Perdebatan kecil yang sempat terjadi nyatanya membuat emosi Amanda memuncak. Bagaimana tidak, seorang ibu yang lazimnya menjadi sahabat sejati bagi putrinya, justru menjadi oppressor. Yah, seharusnya Fida bisa memberikan pertimbangan dari berbagai sudut pandang. Tidak hanya melihat dari perspektifnya sendiri.
Pasca friksi yang terjadi antara dia dengan Sang Mama, membuat perempuan berhijab pemilik nama Faza Amanda itu enggan melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Begitu banyak kejadian yang menguras emosinya, hingga rasa-rasanya tidur panjang tidak akan membuatnya jauh lebih baik.
"Manda langsung cabut aja, Ma. Mau ngopi sebentar. Lagi buru-buru," pamit Manda selepas menurunkan Afida di depan rumah. Tanpa menunggu jawaban ibunya.
Seperti ucapannya pada ibunda, Amanda kini mengarahkan kuda besinya menuju ke sebuah kafe; tempat di mana ia dan Yogi sering melepas rindu. Baginya, mendatangi kedai itu bisa jadi salah satu self healing Amanda. Di tengah banyak hal yang mentrigger emosi negatifnya membuncah.
"Milkshake nya satu ya, mbak," ucap Amanda ramah.
Dara muda itu kini terlihat sibuk membiarkan jemari tangannya menari indah di atas papan keyboard gawai kesayangannya. Bermaksud menghubungi Yogi, agar menemaninya di sini.
"Hon, lagi sibuk gak? I wanna meet you now!"tulis Amanda dalam pesan teks singkatnya via aplikasi berwarna hijau terang. Tak lupa ia menambahkan emotikon senyum dan cinta di dalamnya.
["Di tempat biasa 'kan? Tunggu aku di sana. Aku otw sekarang."] balas Yogi dalam waktu kurang dari dua menit sejak pesan Manda ia baca.
"Alright. I will be right here waiting for you," sahut cepat Amanda lewat barisan huruf alfabet nan bermakna itu.
Sembari menunggu Yogi, Amanda menyempatkan diri membaca n****+ lokal favoritnya. Barisan kata lembar demi lembar ia pahami benar. Hingga tak jarang keluar juga buliran bening dari pelupuk netra cokelatnya.
"Heh!" Yogi menepuk bahu Amanda. Membuat Amanda
"Ngelamun aja sih, Hon! Mana pake gaya keberatan kepala lagi," tutur Yogi sambil terkekeh. Melihat Amanda yang terkejut akan ulahnya.
"Dasar!" gumaman lirih Amanda, disusul dengan tingkah usilnya kepada Yogi. Menyunggingkan sedikit senyum di paras ayunya.
"Kenapa nih? Tumben banget loh, Hon. Kamu minta meet up malam-malam begini." tanya Yogi yang tidak bisa lagi menahan keingintahuannya.
Pasalnya, selama tiga tahun bersamanya, Amanda tidak pernah meminta bertemu di malam hari begini.
"I need your help, Hon." Amanda kini meremas-remas pakaiannya.
Wajahnya tertunduk seiring buliran bening sedikit demi sedikit menyentuh pipinya yang halus. Dengan senang hati, mendung bergelayut manja di paras teduh Amanda.
Melihat kekasih hatinya bermuram durja, membuat Yogi menghentikan jokes receh. Lobus frontalnya mengatakan jika sekarang saatnya mendengarkan semua uneg-uneg Amanda.
"Just tell me, Babe." dengan lembut, Yogi menggerakkan jarinya menyentuh lembut bahu Amanda. Sebagai tanda ia mempersilakan Amanda untuk berbagi sesuatu dengannya.
"Aku benci sama mama!" barisan kata yang meluncur dari bibir Manda nyatanya mampu membuat sepasang bola mata Yogi membulat sempurna.
"Mama tega menjodohkan aku dengan anak temannya, Beb. Tanpa permisi ia menafikan perasaanku. Sedangkan dia tahu aku udah sama kamu. Itu namanya sudah jahat lagi. That's why I hate her!" cerocos Amanda bak kereta api cepat yang telah berlomba dengan waktu, mencapai stasiun pemberhentian terakhir.
Sesaat, Yogi terhenyak. Wanita yang ia anggap seperti calon mertuanya nyatanya tidak menghargai akan kehadirannya. Padahal jika mau menilik ke belakang, Yogi telah banyak berkorban untuk keluarga Afida. Namun, mata matrealistis Afida nyatanya tidak mampu melihat hal itu.
"Mungkin menurut mama, aku tidak bisa membahagiakanmu, Manda sayang. Jadinya yah, apa salahnya jika menjodohkanmu dengan pria selain aku."
Ingin rasanya Yogi mengatakan itu semua. Namun, lidahnya terasa begitu kelu untuk mengungkap semua. Tidak tega untuk menyakiti Amanda lebih dalam lagi.
"Come here, Babe!" Yogi melebarkan tangannya. Lalu salah satu tangannya menggiring tubuh Amanda mengikis jarak dengannya. Berharap pelukannya mampu menenangkan Amanda, sekalipun hanya sebentar.
"I'm sorry, aku hanya mampu melakukan hal receh seperti ini." Yogi semakin mempererat dekapannya. Memberi kesempatan pada Amanda untuk meluapkan semua emosi yang terpendam. Termasuk tangis yang sedari tadi ditahan.
Setelah puas menangis di pelukan Yogi, serta merta Amanda meraih tangan Yogi. Lalu diremas-remas punggung tangan nan solid itu. Dengan suara lirih, gadis itu meminta Yogi untuk membantunya.
"Bantu aku untuk meyakinkan mama bahwa kamu satu-satunya yang terbaik untukku. I'm yours."
"Berjanjilah padaku kita akan selalu bersama, sekalipun beribu ombak berusaha menerjang kapal kita," mohon Amanda serata menatap dalam wajah tampan Sang Kekasih.
"I will do my best, Babe!" ucap Yogi lirih seraya menganggukkan kepalanya. Sekalipun jauh di dalam hatinya meragu. Hal apa yang bisa ia lakukan untuk meluluhkan hati Afida.
Senyum manis pun kembali terkembang di lengkungan merah kembar Amanda. Kata-kata yang meluncur bebas dari mulut Yogi nyatanya memberinya secercah kebahagiaan. Seperti tetes embun di gurun sahara yang begitu panas dan gersang.
"Thanks a lot, Babe. Semoga perjuangan kita gak sia-sia yah." harap Manda seraya melingkarkan tangannya di leher Yogi. Lalu membiarkan raganya tiada lagi berjarak dengan Yogi.
Sementara itu, di salah satu sudut kota yang sama, seorang pemuda terlihat tengah beradu argumen dengan perempuan lewat paruh baya.
"Ma, Fandi pikir sebaiknya rencana mama itu dipikir-pikir lagi. Bukannya apa-apa. Hanya saja, apa gak terlalu cepat sih, Ma?" Affandi mulai membuka pembicaraannya dengan Aninda.
"Maksudnya?" Aninda mengernyitkan dahinya. Belum paham arah pembicaraan Affandi saat ini.
Dengan hati-hati, Affandi mengatakan masih terlalu dini jika menjodohkannya dengan salah satu perawat yang bekerja di rumah sakit milik Sang Mama. Bayangkan, hanya berbekal dua kali pertemuan, Aninda mampu menilai bahwa Amanda bersikap baik.
"Dia berlaku baik dan ramah kepada pasien 'kan karena ada kode etik yang mengikatnya, Ma. Tapi untuk sifat aslinya 'kan kita belum tahu yang sejatinya bagaimana, Ma." Affandi beropini.
"Lagian 'kan Amanda sudah punya pilihan hati sendiri. Fandi gak ingin merusaknya," tukas Affandi.
Setelah mendengar pernyataan Affandi, nyatanya tidak mampu membuat Aninda merubah keputusannya. Berbekal janji dengan sahabatnya, membuat ia berkeinginan kuat untuk tetap melaksanakan perjodohan.
"Sekarang gini deh, Ma. Mama tahu kisah cinta Affandi lima tahun lalu 'kan? Itu siapa yang mengenalkan, teman mama juga 'kan?"
"Bilang menawarkan kebahagiaan, tetapi malah menancapkan luka terdalam di hati. Dan sayangnya, luka itu masih berbekas, Ma. Sekalipun Fandi sudah berusaha menutupnya," tukas Affandi.
Meminta Sang Ibunda tercinta kembali memikirkan perjodohan yang terasa begitu random ini. Memohon agar kali ini Aninda lebih memperhatikan isi hati putranya. Dan tidak mengedepankan keegoisannya.
"Kalau ini memang permintaan terakhir mama, apa kamu masih mau bertahan dengan egomu, Nak?" tukas Aninda seraya menatap dalam wajah tampan Affandi.