Pertemuan Penting Tak Terduga

1029 Kata
"Astaga mama," seru Affandi kala sepasang netra coklatnya melihat cairan ringer laktat yang tergantung, habis tidak bersisa. Panik. Pemuda itu spontan mengambil langkah lebar ke arah brankar di mana Aninda berbaring. Lalu ia ulurkan tangan kekarnya untuk memencet tombol nurse call. Meminta agar salah satu paramedis mematikan infus yang melilit di tangan berurat Aninda. Sudah dua menit lamanya sejak Affandi menekan tombol bersimbol darurat itu, namun belum ada satu perawatpun yang menanggapi panggilannya. Membuat Affandi kembali menekan tombol nurse call itu untuk kedua kalinya. Akan tetapi, lagi-lagi Affandi harus menelan pil kekecewaan. Kepanikan yang sempat mereda, kini kembali muncul ke permukaan. Menggiring Affandi memutar badannya, bersegera menuju ke counter perawat. Bagai pucuk dicinta ulam pun tiba, tepat pada saat putra sulung dari Aninda ini menekan handle pintu, dari arah luar kamar berdiri sesosok tenaga medis berhijab. Bermaksud untuk masuk ke ruang perawatan Aninda. "Permisi, Pak," ucap Amanda berjalan masuk ke kamar. Melihat Amanda berdiri lalu berjalan di depannya seraya menundukkan kepala, hawa panas yang mulanya bercokol di ubun-ubun seketika lenyap. Tergantikan dengan ketentraman ketika ia melihat betapa terampilnya Amanda mengatasi insiden kecil ini. "Saya tinggal sebentar mengambil larutan infus ya, Pak. Untuk infusnya sudah saya matikan," tutur Manda pada Affandi. Sebelum ia melanjutkan langkahnya menuju ke counter perawat. Tak perlu menunggu waktu yang lama, Amanda kembali masuk ke kamar Aninda. Kali ini ia membawa serta satu set first aid kit. "Sebentar ya, Bu. Saya cek terlebih dahulu kondisi infusnya. Semisal bisa diperbaiki berarti tidak perlu diganti. Tetapi kalau masih rembes, harus diganti jarumnya," terang Amanda seraya mengangkat salah satu pergelangan tangan pasien sekaligus pemilik rumah sakit cukup ternama ini. Dengan hati-hati, Amanda mengamati salah satu punggung tangan Aninda. Lalu dara itu mengurangi daya rekat plester di tangan pasien spesial itu menggunakan alcohol swab. "Bu, nanti ditahan sebentar ya kalau kerasa agak sakit. Soalnya plesternya kuat banget nempelnya," pesan Amanda seraya perlahan-lahan melepas seal tape medis di pergelangan hasta perempuan kesayangan Affandi. "Wah, ternyata nih cewek keren. Dia bisa tetap bersikap tenang sekalipun kondisi lagi genting. Cara dia tetap membuat mama tenang juga perlu diacungi jempol." puji Affandi dalam hati, seraya tetap memperhatikan Amanda. "Pantas saja mama tampak begitu nyaman dengan perawat satu ini," gumamnya dengan fokus penglihatan yang tidak berubah. "Ah, sepertinya aku perlu membisiki mama untuk kasih reward kepada tenaga medis seperti dia," celetuk Affandi. Spontan. Ide sederhana itu tercetus dalam benak Affandi. Memang, dia belum dimasukkan dalam jajaran petinggi di rumah sakit milik keluarganya. Hanya saja, jiwa ownership muncul ketika melihat treatment Amanda kepada pasien. Siapa tahu, dengan memberi reward, maka segenap pekerja akan bersikap loyal. Gayung bersambut. Suara lirih Affandi rupanya mampu ditangkap indera pendengaran Aninda. Sontak, wanita yang menempati hati Affandi itu mengembangkan senyum. Tak lupa anggukan kepalanya yang menandakan ia mengiyakan pinta Affandi. "Saya permisi dulu, Pak, Buk. Kebetulan ada bel dari kamar rawat lain," pamit Amanda yang tidak mau terlibat pembicaraan dengan Aninda dan juga Affandi. "Tunggu dulu, Nak. Kamu gak pamitan dulu sama mama?" tahan Fida agar Manda menunda langkah kakinya keluar dari ruang perawatan. Sekaligus mengenalkan Amanda sebagai putrinya yang akan dijodohkan dengan Affandi. Demi mendengar sebuah kata yang meluncur bebas dari bibir Fida, spontan baik Aninda ataupun Fandi menoleh ke arah sumber suara. Setengah mengernyitkan dahi, benarkah apa yang Fida katakan. "Maaf Tante. Ini benar putri tante Fida?" tanya Fandi seraya mengarahkan jari telunjuknya pada Manda yang masih setia dengan posisinya saat ini. "Benar begitu, Fid? Kok kamu gak pernah bilang ke aku?" selidik setengah protes Aninda kepada Fida. "Iya, betul. Amanda ini putri tante." Fida menggandeng erat tangan Amanda. Baik Aninda ataupun Fida sama-sama tersenyum manis. Sahabat sedari SMA itu sama-sama mengembangkan senyum. Aninda yang bahagia karena dipertemukan dengan calon mantu sebaik Amanda. Sedangkan Fid begitu senang karena sebentar lagi mimpinya akan segera terwujud. Tepat pada saat Aninda hendak meraih tangan Amanda, terdengar suara bel nurse call dari kamar lain. Sontak, membuat Amanda bersiap melangkahkan kakinya keluar dari bilik privasi Aninda. "Mohon maaf, Pak, Bu, Ma. Sepertinya saya harus undur diri dulu. Ada pasien lain yang tengah memerlukan bantuan," pamit Amanda. "Oke, Nak. Nanti kalau sudah selesai tolong ke sini lagi ya," pinta Fida "Iya," lirih Amanda seraya menggerakkan pucuk kepalanya ke bawah. Lalu gegas mengayunkan langkah kakinya yang sempat tertunda. Lain halnya dengan Amanda yang begitu sibuk keluar masuk ruangan pasien lain, mengulurkan sedikit tenaganya. Lalu berpacu dengan waktu demi menyelesaikan administrasi bangsal sebelum ia pulang. Hal sebaliknya justru dilakukan Affandi. Pemuda berhobi utak atik otomotif di sela kesibukannya, memilih meninggalkan dua perempuan lewat paruh baya yang tengah asyik membicarakan sosok dara berwajah teduh pemilik nama Faza Amanda ini. Baginya, lebih asyik berdiam diri di atas sofa. Ia melayangkan pandangannya ke halaman depan teras ruang perawatan Sang Ibunda. Sambil sesekali menghirup vapor, setelah sekian purnama hanya teronggok di dalam saku celana panjangnya. Terus memikirkan benarkah Amanda lah yang akan dipilih ibunya. "Benarkah perempuan tadi yang mama maksud? Bukannya dia sudah mempunyai gandengan?" tanya Affandi dalam hati. Sejenak, lobus frontal Affandi memintanya mengingat kembali momen pertemuan dengan Amanda. Ia masih ingat betul ketika Amanda menyelamatkan nyawa Aninda. "Ah gadis itu. Pantas aja mama kesengsem sama dia. Tapi emang baik sih orangnya," lagi, Affandi memuji Amanda. Sekalipun sejatinya ia tidak ingin memuji perempuan itu. "Fand," panggil Aninda dari dalam kamar. Membuat Derry tanpa pikir panjang langsung beranjak dari sofa. "Iya, Ma. Gimana?" tanya Derry seraya berjalan mendekati brankar tempat Aninda berbaring. Aninda tertawa kecil melihat wajah panik Affandi. Mungkin di pikiran putranya, ia memanggil karena ada sesuatu yang urgent. "Gak apa-apa. Mama mau ngomong sama kamu. Mumpung masih ada tante Fida dan Amanda." Tak ayal, rangkaian kata yang keluar dari bibir Aninda seketika membuat Affandi dan Amanda sama-sama mengernyitkan dahi sekaligus terkejut. Dua anak adam itu diam seribu bahasa. Begitu khusyuk dengan pikirannya masing-masing. "Jadi begini. Dulu mama dan tante Fida pernah berjanji untuk menjodohkan kalian. Yah, agar hubungan kami berdua semakin erat. Mama pikir sekarang lah saat yang tepat." sejenak, Aninda menjeda perkataannya. Ia menghela nafas sebentar lalu melanjutkan bicaranya. "Mama harap kalian berdua mau memenuhi keinginan kami sebagai orang tua kalian," tukas Aninda seraya menatap dalam wajah dua anak muda yang kini berdiri di depannya. Bingung. Terkejut.Sungguh, pertemuan penting yang tak terduga ini membuat Amanda diam seribu bahasa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN