Gamang

1024 Kata
"Ini sudah malam, Ma. Waktunya mama beristirahat. 'Kan mama pasti capek karena baru pulang dari masjid." Affandi berusaha mengalihkan pembicaraan nan serius ini. Mencoba tetap cuek, sekalipun tatapan menghiba Aninda mengoyak-ngoyak dasar hatinya. Nafas Affandi serasa tercekat demi mendengar rangkaian beberapa huruf yang keluar dari bibir Tidak menyangka jika wanita yang telah melahirkannya tiga dasawarsa yang lalu itu menekannya sedemikian rupa. Pria penikmat balapan mobil ini pun menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia bingung bagaimana menyikapi permintaan ibunya satu ini. Di satu sisi, egonya terasa tidak mungkin menerima rencana penyatuan dirinya dengan Amanda. Sementara luka di masa lampau belum juga menghilang bekasnya. Masih tergambar dengan jelas dalam ingatan Affandi bagaimana Kinan mengukir lalu mengakhiri jalinan cintanya. Tanpa sebab yang tak bisa dibenarkan logika, perempuan yang menaburkan bibit cinta harus pergi dan memilih lelaki lain. Namun, di sisi yang lain, ia juga ingin berbakti pada satu-satunya orang tua yang saat ini ia miliki. Memang benar, mommy is everything untuknya. Sebisa mungkin apapun titah Sang Ibunda, he will obey it, whatever the risk. Tetapi, permintaan Aninda satu ini cukuplah sulit untuknya. Sebuah permintaan yang menuntutnya mengorbankan egonya. Menyita waktunya untuk beradaptasi. Dan memaksanya untuk mencintai perempuan yang jelas-jelas belum bisa menyembuhkan lukanya. "Oh God. What can I do? Aku tak ingin mengecewakan mama. Namun juga tak mau menyakiti hati Amanda dengan menikahinya." pekik Affandi dalam hati seraya menengadahkan kepalanya. Ternyata, di balik sisi keras kepalanya, masih ada secuil kebaikan hatinya. Ia tak ingin menyesal untuk kedua kalinya. Mengecewakan orang tuanya. "Gimana?" Aninda kini menuntut ketegasan Affandi. Membuyarkan pikiran Affandi yang asyik berkelana ke antah berantah. "Just say yes or no. Then everything will be clear," tukas wanita bersurai putih. Sejenak sebelum ia meninggalkan Affandi duduk terpaku di ruang tamu. "Maaf, Ma. Fandi belum bisa menentukan jawabannya sekarang," monolog Affandi seraya menatap punggung Aninda yang kian menjauh dari penglihatannya. Pria itu merebahkan raga kekarnya di atas sofa. Mencoba untuk memejamkan sepasang netra hazelnya yang sudah terasa pedih. Siapa tahu dengan ia beristirahat, bisa mengalihkan penatnya yang tak berkesudahan. Sekaligus menyingkirkan pening yang sedari tadi mengusiknya. Namun, satu menit dua menit, bahkan hingga 30 menit lamanya, dua bola matanya belum juga mau terpejam. Semakin menambah intensitas nyeri yang menghujam kepalanya. Tanpa ba-bi-bu Affandi memutuskan untuk bangkit dari posisi nyamannya saat ini. Tangan berurat yang solid itu menyambar kunci mobil yang diletakkan di atas nakas. Lalu bergegas meninggalkan ruangan yang berasa panas, sekalipun suhu pendingin udara sudah diatur dibawah 19° celcius. Tepat pada saat Affandi membuka pintu mobil, suara nyaring khas perempuan yang begitu familiar, tertangkap oleh indera pendengarannya. "Kamu mau ke mana, Nak?" tanya Aninda. Menggiring Affandi menoleh ke sumber suara. "Fandi mau ke warung kopi sebentar, Ma. Ngerjain laporan di sana." Affandi beralasan. "Malam larut begini?" tahan Aninda yang sejatinya tidak igin Affandi pergi di malam hari. Affandi menganggukkan kepalanya. Mengiyakan pertanyaan mamanya. Karena bagaimanapun juga ia tidak bisa melepas fitrahnya sebagai seorang lelaki. Yang rasanya pantang untuk berterus terang tentang apa yang ia rasa saat ini. Termasuk penyebab ia keluar rumah di malam yang hampir larut ini. "Mama hati-hati di rumah ya. Kalau ada yang ngetuk pintu jangan dibukain pintu. Dah." pamit Affandi seraya menekan tombol start engine SUV kesayangannya. Ia melambaikan tangan sejenak lalu menekan pedal gas mobilnya. Perlahan meninggalkan bangunan yang biasanya membuat ia nyaman. Sementara Affandi yang masih dilanda kebimbangan, lain halnya dengan Amanda. Perempuan yang beberapa waktu lalu sempat bermuram durja, kini berubah. Senyum manis khasnya pun senantiasa terkembang. Tentu saja, semenjak Yogi menenangkannya. "Makasih ya, Hon. Udah mau dengerin rengekanku. Thanks for your precious hugs," ucap lembut Manda seraya menggenggam erat telapak tangan solid kekasihnya. "Sama-sama, Sayang. I Love you." Yogi meraih pucuk kepala Amanda lalu mendaratkan lengkungan kembar merahnya di kening Manda. "Aku antar pulang yah. Cewek rawan kalau pulang sendirian." Yogi menawarkan diri untuk mengantar Amanda pulang. "Terus mobilku atau mobilmu gimana?" sahut polos Amanda. Mendengar pertanyaan Amanda, spontan Yogi terkekeh. Perempuan 23 tahun yang saat ini berdiri di depannya nyatanya masih polos juga. Membuat ia merasa gemas saja. Menuntun jari tangannya mencubit lembut pipi Amanda yang bersemu merah. "Kamu tuh lucu banget ya, Hon. 'Kan aku masih bisa mengawalmu dari belakang Manda pinter tapi juga bisa loading lambat, hem," ucap Yogi seraya mengusap lembut pucuk kepala Amanda. "Iya deh iya. Tapi gak ngatain lola juga gitu kali ah. Rasanya tuh jleb banget. Berasa dibuat melambung sampai ke awan terus dihempaskan gitu aja ke bumi. 'Kan jadi nyesek, bro," cicit Amanda kesal seraya menghentak-hentakkan kakinya. Persis seperti anak kecil yang ngambek kalau tidak dituruti permintaannya. Sungguh, selama bersama dengan Yogi, Amanda begitu bebas mengekspresikan dirinya. Tawa renyah seakan menjadi penghias pertemuan Manda dengan Sang Kekasih. Bagi Amanda, hanya Yogi tempatnya ia bermanja. Tempatnya berbagi baik suka ataupun duka. Dan di antara lelaki yang mendekatinya, hanya Yogi seorang yang mampu membuka gembok hatinya. Memberinya harapan dan kenyamanan yang Manda inginkan. "Ayo pulang." Yogi menarik tangan Manda, mendistraksi Amanda yang sempat melamun. Amanda kini mensejajarkan langkah Yogi, menuju ke tempat di mana mobilnya terparkir. Tanpa malu-malu, wanita berhijab itu berjalan seraya bergelayut manja di bahu kokoh Yogi. Entahlah, bagi Manda bahu lebar Yogi mampu membuatnya nyaman. Pada saat yang sama, sebuah mobil SUV memasuki halaman parkir kedai itu. Mata elang sesosok lelaki di balik kemudi sibuk mencari ruang kosong untuk tunggangannya. Namun, tidak sengaja radar netra hazel miliknya menangkap sosok yang ia sering temui di rumah sakit. "Itu 'kan Amanda. Lalu siapa lelaki itu? Kenapa ia begitu nyaman?" gumam Affandi tanpa mengalihkan perhatiannya sedikitpun pada wanita yang didapuk Fida menjadi calon pendamping hidupnya. Gamang. Satu kata itulah yang mampu menggambarkan perasaan Affandi. Bagaimana mungkin ia tega memutuskan jalinan indah Amanda dengan belahan jiwanya. Sementara ia kelimpungan memberi pengertian pada Sang Ibunda bahwa rasa memang tidak bisa dipaksakan. Melihat pemandangan di depan matanya, membuat Affandi akhirnya memutar mobilnya. Tujuannya untuk menghalau penat nyatanya tidak tercapai. Tanpa aba-aba, ia kembali menginjak pedal gas mobil sporty-nya. Bergerak menjauhi tempat yang membuat hatinya merasakan getaran yang begitu aneh. Terasa panas di hati namun ia menyadari sosok di depannya belumlah menjadi haknya. "Tidak ada pilihan selain ke sana," gumamnya seraya mengarahkan mobilnya menuju ke tempat lain. Yang mungkin bisa saja menawarkan kebahagiaan semu untuk Affandi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN