membuka halaman pertama buku diary yang masih kosong setelah kurobek plastik lapisannya, tanganku kemudiam bergerak lamban di atasnya. Entah kesambet setan mana, aku tiba-tiba menulis diary seperti ini. Sebab seumur-umur, aku tidak pernah menulis diary dan ini yang pertama kali. Kata demi kata mengalir begitu saja tentang diriku, kemudian bayangan hitam, Erland, juga tentang Citra, nama yang selalu dikatakan bayangan hitam untuk menyebutku lalu bergulir mengenai mimpi yang kulihat semalam yang bisa juga kusebut baru saja terjadi barusan dalam hidupku. Bermenit-menit menuliskannya, aku merasakan kelegaan yang sedikit menyeruak di rongga d**a. Rasanya seperti saat aku mengalami masalah kemudian membaginya dengan sahabatku, Karina, Gini ataupun Alina. Perasaan yang sama juga seperti saat aku curhat dengan Papa ataupun Tante Gita. Semua terasa menjadi lebih baik. Baiklah. Mungkin nanti aku harus mengucapkan terima kasih sekali lagi pada Tante Gita untuk kado diary-nya, karena sebelumnya, aku hanya berterima kasih untuk kado novelnya. Seperti remaja perempuan kebanyakan, aku juga seseorang yang suka membaca n****+. Aku tidak menyangka, menulis apa yang mengganjal di hati seperti ini ternyata terasa sama melegakannya seperti saat menceritakannya. Bahkan terasa lebih. Sebab jikalau bercerita, belum tentu orang yang kita ajak dengar mau menjadi pendengar yang baik dan seratus persen mempercayai apa yang kita katakan. Sebut saja Karina. Seperti yang pernah kukatakan, dari ketiga sahabatku dialah yang paling pantas menerima predikat pendengar terbaik untuk curhatanku. Namun, saat aku menceritakan soal bayangan hitam yang tiba-tiba muncul di hidupku, cewek itu malah langsung tidak mempercayaiku dan menganggapku hanya berhalusinasi. Kurasa ke depannya aku hanya bisa membagi semua anomali yang kualami dengan diary ini sampai ada seseorang yang benar-benar percaya padaku. Memahamiku. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN