"Dari mana saja kamu, Mand? Pergi seharian tapi handphone off seharian. Benar-benar susah buat dihubungi," omel Fida setibanya Manda di rumah berlantai dua itu.
"Maaf, Tante. Kami pulang terlambat. Ada masalah yang harus segera kami selesaikan," sahut Affandi yang tiba-tiba menyusul Amanda masuk ke dalam rumah. Demi mengamankan sejenak Amanda dari amukan wanita yang berada di dalam rencana perjodohan random itu.
Mendengar suara bariton yang begitu familiar di telinganya, Afida pun melembutkan intonasi bicaranya. Kemarahan yang sejak tadi terasa sampai di ubun-ubun, mendadak menguap begitu saja. Padahal cuaca pun tidak berubah dingin sedikitpun.
"Oh, ada nak Affandi. Mari silakan masuk, Nak. Maaf tadi tante sempat marah-marah. Yah, biasa orang tua." Afida beralasan. Memanfaatkan kekhawatiran semunya untuk menutupi kecurigaan pada Amanda.
Affandi mengiyakan permintaan sahabat karib mamanya hanya karena ingin menghargai niat baik Afida.
"Oh, ya. Bagaimana kabarnya tante? Sudah benar-benar sehat?" tanya Affandi sekedar berbasa basi seraya meletakkan abaimananya.
"Yah, beginilah tante. Sehatnya orang tua renta," jawab perempuan bersurai hitam dan putih seraya menyunggingkan senyum termanisnya.
Sementara Affandi bercakap-cakap dengan wanita yang merawat Amanda hingga menjelma menjadi seorang gadis cantik, perempuan yang ternyata Affandi kawal kini melangkahkan kakinya menuju ke dapur. Membuatkan segelas teh hangat untuk Affandi.
"Silakan diminum tehnya,Mas," ucap Amanda seraya mengangsurkan segelas minuman berwarna bersemu merah dan cokelat itu ke hadapan Affandi.
"Makasih ya mbak Amanda. Udah mau repot-repot membuatkan teh," tanggap Affandi ramah. Tak lupa seutas senyuman manis pun ia sunggingkan. Mengangkat level ketampanannya yang sebenarnya sudah di atas rata-rata.
Amanda menganggukkan kepalanya. Lalu bersiap meninggalkan ruang tamu sederhana itu. Memberi kesempatan Affandi dan ibunya untuk berbicara lebih banyak.
Namun, ketika Amanda akan berbalik arah, Afida mengulurkan tangan rentanya. Mencubit pinggang Amanda, sebagai kode Amanda untuk menahan langkah kakinya sejenak. Lalu bergabung dengan Affandi, si calon menantu idaman.
Amanda menghela nafasnya kasar. Ingin rasanya ia berteriak, memprotes atas apa yang Fida lakukan padanya. Lalu berlari meninggalkan ibu dan lelaki yang Afida gadang-gadang sebagai calon suami terbaik untuknya.
Namun, untuk memperkecil kemungkinan pertengkaran, Amanda akhirnya mengurungkan keinginannya. Wanita muda yang masih mengenakan jilbab ini rela mengenyahkan egonya untuk beradu pendapat dengan Sang Ibunda. Yah, paling tidak sampai Affandi melangkah keluar dari rumah sederhana itu.
Dengan hati berat sebelah, Amanda pun menuruti apa yang Afida mau. Meletakkan nampan di atas meja makan. Lantas berjalan mengikis jarak dengan deretan sofa berwarna coklat tua itu. Dan tentu saja, menyaksikan interaksi antara mamanya dengan pria penyelamatnya dari kasus penyanderaan yang ia alami.
"Haduh ya begini deh nasib punya mama yang semi matre. Ia bakal ramah dengan orang yang level finansialnya lebih tinggi namun akan bertingkah jutek setengah mati dengan orang sama levelnya," gerutu Amanda seraya memutar malas sepasang bola matanya. Seakan-akan sudah jengah dengan tingkah mamanya.
"Ma, maaf banget nih. Ini 'kan udah malam. Bagaimana kalau obrolannya dilanjutkan besok saja?" Amanda mencoba menginterupsi percakapan yang tampak hangat antara Affandi dengan Afida. Sementara jarum pendek di jam dinding sudah berada di titik angka sebelas.
Mendengar ujaran putri kesayngannya, Afida bukannya menghentikan pembicaraan, akan tetapi justru berkelakuan sebaliknya. Seakan-akan menganggap ucapan Amanda hanyalah sebatas rengekan anak kecil yang nantinya akan diam sendiri seiring berjalannya waktu.
"Tuh lihat wajah mas Affandi yang udah kelihatan capek banget ditambah pakai acara ngantuk segala. Apa mama gak kasihan?" tuntut Amanda yang mulai merecoki perbincangan wanita beruban separuh itu. Mengajak satu-satunya perempuan yang menjadi penyemangat hidupnya, agar lebih mengerti keadaan saat ini.
"Ya tapi tuh mata Affandi masih bening aja. Belum terlihat merah banget begitu," elak Afida yang kini mulai terang-terangan membantah rangkaian kata yang meluncur dari lengkungan kembar merah milik Amanda.
Sejenak, Amanda terdiam seribu bahasa. Kepalanya begitu pening kala menghadapi Afida yang terkadang bandelnya setengah mati. Persis seperti seorang anak kecil yang memang tidak mau dikasih pengertian. Dara berparas ayu itu kini terjebak dalam kebingungan. Bagaimana caranya membuat Sang Ibu menjeda obrolan. Lalu melanjutkan di lain waktu.
Akan tetapi, bukanlah Amanda jika akan menyerah begitu saja. Masih ada plan B,C,D dan seterusnya jika plan A tidak bisa berjalan dengan baik. Perempuan itu kini melayangkan pandangannya ke arah Affandi. Tak lupa ia kedipkan matanya pada Affandi. Meminta pria itu berinisiatif untuk undur diri.
Tampaknya, kali ini keberuntungan memang tengah berada di pihak Amanda. Seolah paham akan arti kerlingan mata Amanda padanya, salah satu anak adam yang cukup langka ini menuntut lobus frontalnya untuk bekerja keras mencari alasan untuk segera pulang. Tentu saja, semua itu Affandi lakukan seraya tetap mendengarkan kata demi kata yang meluncur bebas dari bibir Afida.
"Ehm, Fandi mohon maaf nih, Tante. Ternyata besok pagi Fandi mesti ke luar kota. Mau menemani teman mengunjungi proyek baru," tutur Affandi yang sukses membuat perempuan dua putri itu terdiam sejenak lalu ber-oh ria.
"Lagian sekarang 'kan sudah malam. 'Kan tante harus istirahat cukup, biar cepat pulih, Tant. Fandi pulang dulu ya, Tante," pamit pria berwajah tampan dengan gurat kelelahan yang jelas tercetak.
"Aku pulang dulu ya, Mand. Jaga diri dan tante Fida baik-baik yah." kini giliran Manda yang Fandi tatap. Sesaat sebelum pria pemilik perusahaan start-up undur diri lalu mengendari SUV-nya.
Selepas bayang Affandi tidak tampak lagi dari sepasang manik indahnya, Amanda pun berbalik arah. Lalu bersegera menutup pintu ruang tamu.
"Amanda tidur dahulu ya, Ma. Mama juga tidur yah," tutur Manda lembut seraya menggamit lengan ibunya. Berusaha tetap berlaku baik sekalipun masih ada rasa dongkol di dalam hatinya.
"Duduk, Manda! Mama ingin berbicara!" ketus Afida yang membuat Amanda terhenyak.
Apa? Ngobrol serius di malam yang sudah begitu larut ini? Amanda sibuk bertanya pada diri sendiri. Namun tak juga ia lisankan.
"Bicara apa sih, Ma? Dipending besok pagi bisa 'kan? Manda capek banget, Ma," cerocos Amanda mengharap penuh iba.
Akan tetapi, percuma saja Manda memasang wajah iba. Nyatanya, Sang Ibu tetap bersikukuh untuk membicarakan sesuatu di malam itu. Menafikan permintaan Amanda yang sejatinya begitu sederhana.
Mendengar celotehan Manda, bukannya mengendurkan niat Afida untuk membicarakan rencana pernikahan putrinya, akan tetapi justru membuatnya naik pitam. Dan tentu saja, mengkambing hitamkan Yogi yang tidak lain kekasih anaknya sendiri.
"Manda! Berani ya kamu melawan mama. Begini nih kalau kebanyakan gaul sama orang yang hidupnya di jalan. Gak tahu sopan santun!" ucap Fida dengan nada bicara sekian oktaf. Membuat Amanda terdiam seribu bahasa sekaligus mengepalkan tangannya.