Sejenak, Amanda berdiri terpaku kala mendengar permintaan Aninda yang begitu sederhana itu. Otaknya yang terbiasa loading cepat, kini justru perlu waktu lebih lama untuk memahami semua kata yang Aninda ucapkan.
"Memenuhi permintaan bu pasien itu? Menerima perjodohan gitu maksudnya?" tiga menit sudah sejak pinta Aninda terlisankan, namun lobus frontal Amanda masih sibuk mencerna.
"Gak. Gak bisa dan gak mau. Menikah karena perjodohan itu pasti gak enak. Gak mungkin ada cinta yang tumbuh." monolog Amanda dalam hati.
Niat untuk menolak atas rencana Aninda dan Fida pun mulai bergejolak dalam jiwanya. Serangkaian alasan pun mulai menghiasi benak Amanda. Mulai dari beralibi sudah punya pilihan hati sendiri hingga ingin meniti karir terlebih dahulu rasa-rasanya sudah siap Manda muntahkan. Akan tetapi, entah mengapa lidah Amanda yang terbiasa blak-blakan kini justru begitu kelu saat akan mengucap sepatah kata "I'm sorry, I can't."
Sama halnya dengan Amanda, Affandi pun masih saja berdiri tak bergeming. Tiada suara bariton khasnya yang keluar dari bibir pria penyuka parfum beraroma wood sejak ia dengar permintaan mamanya.
Memang, permintaan Aninda begitu tampak sederhana. Yah mungkin hanya sebatas mengiyakan permintaan orang tua lalu everything will be fine. Tidak menutup kemungkinan, keputusan Affandi untuk bersedia menikahi Amanda tentu akan melimpahinya berbagai penghargaan dari Sang Mama. Termasuk harta yang tidak akan habis hingga tujuh turunan.
Namun, Affandi bukanlah tipe anak lelaki yang ambisius terhadap harta benda milik orang tua. Yang ia pikirkan sekarang hanyalah bagaimana caranya ia bisa menjalani komitmen yang sejatinya tidak ia kehendaki.
Memang, kegagalan cinta yang Affandi alami sudah lima tahun yang lalu. Akan tetapi, rupanya luka itu masih membekas hingga sekarang. Goresan yang mencederai rasa percaya akan arti cinta.
"Bisakah aku menjalani komitmen bukan atas nama cinta? Akan berbentuk seperti apa pernikahan ini nantinya jika tidak ada rasa di dalamnya." monolog Affandi dengan posisi tubuh yang tidak berubah.
"Gimana? Kalian pasti sanggup 'kan?" suara lembut Aninda mendistraksi dua insan yang tengah bimbang itu.
Namun, tampaknya semesta mulai berkongsi dengan hajat Aninda. Tanpa diduga, baik Amanda ataupun Affandi memberikan jawaban yang sama dan dalam waktu serempak.
"Beri saya waktu untuk berpikir terlebih dahulu," sahut mereka.
"Karena pernikahan itu sesuatu yang sakral untuk saya pribadi, Bu," imbuh Amanda yang masih saja memanggil mama Affandi dengan sebutan Bu.
"Dan tentu saja kami membutuhkan kehadiran cinta untuk menjalani perjanjian nan kuat dan agung ini," timpal Affandi, menguatkan pendapat Amanda.
"Anak-anakku, kemarilah." titah Aninda seraya melambaikan tangannya. Meminta Affandi dan Manda berjalan mendekati tempat tidurnya.
"Iya, ada apa, Ma?" tanggap Affandi lali gegas melakukan apa yang Aninda kehendaki.
Sungguh, satu kata sapaan yang baru saja meluncur dari bibir Aninda lagi-lagi membuat Amanda tak bergeming.
"Ajak anak perempuan mama itu ke mari, Nak," bisik lembut Aninda di telinga Affandi, yang melihat Amanda masih saja berdiri mematung di tempatnya.
Sontak, Affandi menghampiri Amanda. Dengan lembut, pria berdada bidang itu meraih tangan Amanda seraya berucap, "maaf terpaksa aku memperlakukanmu seperti ini. Habisnya kamu belum juga merespons panggilan mama."
Tak ayal, Amanda terhenyak mendengar bisikan Fandi. Sejenak, Amanda belum juga merespons ajakan Fandi. Tampaknya, ia meragu, haruskah membalas atau menepis uluran tangan itu.
Akan tetapi, sejurus kemudian, dara penggemar salah satu klub sepakbola ini membalas uluran tangan pria yang digadang menjadi suaminya kelak.
Entahlah, pada saat Amanda menautkan jari tangannya dengan Affandi, ia merasakan getaran yang begitu aneh. Semacam sengatan listrik yang mendorongnya untuk menikmati genggaman itu. Genggaman yang begitu terasa berbeda kala bersama dengan Yogi.
"Oke," sahut Manda sembari menundukkan kepalanya. Lalu berjalan mengikuti jejak Affandi. Mengikis jarak antara dirinya dengan Aninda.
"Anak-anakku, mama tahu pasti kalian berpikir pernikahan karena dijodohkan pastilah tidak akan membahagiakan. Namun, percayalah cinta akan hadir diantara kalian. Seiring waktu yang akan kalian habiskan bersama nanti," tutur lembut Aninda seraya menatap teduh sepasang manusia yang menduduki hatinya. Sedetik sebelum ia mengakhiri perbincangan serius itu.
"Tuh, Nak. Akhirnya ada yang melihat kontribusimu di rumah sakit ini. Mama berpikir kayaknya gak cuma level posisi kamu di rumah sakit ini yang bakal naik. Tapi juga kemampuan finansialmu berjalan beriringan." Fida membuka obrolan dengan Amanda setelah hampir separuh perjalanan ibu dan anak itu hanya diam.
"Maksud mama?" timpal Amanda cepat tanpa menyempatkan diri menolehkan wajahnya ke arah Fida.
Jantung Fida berdetak lebih cepat kala mendengar tanggapan singkat Manda. Oh lebih tepatnya pertanyaan yang menuntut Fida menjelaskan maksudnya. Membuat wanita single parent itu harus mengatur nafasnya dulu. Sebelum menjabarkan makna bicaranya.
"Gini, Faza Amanda sayang. Maksud mama tuh semisal kamu menerima perjodohan ini, pastilah hidupmu jauh lebih bahagia, Sayang," ucap Fida hati-hati.
Bingung. Amanda hingga sekarang belum mampu memahami definisi kebahagiaan di mata Afida. Apakah seseorang yang bahagia itu jika dianugerahi materi yang berlimpah.
"Maksudnya gimana deh, Ma? Maaf, Manda benar-benar gak tahu maksudnya mama gimana," selidik Manda seraya menolehkan wajahnya ke arah Afida. Seakan meminta ibunda melisankan secara jelas.
Afida menghela nafasnya kasar. Ia begitu sedih putrinya yang berusia seperempat abad itu belum juga memahami arti bahagia. Kendati demikian, Fida akhirnya menjawab pertanyaan Amanda.
"Ya jadi gini, Nak. Misalnya nih kamu mau menikah dengan Affandi, hidupmu akan jauh lebih enak. Gak pernah pusing besok mau makan apa. Dan tentu saja, kamu akan lebih dihormati di rumah sakit itu," tutur Fida panjang lebar. Tanpa menyadari jika saat ini terbongkarlah tujuan Fida menjodohkan putri yang berparas begitu mirip dengannya.
Tak ayal, ocehan Sang Mama membuat Amanda cepat-cepat menginjak pedal rem kuda besi hatchbacknya. Ia tidak menyangka jika tingkat materialitas Fida setinggi itu. Seakan hidup hanya berkisar tentang harta.
"Maaf, Ma. Manda mengerem mendadak. Yah shock aja sih dengan ucapan mama. Sampai kapan mama masih mendewakan materi?" celetuk Manda seraya kembali menekan pedal gas sedannya. Sesaat setelah radar netranya menangkap Fida memandangnya begitu tajam.
"Memang, hidup itu gak bisa runnings well kalau gak ada duit. Manda tidak menampiknya. Hanya saja, yakin kita bisa hidup tanpa ada cinta namun mengkultuskan kekayaan, Ma?" Manda menambah kecepatan mobilnya seiring perbincangan intim itu kini terasa begitu serius.
"Kalau memang mau mama mempunyai menantu yang kaya, kenapa mama gak nikahi Manda aja dengan para sugar daddy di luar sana. Kalau tujuannya memang agar Manda happy," sarkas Manda yang kini mulai berani menyangkal pandangan Afida.
Kecewa dengan sikap mamanya, membuat Amanda tak mampu lagi menahan perkataan sarkasnya. Barisan kata yang ia tahan kuat-kuat, nyatanya meluncur begitu saja tanpa beban.