"Iya. Gue beneran suka sama lo." Erland menjawab pertanyaanku.
Aku pun langsung termangu.
"Apa ya sebutannya. Ah, lebih tepatnya, tertarik," lanjutnya.
"Heh, apa lagi ini?" Aku berhenti bersedekap d**a.
Cowok itu kembali tersenyum. "Gue tertarik sama lo sejak pertama ketemu lo pagi ini di deket parkiran." Ia menjeda. "Lo beda sama cewek lain yang biasanya."
"Hah?" Aku benar-benar tidak mengerti apa yang dikatakannya. "Kok bisa?"
Erland tidak menyahut apa-apa.
"Selain itu, karena Oktavia," ucapnya setelah beberapa lama.
Oktavia? Siapa lagi itu dia?
Aku memicingkan kedua mataku ke arahnya.
"Mantan gue itu dan temen-temennya nggak kenal sama lo." Tanpa diminta, Erland menjawab pertanyaanku tentang siapa cewek yang namanya baru disebutkannya itu.
Oh, jadi Oktavia itu mantannya cowok ini? Batinku.
Sepertinya aku pernah mendengar nama itu sebelumnya. Tapi, apa maksudnya? Apa korelasinya dengan Oktavia hingga Erland mau aku jadi pacarnya?
"Lo nggak punya popularitas di SMA ini. Dan yang paling penting, lo bukan orang yang mungkin nolak gue." Cowok itu meneruskan kalimatnya lantas kembali tersenyum sembari mengedikkan bahunya.
Aku kembali ternganga.
Pelan, kuhembuskan napasku. "Gue nggak ngerti sama lo," kataku menjeda. "'Lo bukan orang yang mungkin nolak gue'?" desisku menirukan caranya bicara. Aku sengaja mencebik ketika mengatakannya.
Sungguh, saat ini aku merasa kesal karena ke-pede-an tingkat tingginya yang berani mengklaim aku tidak mungkin menolaknya.
"Lo salah, ya. Gue nggak mau tuh jadi pacar lo," kataku kemudian mengambil langkah berbalik.
Dasar cowok aneh! Aku mendumal di dalam hati.
Enak saja kalau bicara! Dia pikir dia siapa bisa mengatakan itu semua? Anak raja? Sultan terkaya di Indonesia? Atau ... anak presiden?
"Yakin, lo nggak mau?" Erland tiba-tiba berdiri mencegatku.
Aku pun langsung memaku saat sesuatu yang menjuntai dari genggaman tangannya tampak familier di mataku.
Kulihat cowok itu menyeringai menggerakkan benda itu tepat di depan wajahku.
Beberapa detik, lebih jeli kuputuskan untuk melihat benda putih itu lagi.
Itu sebuah kalung liontin. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Namun, melihat liontin perak itu yang sangat mirip dengan milik Mama, aku langsung membulatkan mata.
Segera kugerakkan tanganku menyapu leher dengan cepat.
Deg!
Saat itu juga kedua mataku membola.
Tidak ada.
Kalung liontinku tidak ada.
Sadar dengan apa yang sebenarnya terjadi, aku kemudian berusaha mengambil liontin perak itu dari tangan Erland untuk memastikan kecurigaanku.
Aku yakin sekali kalau liontin itu adalah liontin Mamaku.
Saat sesenti sebelum tanganku berhasil merebut kalung itu, Erland lebih dulu menarik benda perak itu dan menjauhkannya dari jangkauan tanganku dengan mengangkat tangannya ke atas.
Aku yang tidak setinggi dirinya pun akhirnya hanya bisa menatap kesal. Di sisi lain, cowok itu malah menampilkan seringai kesenangan ala setannya.
"Lo! Dapet dari mana kalung liontin itu?" Aku menaikkan suaraku emosi sembari menatap tajam. Mataku pasti terlihat seperti hampir keluar sekarang.
"Nemu," sahut Erland kelewat santai.
Aku pun langsung menggeram. "Balikin! Itu punya gue."
Aku kembali melompat dengan tanganku yang berusaha menggapai liontin yang dipegang Erland di atas kepalanya. Namun, tindakanku itu tidak membuahkan apa-apa.
Ish. Kenapa cowok ini sangat tinggi?
Aku terus berusaha melompat lebih tinggi lagi.
Bagaimana pun juga aku harus mendapatkan liontin perak itu. Liontin itu adalah satu-satunya barang paling berhargaku dari Mama. Hadiah ulang tahun terakhir darinya sebelum Mama pergi untuk selamanya. Aku tentu tidak mau kehilanganya.
"Balikin nggak?!" Aku melompat berusaha meraih kalungku lagi.
"Ha ha ha." Erland tertawa. "Gue balikin kalau lo mau jadi pacar gue," kicaunya dengan nada yang seolah menyuarakan keputusan final.
Aku pun berhenti melompat dan kembali menatap tajam ke dalam mata kelamnya. Kembali melempar tatapan tidak suka.
Ya, Tuhan! Cowok macam apa yang sedang berdiri di depanku ini?
Kenapa dia melakukan semua ini kepadaku?
Kenapa harus aku?
"Makanya, lo harus mau jadi pacar gue!" Erland masih menatapku. Suaranya yang berat terdengar begitu tegas dan menuntut saat mengulang kata itu.
Aku diam dan tetap menatap tajam ke arahnya. Sama sekali tidak mau merasa terintimidasi olehnya.
"Nggak akan!" jawabku akhirnya sambil mendengkus.
"Oke," balas Erland enteng. "Nggak masalah sebenernya lo mau atau enggak jadi pacar gue. Toh, banyak cewek lain di sekolah ini yang mau. Gue tinggal pilih. Tapi, masalahnya Oktavia kenal sama cewek-cewek itu, dan mereka pasti nggak bakal bisa diajak pura-pura sama gue. Oktavia akan tahu kalau gue cuma pura-pura suka sama cewek itu."
Aku melebarkan mata mendengar penuturannya. Kenapa Erland seolah-olah malah memberi tahuku kelemahannya? Dan nggak bakal bisa diajak pura-pura?
Jadi, cowok itu mau aku menjadi pacar pura-puranya? Tapi kenapa?
Aku memilih langsung bertanya, "Terus kenapa gue?"
Erland menyeringai. "Alasannya?" Ia balik bertanya kemudian melanjutkan, "Karena itu lo, satu-satunya cewek di sekolah ini yang nggak dikenal sama Oktavia. Jadi gue rasa, cuma lo yang bisa jadi pacar gue sekarang."
Kami berdua saling bertatapan.
"Dan gue yakin, lo pasti mau kalung ini balik sama lo kan, melihat bagaimana usaha lo buat ngambil kalung ini tadi?" lanjutnya sembari memainkan liontin perak yang ada di genggaman tangannya. Melemparkannya sesekali ke udara kemudian menangkapnya.
"Huft." Aku menghela napas. Dalam hati merutuki diri sendiri karena sudah menjauhkan diri dari pergaulan di sekolahan. Inginnya menghindari masalah, tapi sekarang, malah dihadiahi langsung seperti begini.
Baiklah. Cowok itu benar. Aku tidak mungkin menolak menjadi pacarnya jika ingin liontin pemberian Mama itu kembali. Aku sadar, tidak ada pilihan lain buatku. Akhirnya aku pun menganggukkan kepala.
"Good girl," desis Erland puas.
Cowok itu kemudian melepas bandul liontinku dari kaitannya dengan rantai perak kalung sebelum menyerahkan rantai itu padaku.
"Nih, buat lo! Sementara bandul kalungnya, gue bawa dulu sebagai jaminan kalau lo mau ikutin permainan gue. Gue akan balikin kalau tugas lo selesai," kata Erland menunjukkn bandul berbahan emas putih itu padaku sebelum memasukkannya ke kantung celana.
Aku menghela napas kasar karenanya.
Tanpa berkata apa-apa, aku kemudian memakai liontinku setelah menerimanya dari Erland. Meski sekarang tanpa bandul dan hanya bisa kusebut kalung biasa. Namun tetap saja, benda ini adalah barang berhargaku dari Mama.
"Hanya pura-pura pacaran kan?" tanyaku memastikan.
"Of course," sahutnya. "Hanya sementara. Anggap aja lo sedang bekerja sama gue." Cowok itu kemudian mengeluarkan dompet. "Ini DP gaji lo." Ia menyodorkan beberapa lembar uang warna merah dan biru ke arahku.
Sunggingan yang di mataku tampak menyebalkan tampil dengan congkak di bibirnya.
Aku mengerti sekarang, ekspresi apa saja yang bisa muncul di wajahnya; datar, menyebalkan, cukup menyebalkan, sangat menyebalkan, sangat-sangat menyebalkan, lalu kembali lagi ke tingkat awal yang sebenarnya paling super menyebalkan, yaitu ekspresi datar yang sulit diartikan. Seperti beku.
Aku melotot melihat tangannya yang terulur itu.
Meski mulai mengenali orang seperti apa Erland melalui wajah yang ditampilkannya juga sikapnya, aku masih tidak bisa berhenti habis pikir dengan apa yang menjadi isi kepalanya.
Bagiku dia adalah seorang cowok arogan yang sangat sok berkuasa berkat semua kelebihan dan uang yang dimilikinya.
Kalau saja bandul liontinku tidak ada di tangannya, aku pasti sudah menolak mentah-mentah tawarannya menjadi pacar meski hanya berpura-pura.
Mengambil napas untuk yang ke sekian kali, aku kembali berusaha menenangkan diri.
Saat ketenangan yang kucari belum kuraup sepenuhnya, dengan gerakan yang terlampau cepat dan tiba-tiba Erland mencekal tanganku. Membukanya lebar-lebar kemudian menaruh lembaran uang miliknya di situ.
Ini yang ke sekian kalinya ia menyentuh tanganku hari ini. Dan seperti sebelum-sebelumnya, aku selalu merasa terkejut saat merasakan tangan dinginnya.
Siapa Erland sebenarnya? Kenapa aku merasakan perasaan yang tidak biasa karena berinteraksi dengannya?
"Gue bukan orang yang terbiasa mengatakan maaf, tapi gue bukan orang yang suka punya hutang budi ke siapa pun. Jadi seperti yang udah gue bilang, anggap yang lo lakuin ini adalah kerja. Anggap lo lagi kerja sama gue dan ini gaji lo. Nggak ada yang dirugikan di sini."
Aku mematung. "Tapi, gue--"
"Nggak ada tapi-tapian! Lo harus setuju kalau mau bandul kalung lo balik," potong cowok itu sembari menunjukkan senyum penuh kemenangan.
Aku pun hanya bisa menatapnya dalam diam tanpa sahutan.
Bersambung