"Lah, kenapa juga sih aku menatap bapak penunggu bu Ninda? Remember Faza Amanda, kamu udah punya Yogi," ucap Manda dalam hati. Membentengi diri agar hati dan pikirannya tak terpesona pada lelaki yang kini berdiri di depannya.
"Ah, kenapa kedua mataku ini merasa enggan untuk berhenti menatapnya? Apakah aku jatuh cinta? Oh please, Fandi bangun dari mimpimu."
Semesta seakan menghendaki dua insan yang sama-sama punya pasangan itu bertemu kembali. Kedua ekor mata mereka saling bertaut. Hingga sejenak melayangkan Waktu pun terasa berjalan begitu lambat. Hingga akhirnya suara deheman milik Afandi mulai unjuk gigi. Membuyarkan lamunan keduanya. Dan juga menghentikan aksi saling pandang diantara dua anak manusia itu..
“Ma-maaf, Pak. Saya pamit dulu ya, Pak.” pamit Amanda seraya memalingkan wajahnya yang mulai dihiasi blush on alami.
“E-e… Iya. Saya juga harus segera kembali ke ruang perawatan ibu saya. Hati-hati ya, Mbak,” ucap Afandi seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana panjang.
Aneh. Ini benar-benar aneh. Kenapa juga ya, setelah pertemuan itu, Amanda merasakan hatinya berdesir aneh. Jujur, gadis itu tak mampu menerjemahkan semua yang ia rasakan di dalam hati. Namun, yang jelas jantungnya seperti melompat kala sepasang netra beningnya bersemuka dengan tatapan manik hazel milik Fandi.
“Apakah aku jatuh cinta? Ah, masa aku jatuh cinta lagi. Bukankah tiada cela Yogi di dalam mataku?” gumam Manda sembari menunggu kedatangan seorang lelaki yang ia sebut kekasih.
Jika tadi di lift hati Amanda berdesir karena pertemuan yang bikin kikuk, kini suasana hatinya berubah. Pasalnya, sudah lima belas menit lamanya ia menunggu Yogi. Namun yang ditunggu belum juga menampakkan batang hidungnya.
Lima menit, sepuluh menit berlalu. Namun sepertinya tiada kejelasan dari Yogi. Apakah ia bisa menjemput perempuan yang ia cintai atau tidak.
"Tuhan, sebenarnya apa yang terjadi dengan Yogi?" tanya Manda di dalam hati.
Perlahan, keresahan mulai melingkupi hati Amanda. Entah sudah berapa kali ia melihat gawainya, lalu ia memasukkan kembali ke tas ranselnya. Tak jarang juga ia bergerak maju, berjalan ke arah jalan raya. Bermaksud menengok kalau-kalau Yogi sudah hampir sampai.
Tak ingin berada lebih lama dalam ketidakpastian, Amanda meraih benda pipih berwarna hitam miliknya. Ia biarkan jarinya menari indah di atas papan keyboard.
["Beb, gimana? Aku sudah menunggu kamu di lobby sejak 20 menit yang lalu. Hehehe."] Amanda mengetikkan beberapa kata hingga membentuk kalimat yang bermakna. Tak lupa ia menyisipkan emoticon senyum dalam pesan singkat aplikasi berwarna hijau itu.
Sementara itu, masih di sudut kota yang sama, seorang pemuda baru terbangun dari tidurnya. Sudah menjadi kebiasaannya kala bangun dari tidur pasti menggeliat.
Akan tetapi, baru saja ia hendak memutar badannya ke kanan, radar indera penglihatannya menangkap sesosok perempuan tengah berada di sampingnya. Yogi pun semakin heran kala menyadari raganya hanya berbalut selimut tebal. Nyaris tanpa busana.
"Tu-tunggu. Siapa kamu? Bagaimana kamu bisa masuk ke dalam kamarku?" Yogi melayangkan pandangan tajam sekaligus bingung ke arah perempuan yang hanya berbalut handuk.
"Tenang dulu dong, Beb. Aku bisa masuk ke dalam kamarmu yang rapi ini atas izin dari ibunda kamu," ucap dara bertubuh sintal ini seraya tersenyum. Tak lupa, ia sengaja mendekatkan paha mulusnya di samping Yogi.
Rangkaian kata yang baru saja terucap dari bibir wanita bertubuh bak gitar spanyol itu sontak membuat Yogi mengernyitkan dahi. Rasa-rasanya tak mungkin sosok wanita lewat paruh baya yang begitu ia hormati, tega-teganya menghadirkan seorang perempuan sewaan.
“Aku tahu, sebenarnya kamu butuh menyalurkan hasrat kelaki-lakian ‘kan? Hanya saja karena pacarmu itu terlalu lurus, jadi hambatan." Perempuan itu tersenyum menyeringai.
"Jangan khawatir, aku di sini untuk mengobati dahagamu itu."
"Pergi kamu dari sini! Aku gak butuh kamu!" serta merta Yogi mendorong kuat-kuat wanita panggilan itu.
"Jangan kasar gitu dong, Beb. Kalau aku habis ini hamil anak kamu gimana hayo?" goda Felya seraya berusaha mempertahankan posisinya. Sekalipun dorongan Yogi begitu kuat.
Yogi membuang nafasnya kasar. Deru kala ia berespirasi pun begitu terdengar jelas. Darah di dalam tubuhnya seakan mendidih. Dan air muka yang biasanya tenang kini semakin terlihat murka.
"Aku gak yakin kalau kamu hamil anakku. Karena bisa saja 'kan kamu mengandung anak pria lain. Walaupun akhirnya kamu hamil, itu tak akan lagi menjadi urusanku,karena aku tak menginginkanmu." tukas Yogi seraya memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai. Lalu memakainya.
Tangannya yang kekar dengan cepat menyambar kunci kontak, gawai dan waistbag berwarna hitam. Ia mengambil langkah lebar menuju ke garasi. Mengeluarkan mobilnya lalu cabut ke tempat tujuan.
Memang sikap yang baru saja Yogi tunjukkan terkesan egois. Namun, wajar saja jika ia bersikap seperti itu. Toh perempuan yang disewa ibunya memang wanita panggilan.
Jalanan di kota metropolitan saat itu memang agak lengang. Memungkinkan Yogi memacu kuda besinya dengan kecepatan tinggi, bak pembalap profesional. Ia tak memedulikan protes orang-orang yang menilai cara mengemudinya ugal-ugalan. Karena yang ada dalam benak Yogi saat ini hanyalah menjemput Amanda yang sudah terlalu lama menunggu.
"Semoga Amanda tidak berpikir macam-macam. Sungguh, ini di luar kendaliku." gumam Yogi seraya mengendalikan laju kendaraan tunggangannya.
Setelah menempuh perjalanan sepuluh menit lamanya, akhirnya Yogi tiba di lokasi kerja kekasihnya. Tanpa ragu-ragu, ia mengarahkan kuda besinya menuju ke lobby. Akan tetapi, kala ia sudah memasuki lobby, radar netra elangnya belum juga mendapati sosok perempuan yang ia cintai.
“Ke mana perginya Manda ya?” Yogi menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
Lelaki yang telah menjadi pacar Amanda selama tiga tahun ini kebingungan mencari kekasihnya. Pasalnya, kemanapun Manda pergi, biasanya memberinya kabar. Tapi, hari ini Manda begitu berbeda.
“Beb, kamu ada di mana? Aku sudah sampai di lobby nih.” tangan kekar Yogi mengetikkan serangkaian kata ke nomor ponsel Manda, lalu mengklik tombol Send.
Satu menit, dua menit bahkan sepuluh menit Manda belum juga merespons pesan singkat kekasihnya. Meskipun begitu, ia tetap setia menunggu Amanda. Sebagaimana Manda tadi menunggunya.
KLUNTING…
Gawai berwarna hitam legam milik Yogi menunjukkan pesonanya. Membuat Yogi segera mengulurkan tangannya, meraih benda pipih multi manfaat itu.
“Oh, dari Manda. Akhirnya kamu berkirim kabar juga, Beb,” gumamnya seraya menggerakkan kursor handphonenya. Senyum pun terkembang di bibir Yogi.
[“Maaf ya, Beb. Aku pulang duluan. Aku udah menunggu kamu cukup lama, tapi kamu gak kunjung memberi kabar.”] tulis Manda dalam pesan singkatnya.
Setelah membaca barisan huruf nan bermakna itu, Yogi memasukkan lagi gawainya. Lalu melanjutkan perjalanan ke arah rumah Amanda. Yah, siapa tahu saja ‘kan, dalam perjalanan nanti, ia beruntung masih bisa bertemu dengan kekasih yang ia pacari tiga tahun terakhir ini.
Sementara Yogi berjalan menuju ke rumah Manda, Manda memutuskan beristirahat di taman kota dahulu. Yah, gadis itu ingin menuntaskan membuang air matanya. Ia tak ingin mamanya tertawa kala mengetahui putrinya mengalami masalah dengan Yogi.
“Kamu sungguh tega, Beb,” ucap Manda di sela tangisnya.