"Kalau aku salah, tolong bilang ke aku. Jangan memintaku untuk menebak. Aku bukanlah cenayang yang bisa paham apa maksudmu, Beb. Please," ucap Yogi seraya menatap lekat-lekat manik cokelat Manda yang mulai terlihat berembun.
Tak lupa pria itu menggenggam tangan Manda. Meminta Amanda untuk tidak pergi darinya. Sebelum tanyanya terjawab.
Amanda menghela nafas panjang. Ia begitu gamang ketika melihat tangan berurat itu menggenggam tangan halusnya. Genggaman tangan pemuda yang biasanya mampu menguatkannya, kini begitu terasa berbeda.
Untuk pertama kalinya, Manda merasa genggaman itu membuatnya hancur. Terlebih kala lobus frontalnya mengingat skandal Yogi. Ia mencoba mengatur nafasnya yang tidak beraturan, seiring kecewa menjejali rongga dadanya.
"Ini maksudnya apa?" Amanda akhirnya meraih gawainya, menunjukkan pesan bergambar yang ia terima dari nomor misterius. Ia mengiyakan apa yang Yogi katakan, jika memang pria yang berdiri di depannya tidak paham akan isi hatinya.
"Manda, aku sungguh tak tahu. Aku tak merasa melakukannya," jelas Yogi memicu emosi Amanda semakin membuncah.
Amanda menggelengkan kepalanya. Perempuan itu sama sekali tak percaya dengan setiap untaian kata yang keluar dari bibir Yogi. Bagaimana ceritanya Yogi tidak merasa melakukan pergumulan panas itu. Sementara gambar yang Amanda terima jelas-jelas memperlihatkan jika kekasih hati begitu menikmati momen itu.
"You lie to me, Beb! Lalu ini apa? Kamu merasa ngefly atau gimana?" tukas Manda dengan penuh penekanan. Disusul dengan tatapan nyalang ke arah Yogi, sekalipun netra beningnya masih terlihat berkaca-kaca.
"Beb, sumpah aku tidak menikmatinya! Aku dijeb—" Yogi menggantung ucapannya seiring Manda kembali membuat jarak dengannya.
"Kamu mau bilang kalau kamu dijebak. Pertanyaannya kalaupun dijebak, kenapa harus tempatnya di rumah kamu sendiri?" pekik Manda.
Rasa kecewa yang lebih mendominasi jiwanya, membuat Amanda tampaknya enggan memberi Yogi kesempatan untuk berbicara, sekalipun hanya sepatah dua patah kata. Ia hanya membiarkan Yogi menatap polos netranya yang sedari tadi terasa berembun.
"Sorry, I have to go. Aku perlu waktu untuk memikirkan tentang kita."
Selepas menuntaskan ucapannya, dara berwajah oval itu melanjutkan langkah kakinya yang sempat terjeda. Kembali membentangkan jarak antara dirinya dengan lelaki yang menempati ruang hatinya selama tiga tahun ini. Mengabaikan seruan Yogi yang memintanya untuk kembali.
Sementara itu, di sudut kota yang sama, terlihat Affandi tengah menyandarkan tubuhnya pada tembok ruang perawatan Aninda. Ia yang sedianya hendak masuk ke dalam ruang rawat Aninda, harus menjeda langkahnya kala indera pendengarannya menangkap suara Sang Mama tengah berbincang serius.
"Makasih ya, Jeng. Sudah menyempatkan diri menengokku di sini. Nanti begitu kondisi kesehatanku membaik, baiknya kita segera pertemukan saja mereka yah."
Rangkaian kata yang terucap dari bibir Aninda sukses membuatnya berpikir keras. Siapa yang akan mamanya pertemukan? Lalu hal apa yang Ninda janjikan, membuat Fandi mengerutkan dahinya.
"Sebenarnya mama ada janji apa dan dengan siapa sih? Kok sepertinya rona mukanya begitu bahagia?" gumam Affandi.
Daripada dilingkupi rasa penasaran, Derry mencoba menempelkan telinganya pada tembok ruang rawat mamanya. Demi mendengar sepatah dua kata dari belahan merah kembar Aninda.
Akan tetapi, sepertinya semesta memang sedang tidak merestui kehendak Derry yang bertingkah layaknya spy. Pasalnya, belum sampai tujuannya terpenuhi, pembicaraan dua wanita lewat paruh baya itu seketika terhenti.
Terdengar suara seperti seseorang tertabrak sesuatu.
"Ma-maaf saya gak se—" perempuan itu menghentikan ucapannya ketika netra beningnya melihat sosok Affandi berdiri di depannya.
"Mas Affandi…." panggil perempuan yang sering disapa dengan Kinan.
"Iya. Lain kali hati-hati. Aku masuk dulu," ucap Affandi seraya terburu melangkah ke dalam ruang perawatan mamanya. Lelaki yang memilih menjadi staf biasa di rumah sakit ini tidak ingin jika insiden kecil ini membuka romansa masa lalu yang tak ingin ia ulang.
Rupanya, sewaktu Affandi tengah asyik berkonsentrasi mendengarkan pembicaraan Aninda, dari arah berlawanan berjalanlah Kinan. Perempuan itu tampaknya kehilangan konsentrasi, sehingga tidak sengaja menabrak Affandi. Lantas mendorong tubuh kekar Affandi hingga menabrak rak berisikan benda dan peralatan pertolongan P3K.
Affandi membuka pintu ruang perawatan Aninda. Lalu sejenak menyapu pandangannya pada bilik yang berukuran lebih sempit daripada kamar mewahnya.
"Nah, ini lho, Jeng. Anak laki-laki yang aku ceritain tadi," ucap Aninda memperkenalkan Affandi pada teman lamanya. Membuat Affandi sejenak melipat dahinya. Bertanya dalam hati maksud Aninda mengenalkan dirinya dengan sahabat karib ibunda tercinta.
"Jangan-jangan aku mau dijodohkan. Ah tapi sepertinya mama bukan tipe ibu yang modelnya suka masangin orang," gumam Fandi dalam hati.
"Mas Affandi, tante pamit pulang dahulu yah. Jaga Bu Aninda," pamit wanita berkacamata silinder itu. Membuyarkan pikiran Fandi yang tengah melayang ke negeri antah berantah.
Lain halnya dengan Sang Ibunda yang habis bertemu dengan pemuda berwajah tampan, dengan langkah gontai Amanda berjalan masuk ke rumahnya.
Tidak seperti biasanya, riak kecilnya dengan Yogi tadi membuat Manda kehilangan selera makan. Jangankan menyantap makanan, melirik apa yang ada di dalam tudung saji rasanya enggan.
Amanda pun memilih berjalan menuju spot favoritnya. Tentu saja, kali ini ia melangkahkan kakinya menuju ke kanarnya. Rasa lelah yang mengajar jiwanya dan hatinya yang tidak baik-baik saja, menggiring Manda untuk melepaskan penatnya.
Akan tetapi, baru saja Manda hendak menerjunkan abaimananya, suara seorang wanita yang begitu familiar di telinga Amanda, kembali membangunkannya.
"Manda, mama pulang, Nak," panggil Fida dengan nada bicara yang ceria.
Amanda menghela nafasnya panjang. Belum tuntas juga ia menyalurkan kekesalannya, Sang Ibu mendistraksinya. Memaksa Amanda bangkit dari posisinya saat ini. Lalu menghapus air mata yang sejak tadi mengalir deras dalam pipinya.
"Okay. Please be strong, Manda. Cekcok begini tuh biasa aja. Gak usah baper amat," monolog Amanda dalam hati mensugesti dirinya sendiri.
"Amanda," panggil Fida sekali lagi. Kali ini wanita itu mengetuk pintu kamar putrinya.
"Mama tunggu di ruang keluarga ya, Nak. Mama ada sesuatu buat kamu," pinta Fida lembut dari dalam luar kamar. Mendistraksi konsentrasi Amanda yang tengah berusaha terlihat baik-baik saja.
"Iya, Ma. Ada apa? Kayaknya mama lagi ceria banget deh," sahut Manda dengan tersenyum palsu. Senyum yang bisa dijadikannya alibi, demi menyelamatkannya dari pertanyaan mamanya.
"Iya dong, Nak," balas Fida seraya menunjuk kursi kosong di sampingnya. Meminta Amanda untuk duduk di sebelahnya.
Amanda pun menurut saja. Ia letakkan abaimana di atas bangku berpermukaan lembut. Tak lupa wajah cerianya yang sedari tadi ia tekuk kini ia usahakan terbit lagi. Ia tidak ingin Fida melihat kesedihannya. Terlebih jika mendung di wajahnya disebabkan oleh Yogi.
"It's big no." monolog Amanda.
"Ada apa, Ma? Kayaknya mama ceria banget deh."
Fida pun menjawab pertanyaan basa basi Amanda dengan wajah berbinar. Wanita yang
telah melahirkan Amanda seperempat abad yang lalu pun membisikkan sesuatu yang membuat Amanda sedikit terkejut.