Riak Kecil

1028 Kata
Kedatangan Affandi yang tiba-tiba justru membuat kemarahan Yogi semakin menjadi. Terlebih lobus frontal lelaki pencinta sepeda klasik ini begitu mengingat siapa sosok Affandi ini. "Gak usah ikut campur! Kamu datang ke sini untuk belain Amanda 'kan, hah?" Yogi mengangkat dagu Affandi lalu mendekatkan wajah kalem itu dengannya. Amanda memekik kala ia melihat Yogi berbuat kasar terhadap Affandi. Wanita berhijab itu pun mengikis jarak dengan Affandi dan juga Yogi. "Sudah, mas Yogi! Jangan seperti anak kecil kenapa!" lerai Amanda seraya menatap nanar kekasihnya. Yogi menurunkan hastanya yang sedari tadi mengangkat dagu Affandi. Lelaki itu terdiam seribu bahasa melihat sikap Manda yang menurutnya berbeda. Tidak pernah ia melihat Manda histeris seperti sekarang. "Kalem sedikit lah, Bro! Kedatanganku ke sini untuk membantu mbak Amanda ini mengatakan hal yang sejujurnya pada kamu," ucap Fandi masih dengan wajah dan intonasinya yang santai. Sama sekali tidak terpancing dengan ujaran Yogi. Affandi menghela nafasnya sejenak. Sebelum akhirnya melanjutkan barisan kata yang sejak tadi ia tahan. Lelaki eksekutif muda yang juga mempunyai usaha daily goods ini menerangkan jika malam itu ia ditelepon Aninda untuk mengunjungi rumah Afida. Melihat kondisi di rumah orang tua Amanda. "Aku sampai di lokasi rumah udah ludes terbakar. Dan aku melihat Amanda berlari ke arahku seraya berteriak minta tolong." terang Affandi membuat Yogi terdiam. "Perempuan ini—" lanjut Affandi seraya menepuk bahu Amanda yang mulai bergerak naik turun. "Memintaku untuk membawa tante Afida ke rumah sakit. Oke, masalah tante Afida beres. Tetapi, ternyata ada satu hal yang begitu mengganggu pikiran Amanda malam itu." Affandi mulai berbicara dengan intonasi tegas seraya memandangi wajah Amanda dan Yogi bergantian. "Aku melihat dia berulang kali menatap layar gawainya. Mungkin mbak Amanda menanti notifikasi pesan singkat atau panggilan suara dari kamu. Seperti itu kamu masih menuding dia mencurangimu, Bung?" kini Affandi terlihat begitu emosi, tidak rela jika Yogi menuding Amanda main belakang. Amanda menghadapkan wajahnya ke arah Affandi. Ia salut akan sikap Affandi yang ternyata tidak memanfaatkan keadaan untuk mendekatkan dirinya dengan Amanda. Affandi bukannya memancing di air yang keruh, namun justru berupaya mengurai benang yang kusut. "Next time, lebih rajin kroscek ya. Biar gak terjadi salah paham macam begini," pungkas Affandi sesaat sebelum ia meninggalkan pasangan sejoli itu. "Kamu kerja yang bener. Aku harus balik ke rumah sakit sekarang," pamit Affandi bersiap mengayunkan kaki kokohnya. "Mas Fandi. Tunggu! Ini kuncinya—" tahan Amanda seraya mengulurkan kunci mobil SUV kepada si pemilik. Jika sebelumnya Affandi memberi ruang kebebasan untuk Amanda mengambil keputusan atas tawarannya, kali ini ia mengambil sikap berbeda. Untuk pertama kalinya, Affandi menyetir Amanda untuk mengiyakan pintanya. "Kamu bawa aja dulu mobilnya. Masa iya berangkat nyetir mobil sendiri pulang naik taksi. Ayam bakal ketawa sambil koprol dong." Affandi meraih kontak mobil itu lalu sengaja menaruh di telapak tangan Amanda. Sementara Affandi dan Amanda masih meributkan hal kecil, Yogi terdiam melihat tingkah kekasih dan mungkin calon rivalnya. Interaksi hangat di antara keduanya membuat Yogi seketika insecure. Tiga tahun bersama Amanda, nyatanya ia belum bisa mengenali apa mau Amanda. Memang, Amanda tipe perempuan idamannya, yang senantiasa mendengarkan apa yang ia mau. Namun, sekalipun ia belum pernah memberi Amanda kesempatan untuk menentukan pilihan sendiri. "I will give you the space, Beb. Asal kamu tetap menjadi milikku." tekad Yogi dalam hati, seraya tetap menatap wajah Amanda yang masih khusyuk saling lempar kunci dengan Affandi. "Yaudah, oke. Aku menyerah. Tapi izinkan aku memberi minum mobil ini yah sebelum aku pulang," tukas Amanda mengakhiri perdebatan kecil dengan Affandi. "Alright, as you wish mbak Manda. Aku balik dulu yah," pamit Affandi sekali lagi sembari tersenyum. Amanda menganggukkan kepalanya. Perempuan itu juga menawarkan Yogi untuk ikut dengan Affandi. Yah, agar nama Yogi tidak begitu jelek di depan mata tante Afida. Selain juga tentunya untuk menjaga perasaan Yogi. "Aku masuk dulu yah, udah telat soalnya." Amanda memutuskan untuk meninggalkan dua lelaki yang akhir-akhir ini membuat jantungnya seperti roller coaster. "Hai, Amanda is coming," tutur Amanda setibanya di pos perawat jaga bangsal. Lalu segera menaruh backpacknya di loker. Seperti biasa, begitu sampai di ruang jaga perawat, Amanda menyalakan komputer. Membuka lembaran data yang harus diinput. "By the way ada tambahan pasien baru gak per malam tadi?" tanya Amanda seraya membuka berkas pasien yang memerlukan tindakan medis. "Ada dua noh. Tapi ada satu pasien yang rempongnya minta ampun. Mungkin karena saking gak tahan sama sakitnya jadi ya—" belum sampai Ruli menuntaskan ucapannya, alarm nurse call berdering. "Aku ke kamar ujung barat sana, yah," sela Manda yang praktis membuat Ruli menjeda obrolannya sementara waktu. "Selamat pagi, Ibu. Ada yang bisa dibantu?" tanya ramah Amanda setibanya ia di kamar nomor tujuh. Gadis berhijab itu memperhatikan infus yang tergantung. Diamatinya apakah cairan itu menetes atau tidak. Lalu berpindah pada selang bening yang membatasi gerak tangan pasien wanita lewat paruh baya itu. "Semuanya berjalan normal. Tidak ada masalah. Lalu ada apa ya ibu ini memencet tombol nurse call?" monolog Amanda seraya menengadahkan kepalanya ke arah kantong infus yang tergantung. "Saya mau wajah dan tangan saya kembali seperti dulu. Gara-gara saya membakar rumah Afida, nyawa saya ikut terancam," cerocos wanita itu yang belum juga menyadari jika tenaga kesehatan yang berada di dalam kamarnya adalah Amanda. Amanda berdiri terpaku. Ia berusaha mencerna setiap untaian kata yang meluncur dari pasien baru itu. Lobus frontalnya pun ia paksa untuk memberinya clue siapa sosok wanita itu. "Sepertinya telingaku sudah lumayan akrab dengan suara ini. Tapi siapa dan di mana ya?" Amanda belum menyerah juga untuk mengidentifikasi pasien wanita ini. Tampaknya semesta tidak ingin membiarkan Amanda berlama-lama berada di situ. Juga belum berkenan Amanda mengetahui sosok penghuni kamar nomor tujuh. Belum juga terjawab maksud pasien tadi memencet tombol nurse call, alarm nurse call kembali berdering. Membuat Amanda mau tidak mau meninggalkan kamar nomor tujuh itu. Lalu berjalan menuju ruangan yang menekan tombol bantuan perawat. "Inhale exhale, Manda. Masih pagi udah diajak ribut aja," Amanda menghembuskan kasar nafasnya lalu tangannya menekan engsel pintu ruang perawatan yang lain. "Selamat pagi, Bu. Ada yang bisa dibantu?" tanya ramah Amanda seperti biasanya. Tidak berbeda dengan apa yang ia lakukan barusan, Amanda memastikan tidak ada masalah dengan infus yang menghiasi punggung tangan wanita yang tampak seumuran dengannya. Namun, selang beberapa detik kemudian, Amanda sukses dibuat terhenyak akan rangkaian kata yang terucap dari bibir perempuan muda berambut pirang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN