Amanda terus melangkahkan kakinya menuju ke taman kota. Ia tak lagi memperdulikan dering panggilan dan notifikasi pesan yang diatur khusus Yogi. Dalam benaknya, percuma saja ia mengangkat panggilan suara ataupun membaca pesan dari Yogi. Karena jawaban yang ia dapatkan pastinya Yogi tidak bisa mengantarnya pulang ke rumah.
Sebenarnya Manda bukanlah tipe perempuan penuntut. Yang suka memaksa kekasih untuk bisa menjemput pulang atau mengantar ke mana ia melangkah. Ia pun sebenarnya tidak akan ambil pusing jika Yogi tidak bisa menjemputnya, asalkan kekasih memberinya kabar.
Tingkah Yogi yang membiarkannya menunggu tanpa kepastian, tak ayal membuat emosi Amanda memuncak. Dan tentu saja, memicu berbagai dugaan Manda tentang Sang Kekasih berkelebat sesukanya dalam benak Amanda.
"Mungkinkah Yogi sedang sibuk-sibuknya dengan pekerjaan yang sekarang. Mengantar penumpang atau barang pesanan dengan jarak dan waktu tempuh yang tidak bisa diprediksi. Atau mungkin usaha mama lagi rame makanya mas Yogi suruh bantuin." gumam Manda dalam hati.
"Atau jangan-jangan mas Yogi tengah asyik tebar pesona dengan…Ah tetapi rasanya tak mungkin dia seperti itu. Hanya aku cintanya, tak akan dibagi dengan yang lain." Manda mencoba menepis curiga dalam hati yang mulai menggerogoti jiwanya.
Perempuan itu begitu yakin jika Yogi menjaga hatinya. Yah, kalaupun ada wanita yang mencoba merayu atau menggodanya, Yogi menanggapinya dengan santai.
Tatkala langkah Amanda hampir tiba di bibir pintu taman kota, terdengar notifikasi sebuah pesan singkat masuk. Ia memilih mengabaikan pesan singkat itu. Mengira jika pengirim pesan singkat itu adalah Yogi.
Akan tetapi, lobus frontalnya begitu mengenali bunyi notifikasi itu. Sepertinya kali ini perkiraan Amanda salah. Dara berparas ayu itu akhirnya membuka pesan beruntun itu.
Perempuan itu membelalakkan sepasang manik hazelnya kala melihat isi pesan tersebut. Seketika, dadanya bergemuruh. Penglihatannya pelan tapi pasti terasa berembun. Hati Amanda begitu sakit seperti diiris-iris kala ia memperhatikan dua sosok yang begitu ia kenali.
"Tenang Amanda, inhale exhale. Tak mungkin Yogi bermain belakang darimu. Pesan ini hadir untuk menguji hubunganmu, Sayang." Amanda bersugesti. Mencoba menguatkan hatinya.
Akan tetapi, rasa sakit yang terasa begitu menghujam jantungnya, membuat pertahanan Amanda runtuh. Buliran bening yang sedari tadi Manda tahan, akhirnya luruh sudah.
"Sungguh terlalu tega kamu, Beb! I Hate you!" pekik Manda yang kini tak lagi mampu menguasai diri.
Seiring air mata Amanda yang mengalir deras bak air sungai, di salah satu sudut tempat yang sama, berdiri sesosok wanita lewat paruh baya yang tersenyum smirk ke arah Amanda. Tampaknya hatinya begitu bahagia melihat Amanda menderita.
"Ahahaha. Rasakan ujian dariku yang tak seberapa ini karena kamu melawan perkataanku. Tenanglah Amanda, ini baru permulaan saja. What about the next? Aku rasa kamu akan menangis darah," gumam perempuan bersurai hitam itu seraya menatap tajam Manda. Seakan-akan ialah yang akan jadi pemenangnya.
Setelah puas menertawakan Manda terluka karena ulahnya, wanita itu memutar badannya 180°. Tepat di waktu ia merubah posisi, berdiri sosok pemuda yang begitu familiar di matanya.
"Yo-yogi sejak kapan kamu di sini, Nak?" tanya Lita dengan wajah nyaris pucat pasi. Ia begitu terkejut dengan kedatangan putranya tanpa ia duga.
"Ini anak disuruh nikmatin waktu berdua sama perempuan suruhanku susah amat. Bener-bener bebal sulungku satu ini," monolog Lita seraya menatap Yogi.
"Baru aja sih. Omong-omong mama ngapain di sini?" selidik Yogi yang heran dengan tingkah mamanya kali ini.
Sesaat, Lita memandang ke penjuru taman. Mencari sesuatu yang bisa ia manfaatkan untuk mengelabui Yogi. Dan tak perlu waktu yang lama, radar indera penglihatan Lita melihat sebuah bunga yang tengah merekah indah.
"Sepertinya bunga itu bisa kujadikan alasanku berada di sini. Betapa konyolnya aku jika mengatakan hal yang sebenarnya pada Yogi. Enak saja, dia tidak boleh tahu akal bulusku." monolog Lita dalam hati. Senyum smirk pun lagi-lagi terkembang.
"Ehm, ini mama lagi cari tanaman bunga. Ya 'kan kali aja ada yang bagus, Nak. Lagian pasti gak dipungut biaya kalau mama memetik bunganya di sini. " dusta Lita.
"Tapi kenapa harus di—"
"Iya, soalnya kalau di toko tanaman agak mahal, Sayang. Mama gak merasa gengsi mengambil salah satu tanaman yang berada di sini." potong Lita cepat, sebelum Yogi memborbardirnya dengan segala pertanyaan yang bisa saja menyudutkannya.
"Hah? Mama yakin nih dengan jawaban mama?" gali Yogi yang mulai curiga dengan sikap mamanya yang begitu berbeda.
"Yah, begitulah, Nak." kekeh Lita, menutupi rasa khawatirnya. Entah sepanik apapun, Lita tetap berusaha bersikap setenang mungkin.
Akan tetapi, tampaknya semesta kali ini menghendaki jantung Lita begitu berdebar. Melihat rangkaian peristiwa yang sebentar lagi ia saksikan. Tepat pada saat ibu dan anak itu berbalik arah, tidak sengaja radar indera penglihatan Yogi melihat sosok Amanda yang hendak keluar dari taman kota.
"Ma, aku nyamperin Amanda dulu ya. Mama tunggu di sini," ucap Yogi.
"Amanda." panggil Yogi.
Tidak ingin kehilangan jejak sosok yang selalu menyejukkan hatinya, Yogi bergegas berlari menghampiri Amanda. Menafikan panggilan Lita yang mencegahnya mengikis jarak dengan Amanda.
Mendengar suara bariton yang begitu familiar di telinganya, Amanda menolehkan wajahnya ke arah sumber suara. Suara itu membuat Amanda terpaku sejenak. Hingga akhirnya derap langkah Yogi yang semakin cepat, membuat Amanda lekas beranjak dari tempatnya.
"Manda tunggu!" teriaknya kala ia mendapati Manda semakin membentangkan jarak dengannya.
Mendengar teriakan Yogi memanggil namanya, Amanda mempercepat langkahnya. Rasa sakit hatinya yang begitu dalam, memacu adrenalin ya untuk segera mengambil jarak dengan Yogi. Sungguh, kali ini ia tidak ingin melihat wajah pria yang tiga tahun ini membersamai hidupnya.
Kendati Amanda semakin menjauhinya, pemuda itu tiada menyerah. Semakin lebar langkah Manda membuat jarak dengannya, semakin cepat pula ia mengikisnya.
"Manda. Kamu kenapa, Hon?" tanya Yogi yang akhirnya berhasil mensejajarkan posisinya dengan Manda.
Tanpa rasa sungkan, tangan kekar Yogi berusaha menyentuh pipi Manda yang kini telah basah karena air mata. Namun, sebelum upayanya berhasil, Manda lebih dahulu menepis sentuhan kecil Yogi yang biasa menenangkannya.
"Jangan sentuh aku!" tukas Manda dengan suara parau. Tatapan tajam kini ia layangkan pada lelaki yang sempat mengukir senyum indahnya.
"Apa yang terjadi, Manda? Tolong katakan padaku."
Barisan tanya yang meluncur dari bibir Yogi bukannya menenangkan Manda. Akan tetapi, justru membuat dara berparas ayu itu semakin benci pada Yogi.
"Jangan sok polos. Aku tahu apa yang kamu lakukan!" ucap Manda yang kini tak lagi memanggil Yogi dengan sebutan beb.
Yogi semakin bingung menghadapi Manda. Apa-apain ini, Manda yang biasanya tetap lembut berbicara padanya, kini berani berkata dengan intonasi khas marah. Disusul dengan tatapan tajam menusuk hatinya.
Pasangan sejoli itu tidak tahu bahwa mereka ditertawakan wanita paruh baya yang berada di dekatnya. Tertawa karena isu itu terbukti membuat hubungan Manda dengan Yogi memburuk.