"Ma, bukan maksud Amanda membantah perintah mama. Hanya saja, tolong ingat dengan waktu, Ma." elak Manda yang tidak terima dengan tuduhan mamanya.
"Amanda percaya semua omongan mama tuh pasti begitu penting. Tetapi, gak juga harus disampaikan malam ini, Ma." imbuh Amanda, sesaat sebelum ia menghela nafas panjang. Lalu memberi jeda untuknya berbicara.
"Lagian mama 'kan masih dalam tahap pemulihan. Harus lebih banyak ist—" Amanda tidak lagi melanjutkan kata-katanya. Seiring Afida yang menyahut cepat. Seenaknya memotong rangkaian kata yang sedianya akan Manda lisankan.
"Iya, mama paham. Tapi mama ingin berbicara sekarang juga. It's about hubunganmu dengan nak Affandi," tukas Afida yang membuat Amanda memutar malas bola matanya. Merasa jenuh dengan tingkah laku ibunya.
Amanda mencebik kasar. Ia tidak paham akan pikiran ibunya. Pasalnya, untuk kesekian kali, perempuan yang hingga kini tidak tahu masakan favorit Amanda, ingin membicarakan soal pernikahannya dengan Afida. Padahal sedari dulu ia menegaskan tidak akan menerima perjodohan yang begitu ia benci ini.
"Apalagi yang mesti dibicarakan lagi sih, Ma. 'Kan semuanya sudah jelas kalau memang Amanda maunya menikah dengan mas Yogi. Dan mas Affandi pun juga pasti sudah punya perempuan pilihan sendiri." Amanda memberanikan diri untuk menyuarakan pendapatnya sendiri. Dan tentu saja menambahkan asumsinya tentang Affandi dalam pernyataannya. Amanda tidak tahu saja jika saat ini Affandi masih berusaha untuk menutup hati.
Mendengar uraian singkat Amanda namun ternyata cukup mengejutkan, dengan spontan Afida memukul keras meja tamu. Hingga menimbulkan suara bedegum yang cukup kencang. Membuat Amanda yang semula membiarkan jantungnya berdetak dengan sewajarnya, kini denyutnya meningkat tajam. Perempuan itu bukannya takut dengan suara meja yang digebrak oleh Afida. Namun, ia menjadi mengkhawatirkan kondisi mamanya yang bisa saja relaps sewaktu-waktu.
Tanpa ada maksud menggurui, Amanda meminta Afida untuk lebih tenang. Perempuan itu pun juga meminta maaf. Karena rangkaian kata yang terucap dari bibir manisnya menjadikan Fida murka. Bahkan saking murkanya, melampiaskan kemarahannya pada sebuah meja yang sama sekali tidak berdosa.
"Minum dulu ya, Ma," tutur Amanda seraya mengangsurkan gelas berisi air putih kepada Afida. Berharap segelas air putih itu mampu menenangkan hati Afida. Dan menghempas sedikit demi sedikit rasa amarah yang berkecamuk dalam d**a Afida.
Masih memasang wajah masam dan menahan perasaan dongkol yang masih saja berkecamuk di dalam d**a, Afida masih mau menerima uluran tangan Amanda. Menyadari perempuan muda yang kini duduk di sampingnya memang terkadang menyebalkan. Namun juga bisa meredakan amarahnya dalam satu waktu.
"Terima kasih, Nak." sebuah barisan kata yang menenangkan Amanda akhirnya keluar juga dari bibir Afida yang tidak lagi disentuh oleh merahnya gincu.
"Sama-sama, Ma. Sudah jauh lebih tenang sekarang 'kan?" tanya Amanda memastikan kondisi ibunya. Yang rupanya disambut dengan anggukan kepala Afida.
"Tapi mama masih ingin membicarakan soal itu, Manda. Karena yang mama lihat sekarang kamu sudah lebih akrab dengan nak Affandi. Mama pun juga paham Yogi sudah mulai jarang menghabiskan waktu denganmu."
Jantung Amanda serasa berhenti berdetak kala indera pendengarannya mendengar nama Yogi disebut-sebut. Waktu pun serasa berjalan begitu lambat kala , bahkan cenderung tidak bergerak sama sekali ketika dengan terang-terangan Fida membandingkan dua lelaki yang saat ini dekat dengannya. Lobus frontalnya pun begitu khusyuk mencerna kata demi kata yang lolos begitu saja dari lengkungan merah kembar Afida.
Perempuan itu memutuskan untuk membungkam mulutnya saja. Sekalipun ingin rasanya ia menyumpal mulut Sang Ibunda. Yang begitu sok mengetahui tentang jalinan hubungannya dengan Yogi ataupun Affandi.
Namun, ia harus menyeimbangkan hati dan logikanya. Perempuan itu rela menepis hasrat dirinya, daripada nanti celotehannya membuat heningnya malam ini harus terkotori dengan amukan Afida atau suara Afida yang bernada sekian oktaf. Dan tentu saja, ia kembali merasakan nadinya berdenyut melebihi batas wajar.
"Terima kasih, Ma sudah repot-repot memperhatikan interaksi kami. Hanya saja itu'kan hanya gambaran luarnya saja, Ma," sangkal Manda dengan hati-hati. Ia kini sibuk meremas-remas bajunya. Mencoba mengalihkan rasa khawatirnya.
Rupanya, rasa khawatir Amanda terbukti juga. Tak berselang lama setelah ia menuntaskan ucapannya, Afida mulai berbicara dengan intonasi sedikit lebih tinggi daripada biasanya. Dengan tatapan mata yang begitu tajam dan tutur bicara yang relatif pelan namun tegas, Afida mempertanyakan maksud dari pernyataan Amanda baru saja.
"Maksud kamu apa dengan gambaran luar saja? Apakah itu berarti kalian rela bermain drama di depan mama lalu tiba-tiba menghancurkan sebongkah harapan mama tentang kamu dan Affandi?" selidik Afida. Menuntut Amanda untuk tidak menjadikan interaksinya dengan Affandi hanya sekedar impian bagi Afida.
Amanda menghela panjang nafasnya. Ia menyesalkan mengapa ungkapan jujurnya harus terucap begitu saja, tanpa ia saring dahulu. Namun, ia juga tidak ingin Afida terlalu larut dalam harapan yang bisa saja menjadi sebuah ilusi.
"Ma, maafkan Amanda. Manda gak bermaksud seperti itu. Manda hanya tidak ingin memberikan mama sebongkah harapan, namun belum tentu mampu bisa mewujudkan," lirih Amanda seraya menatap iba ibunya.
"Semua itu bisa terwujud kalau kamu mengakhiri hubunganmu dengan Yogi, Manda. Buat apa kamu mempertahankan pria macam Yogi itu. Sudah pendapatannya gak menentu. Jarang meluangkan waktunya untukmu. Juga tidak pernah berbasa basi dengan mama. Entah itu sekedar berbasa basi menanyakan kondisi mama." cicit Afida yang kali ini membuat Amanda meradang.
Runtuh sudah pertahanan Amanda yang sekian waktu menjaga hatinya tetap adem. Sebenarnya ia tidak terlalu mengambil pusing jika Afida berpendapat dengan kekasih hatinya. Namun, kali ini indera pendengarannya mendengar dengan jelas bagaimana Afida terlalu menjelek-jelekkan pria pemilik nama Prayogi. Hatinya pun begitu sakit kala tahu ternyata Afida tidak pernah menghargai kebaikan Yogi terhadapnya. Dan membiarkan kemuliaan itu hanya berujung kesia-siaan.
"Semua ini tidak ada sia-sia jika kamu berani menghapus stigma mama tentang Yogi, Manda. So, it's show time." monolog Amanda, berusaha menguatkan hati untuk berkata blak-blakan dengan Sang Mama.
"Mau sampai kapan mama merendahkan mas Yogi? Dulu mama menjadikan pekerjaan mas Yogi sebagai alasan mama untuk tidak merestui hubungan kami. Sekarang, finansial mas Yogi mulai bergerak naik. Usahanya berjalan dengan lancar tanpa tidak meninggalkan pekerjaannya sebagai pengemudi transport lain," cerocos Amanda dengan nada bicara datar. Sekalipun jauh di dalam hati ada api kemarahan yang begitu besar.
"Tetapi apa yang mama lakukan? Menghargai usahanya sedikitpun tidak pernah!" lanjut Amanda seraya menggertakkan giginya. Mencoba mengalihkan emosinya yang rasa-rasanya bersiap meledak.
"Yang ada mama malah menekan mas Yogi untuk menjauhi Amanda. Padahal asal mama tahu saja, Manda bisa menjadi karyawan di rumah sakit milik tante Afida itu juga atas jasa mas Yogi, Ma. Seandainya mama menjadi seperti mas Yogi, bisakah mama bersikap santai seperti dia? Sekalipun jelas-jelas orang yang telah dibantu tidak pernah meng-"
"Cukup, Amanda! Berhenti membela Yogi dan memojokkan mama!" potong cepat Afida yang mulai terpancing emosi.