Tujuh

1906 Kata
Bayangan hitam. Aku sedang tidak ingin memikirkannya sekarang. Tapi berkat kata-kata Karina tadi, sosok itu terus menghantui pikiranku lagi. Iya juga. Kenapa aku tidak melihatnya seharian ini? Aku tidak merasakan kehadirannya. Bahkan, semalam dia juga tidak hadir dalam mimpiku sejak kejadian telepati kami yang juga terjadi di hari itu. Ada apa? Apa akhirnya dia menghilang? Diam-diam aku menghela napas panjang. "Oy, jangan ngelamun dong!" Gini duduk di depanku tiba-tiba melambaikan tangannya di depan wajahku. Mulutnya tampak sibuk mengunyah batagor dua rasanya. Pedas dan panas yang menjadi favoritnya. "Iya, Ras. Mie pangsit lo keburu dingin nanti kalau nggak cepet dimakan," timpal Karina yang nampak santai menyeruput melon juice-nya. Hari ini Karina tidak memesan makanan apa-apa karena masih dalam program dietnya. Diet ala Karina. Sehari tidak makan jajan apa-apa lalu besoknya jajan sepuasnya. Kalau perlu, gadis itu juga akan meminta pacarnya yang membelikan makanan untuknya kalau jatah uang jajannya sudah habis tak tersisa pada jam istirahat pertama. Alex yang kemudian akan menafkahinya saat jam istirahat kedua. Aku yang sebenarnya masih cukup terkesiap dari lamunan kemudian menyengir menanggapi celetukkan teman-temanku itu. Setelahnya, kusuapkan sesendok mie dari mangkukku ke mulut. Tidak pakai sumpit karena memang hanya mie pangsit. Kalaupun ada alat lain yang disediakan Teh Rika, penjaga kantin sekolah kami, hanya ada alat yang namanya garpu. Dan situasinya sekarang ini aku sedang malas untuk makan mie menggunakan alat yang satu itu. "Mikirin apa sih?" Alina yang duduk di sisi kananku menyikut lenganku. Aku menoleh sembari mengunyah pelan makananku. "Mikirin bayangan hitam?" tanya Alina yang langsung membuat Gini cekikikan tertawa. Mereka berdua pasti sengaja berusaha mengganggu Karina seperti sebelumnya. Keduanya sama-sama saling menatap lurus ke arah Karina. Penasaran dengan reaksi Karina, aku ikut menoleh ke arahnya dan mendapati ia sedang bersikap masa bodoh sembari menyesap minumannya. Bagus! Aku sedang malas bertikai lagi dengan siapa pun. Termasuk terlibat di dalamnya karena yang bertikai adalah teman-temanku meski konteksnya hanya bercanda. Namun, di sisi lain aku sedikit terusik karena merasa tertampar oleh kenyataan akibat ucapan Alina. Dia benar. Bayangan hitam yang memang sedang kupikirkan. "Lo masih mikirin cowok yang hampir nabrak lo, ya?" tanya Alina yang kali ini sudah mengubah topik pembicaraannya. Terdengar serius meski cewek itu mengatakannya sembari menyuapkan sesendok bakso ke dalam mulut. "Eh?" Aku kembali terkesiap. "Hm. Iya." Aku kemudian menganggukkan kepala. Daripada bayangan hitam, lebih baik memang membahas cowok yang hampir menabrakku tadi pagi itu. Lagi pula, dengan begini aku akan berhenti memikirkan sosok pria berpakaian serba hitam itu, si bayangan hitam, lalu memikirkan cowok lain yang berpenampilan serba hitam juga yang sudah pasti benar-benar ada di dunia nyata. Tidak seperti bayangan hitam yang sejauh ini hanya aku yang bisa melihatnya. "Ducati warna hitam, ya?" tanya Alina dengan mata kecilnya yang membesar kemudian berputar, seperti sedang mencoba mengingat-ingat sesuatu. Mungkin, sesuatu yang berhubungan dengan cerita singkatku sehabis ulangan tadi mengenai insiden hampir tertabraknya aku pagi ini. "Tapi ya, Ras. Cowok yang naik motor Ducati warna hitam di sekolah kita itu banyak banget. Hampir semua malah yang nggak naik mobil atau antar-jemput mobil naik motor warna gitu." Karina yang bicara. Menyuarakan logika masuk akalnya. "Iya tuh." Gini mengamini. Tanganya kulihat bergerak meraih botol soda miliknya di atas meja yang sudah terbuka kemudian langsung menyeruputnya pelan. "Tapi tunggu deh! Apa jangan-jangan ...." Gini tiba-tiba menoleh pada Alina dengan ekspresi was-was dan mata membola. "Apa?" tanya Alina sembari mengerutkan kening. "Cowok yang itu bukan?" bisik Gini kepadaku. Ia menunjuk seseorang di kejauhan yang sedang berjalan menuju kantin. Seorang cowok tinggi yang berjalan beriringan dengan dua orang cowok lain di dekatnya. Aku langsung menyipitkan mata mencoba mengenali orang yang ditunjuk oleh Gini itu. Satu detik. Mataku langsung membelalak tak percaya. "Iya. Dia cowok itu," pekikku tertahan. "Hah? Lo nggak salah, Ras?" Alina langsung bertanya dengan nada kurang percaya. Aku kontan mengangguk menatapya. "Iya, Lin. Emang dia orangnya," kataku yakin. "Astaga ...." Alina mendesah berat. "Dia itu sepupu gue, Ras. Erland," katanya bernada serius setelah menangkupkan kedua tangannya ke depan mulut. "Ish. Emang gitu anaknya. Cuek bebek dan egois. Kalau dia sih udah nggak kaget gue kalau ogah minta maaf. Dari dulu gitu. Nyebelin banget!" desis Alina tampak luar biasa kesal. "Wait, wait!" ujar Karina tiba-tiba menggerakkan kedua tangan bebasnya ke depan seolah menahan udara. "Jadi, maksud lo, Erland, senior kita itu sepupu lo, Lin? Cowok most wanted itu?! Kok, lo nggak pernah kasih tahu gue sih selama ini?!" katanya bicara heboh menatap Alina. "Gue kan dulu ngefans sama dia," imbuhnya lantas mendengkuskan udara dari hidung. "Yee .... Lo kan nggak pernah nanya sama gue! Lagian ya, buat apa ngasih tahu lo? Gue nggak terlalu akur tuh sama dia." Alina ikut mendengkus. Aku kemudian memilih melihat cowok yang ternyata bernama Erland itu dalam diam. Dia sudah di kantin sekarang. Sudah berpakaian layaknya pelajar dan tidak serba hitam lagi. Ya, aku baru ingat jika Karina pernah cerita kalau dia menyukainya dulu sebelum berpacaran dengan Alex. Dulu aku tidak pernah tahu wajahnya saat Karina bercerita. Karina sendiri pun juga tidak pernah menunjukkannya. Mungkin, Karina mengira jika aku sudah pasti tahu mana cowok yang namanya Erland itu. Padahal dari dulu, tidak peduli seberapa terkenalnya seorang cowok di lingkungan sekitarku, aku memang tidak pernah memperhatikan. Apalagi cowok di sekolah ini. Aku baru tahu kalau cowok yang hampir menabrakku itu dia---si Erland---Ya, baru detik ini. "Eh, guys! Ngapain si Erland ngeliat ke arah kita?" tanya Gini tiba-tiba memelankan suaranya. Karina dan Alina pun segera menghentikan perdebatan mereka setelah mendengar penuturan Gini barusan. Keduanya ikut menyorot ke arah geraknya cowok itu. Aku pun langsung membisu melihat dengan jelas wajah datar cowok itu yang kali ini memang benar-benar tanpa ekspresi. Dia juga sedang melihatku saat ini. "Astaga," gumamku pelan tanpa suara. Sekarang dia benar-benar mendekat kemari. Beberapa langkah lagi cowok itu akan segara sampai di sini. 1. 2. 3. "Bisa ngomong sebentar nggak?" Bibir kemerahan cowok itu bergetar menghasilkan suara, hampir tak bernada. Dan entah kenapa aku tiba-tiba bisa melihat pantulan diriku sendiri di mata kelamnya. Sangat aneh karena jarak kami tidak bisa dibilang dekat. "Ada perlu apa lo?" Aku diam di tempat dudukku. Alinalah yang menyahut dengan nada sinis itu. "Gue ada perlu sama ...." Cowok itu menggantung kalimatnya menatapku. Ia kemudian menoleh pada salah satu teman cowoknya yang kemudian secara otomatis melontarkan namaku dari mulutnya lewat bisikan yang masih bisa kudengar. "Laras." Erland mengangguk. "Gue ada perlu sama Laras." Ia menatap lagi ke arahku. Kali ini ada sedikit perubahan pada wajah itu. Namun meski begitu, aku tetap tidak bisa membaca ekspresi yang sebenarnya dari Erland. Aku masih diam. Di dekatku, Gini dan Karina saling berbisik dengan Alina yang bergantian menatapku dan Erland yang berdiri di depan meja kami. "Bisa kalian ninggalin gue sendiri sama Laras?" desis Erland lagi tak lama kemudian. Nada memerintah terdengar jelas dari suaranya. Tidak ada seorang pun yang menjawab. "Bisa nggak, Lin?" Kali ini cowok itu melirik Alina sepupunya. Alina yang mendapat lirikan itu memicingkan matanya sebelum mengangguk kecut. Setelahnya, Alina bangkit dari tempat duduknya diikuti Karina dan Gini. "Gue tinggal dulu ya, Ras?" Mewakili yang lain Alina menepuk lenganku. Aku pun hanya mengangguk setuju. "Bentar aja! Jangan bikin masalah ya sama teman gue!" kata Alina galak penuh peringatan. Dan Erland? Cowok itu hanya diam menatap lurus ke arah Alina. "Awas aja kalau lo berani macam-macam!" tambah Alina lagi. Erland tetap bergeming menatap sang sepupu. Tidak ada anggukan, kata 'iya' atau 'tidak' yang keluar dari mulut cowok itu. Bersamaan dengan Alina yang menjauh, kedua cowok teman Erland juga ikut menyingkir, pergi duduk di sudut kantin. Di sisi lain, Alina, Karina, dan Gini. Kulihat ketiga temanku itu memilih pindah duduk tidak terlalu jauh dariku. Mereka duduk di meja yang berjarak dua meja dari tempatku. Semuanya duduk menatapku. Seolah mengawasi aku dan Erland yang kini masih berdiri. Menghela napas, cowok itu akhirnya menarik salah satu kursi yang ada di depan. "Ada yang mau gue omongin sama lo." Ia duduk mengawali pembicaraan. Aku langsung mengernyitkan kening kebingungan. Kenapa tiba-tiba cowok bernama Erland ini ingin bicara denganku? Dia duduk di hadapanku seperti ini saja sudah sangat mengejutkan untukku. Apa yang mau dia katakan? Meminta maaf? "Iya. Ada apa?" Aku mengeluarkan pertanyaan standar itu setelah berhasil menahan senyumku karena mengira dirinya akan sungguhan minta maaf. "Nggak di sini tapi. Lo harus ikut gue," katanya melihat sekeliling. Aku pun mengikuti yang dilakukannya kemudian sadar kalau semua orang sedang menatap ke arah kami. "Lo tahu siapa gue di sekolah ini." Cowok itu berbisik memberitahuku alasan di balik peristiwa yang terjadi di kantin saat ini. Aku kembali melihat ke sekeliling, lalu tiba-tiba, tangan Erland memegang tanganku dan menarikku berdiri dari tempat duduk. "Eh?" risikku. Di kejauhan kulihat Alina dan dua temanku yang lain langsung berdiri melihat tindakan Erland. Mereka bertiga seperti akan menghampiriku tapi kedua cowok teman Erland yang tadi menghadang mereka dengan sigapnya. Membuatku panik seketika. "Lepasin! Lo mau apa?" Aku mencoba melepaskan diri dari cengkraman tangan Erland. Cowok itu memilih tidak menjawab pertanyaanku. Ia kemudian menarikku menjauhi kantin dengan langkah lebarnya yang langsung membuatku keteteran mengikutinya. Dan, ya. Perlu kukatakan jika cowok ini benar-benar sangat tinggi. Seperti tiang listrik. Aku yang berjalan bersamanya mendadak merasa jadi seorang kurcaci sekarang. Setelah berkali-kali mencoba melepaskan diri dan gagal, aku akhirnya menurut mengikutinya. "Lo mau bawa gue ke mana sih?" tanyaku namun tak Erland hiraukan. Kurasakan cowok itu yang malah semakin memperkuat cengkeramannya di pergelangan tanganku. "Sakit!" pekikku. Erland seperti tidak peduli. Dan seperti tadi, cowok itu tetap tidak mau menyahut sama sekali. "Pelit banget sih buat ngomong. Dasar!" kesalku dalam hati. Beberapa lama merasakan tangan yang sedikit kesakitan, aku harus menaiki puluhan anak tangga dalam seretan Erland. Setelahnya, ruang terbuka yang kukenali sebagai rooftop sekolahan menyambut mataku dari balik punggung cowok jangkung itu. Dia yang masih setia menyeretku itu kemudian membawaku bersamanya ke pinggiran rooftop, berdiri di dekat teralis besi. Setelah kami berhenti aku langsung menghela napas lelah. Jujur, aku sebenarnya penasaran dengan apa yang mau dikatakan Erland. Namun, di sisi lain antusiasmeku jadi berkurang drastis akibat kesakitan yang kurasakan dan aku yang tidak suka berada di tempat seperti ini. Bukan karena tempatnya sih. Tapi lebih karena keberadaannya yang jauh dari permukaan tanah. Sejujurnya aku benci ketinggian. Dari sini, yang terlihat mataku hanya gedung-gedung tinggi milik bangunan lain ibu kota yang tidak ada variasinya. Saat melihat ke bawah pun, yang nampak pun hanya kemacetan Jakarta yang menyebalkan. Sampai sekarang sebenarnya aku tidak tahu alasanku membenci berada di tempat tinggi seperti saat ini. Tapi di kepalaku seperti ada suatu sugesti yang membuatku merasa benci dengan sesuatu yang berbau tinggi. Untuk ke sekian kali aku menghela napas. Lelah. Keringat rasanya sudah membasahi hampir seluruh tubuh dan membuat lengket. Aku sangat heran dengan cowok satu ini. Kenapa tidak naik lift saja tadi kalau tujuannya tempat teratas di gedung ini? Dia kira kotak listrik itu apa gunanya? Upil naga! Di dalam hati aku terus mengumpatinya. "Jadi lo mau ngomong apa?" kataku pada Erland setelah berhasil menguasai diri. Dengan gerakan cepat, tanganku yang sebelumnya masih dipegangnya kutarik lalu kuhempaskan ke udara. "Ngapain pake ke sini segala?" lanjutku lantas menahan ringisan karena tanganku yang sekarang terasa luar biasa nyeri. Semenit. Dua menit. Lima menit berlalu. Aku mengerutkan dahiku karena melihat Erland yang hanya diam membisu. Matanya memejam rapat sembari dadanya yang terlihat sedang menarik napas pendek-pendek. "Ada apa sih?" Aku akhirnya kembali bersuara tapi tidak ada tanda-tanda dari Erland kalau dia akan berbicara. Saat mulai merasa muak karena berada di rooftop lama-lama dan tak dihiraukan oleh Erland yang notabenenya orang yang mengajakku bersusah-payah jauh-jauh kemari, aku pun memutuskan untuk melangkah pergi. Namun— sesuatu yang tak terduga kemudian terjadi. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN