Delapan

1035 Kata
Sesuatu yang tak terduga terjadi. Baru saja aku berbalik mengambil langkah pertama, Erland tiba-tiba meraih tanganku dan menariknya dalam satu sentakan. Aku yang kehilangan keseimbangan langsung terjungkal ke depan. Kejadian itu begitu cepat saat aku melihat sekelebat peristiwa berputar di depan mataku. Entahlah, aku sulit membedakannya. Entah di depan mata atau dalam kepala. Yang jelas aku melihatnya. Begitu nyata dan terlihat sama. Seolah-olah pada detik itu juga adalah kejadian sekaligus pengulangannya. Aku hampir jatuh dari rooftop karena ditarik Erland tadi. Dan seperti dalam kelebatan peristiwa yang kulihat dan 'tereka ulang' di kepalaku, bukannya jatuh ke tanah, aku malah merasakan tubuhku yang menimpa tubuh cowok itu. Seperti mimpi, tapi peristiwa ini rasanya pernah kualami. Di waktu yang sama, aku melihat diriku sendiri dan seseorang yang terlihat begitu mirip Erland-- aku tidak terlalu yakin. Namun, kedua orang yang terlihat dalam kepalaku itu memang seperti aku dan Erland. Hanya saja dalam balutan pakaian yang berbeda dan di tempat yang berbeda pula. Kami dan 'mereka' mengalami kejadian yang sama. Dan entah kenapa, sesuatu yang berasal dari diriku mengatakan kalau itu memang aku. Dan semua itu 'juga' pernah terjadi di masa lalu. Peristiwanya persis dan sama seperti aku dan Erland alami saat ini. Aku segera menggelengkan kepala saat sadar kalau bisa saja itu hanya kejadian yang terjadi di kepalaku. Mimpi dengan mata terbukaku misalnya? "Aaa!" Aku mengeluarkan pekikan saat sadar masih berada di dalam pelukan Erland. Setelahnya cowok itu pun melepaskan rangkulannya dari tubuhku. Mengatur napas, aku berbalik untuk melihat bagaimana wajah cowok itu, reaksinya lebih tepatnya. Namun, ternyata wajah itu tampak datar seperti sebelumnya. Tidak normal! Anggapku karena apa yang telah terjadi barusan. Aku terus mendongakkan kepalaku untuk melihat wajah dari cowok itu hingga menyadari satu hal. Jika dilihat lebih teliti lagi, itu bukan datar. Tapi, seperti tidak percaya. Ya, cowok itu terlihat menampilkan ketidak-percayaan di wajahnya. Hei, apakah Erland juga melihat hal yang sama sepertiku? Wajahnya itu seolah mengatakannya. Namun, lagi aku menggelengkan kepala. Tentu itu tidak mungkin! Hanya aku yang melihat 'mimpi sadar' itu. Aku tidak boleh buru-buru beranggapan ada orang lain yang juga melihat kejadian aneh semacam itu. Aku yakin, cowok ini pasti hanya terkejut karena peristiwa hampir jatuhnya kami. Itu pasti. Kupikir, jika keseimbangan Erland buruk, aku dan dia pasti sudah terjun dari lantai tujuh ini. Dan jangan bertanya apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku dan cowok ini dipastikan sudah mati kalau tidak lumpuh ataupun cacat karena kehilangan kemampuan bergerak akibat patah tulang. Wush~ Belum selesai pikiranku melayang, tiba-tiba angin yang cukup kencang menerpa tubuhku. Rasa-rasanya aku mau dibawanya terbang saking kencang tiupannya. "Kau baik-baik saja, Citra?" Aku tersentak. Lagi. Sebuah suara tiba-tiba teredam di kepalaku. Terdengar cemas. Aku yakin mendengarnya dengan jelas tadi. Itu suara bayangan hitam. Cepat aku pun menoleh ke arah di mana aku merasakan kehadirannya. Di sisi kananku. Aku yakin dia pasti ada di situ. Arah di mana angin berembus kencang barusan. Set! Dan benar. Aku langsung melihat sosoknya saat memandang ke arah itu. Dengan mata-kepalaku kulihat bayangan hitam berdiri tegap di salah satu puncak gedung pencakar langit sebelah kanan sana. Jubah hitam miliknya berkibar karena angin. Dan ... kali ini tudung di kepalanya hanya menutup sebatas mata. Tuhan! Aku sedikit membeliak melihatnya. Bibir dan hidung itu ... "Ada apa, Ras?" Suara Erland tiba-tiba menarik ketersimaanku. Gelagapan, aku pun segera menoleh ke arah cowok yang sedang berdiri di sampingku itu meski aku tidak berniat untuk menjawab pertanyaannya. Erland---yang mungkin karena melihat keanehan di wajahku---lantas melemparkan tatapannya ke gedung tempatku melihat bayangan hitam berdiri. Aku refleks mengikutinya dan sekarang sudah tidak ada siapa-siapa lagi di sana. Dia sudah pergi. Mungkin lebih tepatnya menghilang lagi dengan teleportasi. "Ng. Nggak ada apa-apa kok." Aku menyahut. Erland hanya diam kemudian menganggukkan kepala. Aku berdeham lantas menatapnya. "Jadi, sebenarnya apa yang mau lo omongin?" kataku kemudian melirik sesuatu di pergelangan tanganku, mengalihkan perhatianku pada angka-angka yang ditunjukkan oleh jam tangan yang melingkar di sana. "Bentar lagi udah mau masuk." Aku memberi tahunya. "Kalau lo nggak mau ngomong apa-apa, lebih baik gue balik dulu," lanjutku kemudian berbalik ke arah lift. "Tunggu!" Cowok yang ada di belakangku itu menahan lenganku. "Hm. Apa?" Aku menoleh ke arah tangan Erland yang memegang tangan milikku itu. Melihat arah pandangku, Erland pun melepas pegangan tangannya itu. Setelahnya ia berjalan ke depanku yang mau tidak mau membuatku kembali menatapnya. "Lo harus jadi pacar gue," katanya tiba-tiba dengan ekspresi tanpa dosa. "Hah?" Aku langsung ternganga. Mengerutkan dahi karena tidak percaya sekaligus tak mengerti. Apa-apaan semua ini? Ini cuma prank kan? Iya, kan?! Beberapa saat diam, aku dan Erland saling berpandangan. Ya, Tuhan! Bisa-bisanya ... Tidak mungkin cowok seperti Erland tiba-tiba memintaku menjadi pacarnya. Eh, bukan meminta. Dari kalimatnya itu jelas dia memaksa. Karena alih-alih mengajukan pertanyaan, nada yang ia gunakan adalah perintah. Hello! Kami tidak saling mengenal. Bahkan bertemu juga baru hari ini yang bisa disebut pertama kali. Lalu, bagaimana bisa sekarang tiba-tiba Erland mau aku jadi pacarnya? Ini semua benar-benar gila. "Lo harus mau jadi pacar gue. Seenggaknya, untuk sementara waktu ini," katanya lagi. "Maksud lo?" tanyaku sembari menyedekapkan tangan di depan d**a. Masih benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya diinginkannya. Bukannya menjawab, Erland malah memasang senyum miring dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku celana. Mata hitamnya menatap ke arah lain. "Gue suka lo," katanya membuatku kembali ternganga. Apa-apaan dia? "Elo ...? Apa yang sebenernya lo mau?" Aku tidak ingin berbasa-basi. "Lo nggak kenal gue. Buat apa sekarang tiba-tiba lo mau pacaran sama gue? Lo udah nggak waras, ya?" Erland mengembangkan senyum di bibir merahnya. "Menarik," katanya lirih sambil menatapku. Aku semakin mengerutkan keningku. Senyumannya itu benar-benar terlihat aneh. Aku biasa membaca cerita kalau laki-laki dengan jiwa psikopat itu biasanya tersenyum dengan menampilkan seringaian setan di wajahnya. Dan sepertinya kini aku sedang melihatnya secara langsung dengan mata kepalaku sendiri. Mendadak aku bergidik ngeri. Aku tidak ingin berurusan dengan cowok satu ini. "Jangan bercanda deh. Lo nggak mungkin suka sama gue," kataku. "Kita bahkan baru aja ketemu kalau lo lupa." Aku mencoba mengingatkannya akan satu fakta itu. Dia hampir mencelakaiku dan tidak minta maaf karena itu, bagaimana sekarang dia bilang mau memacariku karena menyukaiku? Semua ini benar-benar konyol dan lucu. "Lo ... nggak beneran suka sama gue kan?" Aku melemparinya tanya. Dan cowok itu kembali memekarkan senyum setan di wajahnya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN