Hawa di malam yang dingin itu terasa semakin panas. Seiring perdebatan antara perempuan dua generasi itu semakin meruncing.
'Dia tidak pantas kamu perjuangkan, Manda! Hanya Affandi yang bisa membahagiakanmu, bukan Yogi!" tekan Afida yang semakin membuat Amanda emosi.
Amanda menggelengkan kepalanya. Tidak bisa menerima apa yang Fida utarakan. Ia berpendapat justru Yogi lah yang patut ia perjuangkan cintanya. Pria yang rela bekerja keras demi membahagiakan perempuannya.
"Maaf, Ma. Amanda gak membela mas Yogi. Tapi memang kenyataannya begitu. Dia yang membantu Manda bekerja di situ. Dia yang mau pontang panting menemui rekannya yang juga orang dalam, Ma," terang Amanda seraya menatap tajam ibunya.
Tidak cukup di situ, pada malam itu juga Manda meluruskan pandangan mamanya yang menuduh Yogi tidak ada waktu menjenguknya.
"Kalau tadi mama bilang cowok Amanda tidak pernah meluangkan waktu mengunjungi mama, yakin itu hanya karena keengganannya atau faktor like and dislike?" cerocos Amanda seraya tidak memalingkan wajahnya sedikitpun dari Sang Mama yang sejatinya sungguh ia hormati.
Amanda menghela nafasnya kasar. Rasa dongkol yang sejak dahulu ia tahan, kini sudah enggan terus-terusan mengendap di dasar hatinya.
"Please yang bener aja dong, Ma. Bagaimana orang itu mau datang ke kita, kalau kitanya menyambutnya dengan sindiran pedas atau muka masam. Seakan-akan kedatangannya tidak kita harapkan. Benar begitu 'kan, Ma?" tukas Amanda.
Perempuan itu melangkahkan kakinya menuju ke dapur. Menuangkan sedikit air putih ke dalam cangkir putih favoritnya. Lalu minum hingga tandas. Berharap mampu mendinginkan hatinya yang tersulut api kemarahan.
Afida terdiam seribu bahasa. Mendengarkan kata demi kata yang sekian waktu Amanda pendam, kini meluncur pelan namun lugas dari bibir natural Amanda.
Sepenuhnya wanita lewat paruh baya itu mengakui jika apa yang Manda ucapkan tentangnya memang benar tidak terbantahkan. Rupanya, apa yang selama ini Afida lakukan terhadap Yogi terekam dengan baik dalam ingatan Afida.
"Mengapa diam, Ma? Mama mau menyiapkan bantahan macam apa lagi? Manda gak melebih-lebihkan apa yang Manda lihat 'kan?" cecar Amanda yang tidak lagi mampu menguasai dirinya.
Sepertinya Amanda sudah tidak mampu menahan lagi segala kekecewaan yang selama ini ia pendam. Ia begitu menyesalkan perlakuan Fida terhadap kekasihnya yang jauh dari kata manusiawi. Sementara berbanding terbalik dengan sikap Afida kepada Affandi, yang belum tentu Fida ketahui.
Mendadak, keadaan menjadi hening. Tiada lagi suara ibu dan anak itu saling beradu argumen. Yang tertinggal hanya suara pendingin udara. Yang kadangkala diselingi suara serangga malam.
"Sudah malam, Ma. Manda harus segera tidur. Selamat bermimpi, Ma," pungkas Amanda mengakhiri obrolan yang terlampau serius.
Dara yang baru saja meluapkan semua rasanya, kini melangkahkan kakinya menuju ke bilik privasinya. Meninggalkan Afida yang masih menatap punggungnya dengan kesal. Yang baru kali ini berani terbuka soal perasaannya.
Berbeda dengan wajah Amanda malam tadi yang memperlihatkan urat ketegangan. Kali ini paras Faza Manda memperlihatkan betapa ayunya diri Amanda. Seperti hari-hari sebelum pertengkaran itu terjadi, kali ini Amanda masih menyempatkan diri segala hal yang Afida perlukan. Mulai dari hal yang remeh sampai sesuatu yang penting sekalipun, obat rutin Afida misalnya.
"Manda berangkat dahulu ya, Ma. Obatnya sudah Manda taruh di tempat biasa," pamit gadis itu segera setelah menuntaskan sarapan paginya bersama Sang Ibunda. Ia sedang tidak ingin mencemari cerahnya hari ini dengan perdebatan panjang lagi.
Afida mengangguk pasrah. Wanita lewat paruh baya itu melambaikan tangannya yang mulai berkeriput ke arah Amanda. Tidak lupa ia berpesan agar Amanda selalu hati-hati di jalan.
Jarak antara rumah dengan rumah sakit warisan Aninda tidaklah terlalu jauh. Memungkinkan Amanda untuk sampai di tempat kerjanya kurang dari 30 menit. Itupun kalau keadaan lalu lintas terpantau ramai lancar.
Pagi ini, sepertinya hari yang beruntung bagi Amanda. Jalanan yang biasanya membuat kepalanya pening karena di mana-mana ada simpang keruwetan, kini seperti jalan tol saja. Menuntun Amanda untuk tiba di tempat kerja lebih awal daripada biasanya.
"Wah, tumben nih jam segini jagoan injury time nyaris telat udah datang aja. Kesambet setan apa sih, Mand? Jadi rajin begini," sambut Ruli setibanya Amanda di counter perawat jaga bangsal.
"Kesambet setan yang sukanya menahan amarah, Li. Lagi malas berlama-lama di rumah," jawab Amanda seraya meletakkan tas ransel hitam kesayangannya. Lalu bergegas menempatkan diri di depan layar komputer. Menuntaskan pekerjaan administrasinya yang sempat tertunda.
Tidak ingin sahabat karibnya menginterogasinya dengan sejuta pertanyaan yang bisa saja membuatnya enggan menjawab, Amanda pun mencoba berbasa-basi. Menanyakan kondisi para pasien yang ada dalam bangsal yang dikenal fast response oleh sebagian penunggu pasien.
"Oh ya. Gimana kabar pasien kamar nomor tujuh? Udah mendingan belum?" tanya Amanda sembari tetap berfokus pada serangkaian data yang terpampang dalam monitor personal computer itu.
"Baik. Bahkan sekarang udah ganti yang baru kok penghuninya per kemarin sore," ujar Ruli sembari bersiap mengganti larutan infus biasa, seiring alarm nurse call di counter itu berdering.
Mendengar jawaban temannya, Amanda menanggapi dengan anggukan kepala. Tak lupa senyum manis itu tetap terkembang di bibir naturalnya. Entahlah, berita kepulangan pasien nomor tujuh seakan memberinya angin segar bagi Amanda. Mungkin karena satu ancaman yang akhir-akhir ini mengusiknya telah pergi.
Akan tetapi, selang beberapa waktu kemudian, gadis itu termenung. Ucapan Ruli yang mengatakan jika penghuni kamar kelas satu nomor tujuh pergi siang kemarin membuatnya ia mengernyitkan dahi. Bukankah penyanderaan yang ia alami kemarin juga terjadi berkisar sore hari. Memantik Manda berpikir jika pasien itu ada sangkut pautnya dengan percobaan penculikan terhadapnya.
"Ah, masa sih tante Lita berada di balik rangkaian teror ini? Kalau memang demikian, motif apa yang melatarbelakangi tante Lita berbuat jahat kepadaku?" tanya Amanda yang belum kunjung terjawab.
"Hayo! Nglamunin apa nih? Saking asyiknya ber-day dreaming sampai aku panggil beberapa kali gak kunjung direspon juga." tepukan di bahu sekaligus suara Ruli yang dekat dengan kesan cempreng, sontak menghentikan pikiran Amanda yang tengah melanglang buana ke antah berantah.
"Apa? Siapa juga yang melamun?" elak Manda yang mendorong Ruli untuk lebih getol menggodanya.
Lengkap dengan kerlingan mata yang menarik setan, tanpa berbasa basi dan yakin tebakannya tidak salah, Ruli menebak jika lamunan Manda tadi pastilah seputar tentang Affandi.
Namun sayang, tanggapan Manda yang hanya menggelengkan kepala membuat Ruli mengernyitkan dahi. Mengapa pria berparas tampan dan memiliki kekayaan yang melimpah ruah, nyatanya belum juga mampu ketetapan hati Amanda yang masih condong kepada Yogi.
"Astaga deh, Mand. Kamu tuh memang gak bisa menilai cowok atau gimana sih! Pria sebaik mas Affandi belum juga mampu membuatmu jatuh cinta? Kurang apa lagi dia?" protes Ruli yang setengah sewot mengetahui jika sahabatnya masih begitu mencintai Yogi.
"Yah, memang aku lagi dekat dengan Fandi. Cuma entah mengapa hingga sekarang dia belum mampu mengambil hatiku sebaik Yogi," tandas Amanda yang kini membuat Ruli membulatkan sempurna sepasang bola matanya.
"Astaga, Yogi lagi. Dia tuh sekarang laki yang gak guna buat kamu, Mand! Coba deh kamu pikir, apa Yogi pernah datang kepadamu ketika kamu lagi kesusahan? Contoh real nya nih. Siapa coba yang bantu kamu kabur? Siapa pula yang menunggu tante Afida selama di rumah sakit?" tanya Ruli berapi-api. Tanpa tahu apa yang Fandi lakukan di tempat lain. Yang bisa saja menyalahi image yang selama ini dibangun di depan Amanda dan orang-orang terdekatnya.
"Tuhan, hamba mohon tunjukkan mereka siapa Yogi dan Affandi sebenarnya. Beri petunjuk jika penilaian mereka tentang Yogi salah!" pekik perih Manda dalam hati.