"Mas Affandi, kamu beneran mau gantian menjaga ibu? Mas nanti kerjaannya bakal terbengkalai dong. Cuma gegara bantuin aku yang cuma remahan rengginang ini," ucap Amanda seraya menatap ragu Affandi.
Pria yang sudah semalam suntuk mendampingi Amanda hanya menganggukkan kepala seraya tersenyum manis. Dengan lembut, ia meminta Amanda untuk tetap bersikap tenang. Tak perlu mengkhawatirkannya.
Tanpa sepengetahuan Amanda, Affandi memang sosok yang disegani di kantornya. Jadi, urusan izin bekerja dari rumah, bukankah masalah besar baginya.
"Kamu berangkat kerja aja gak apa-apa, Mand. Kalau terjadi apa-apa sama tante, I will contact you as soon as possible." Affandi berusaha meyakinkan Amanda untuk tetap berangkat kerja.
Mungkin, saat ini waktu yang tepat bagi Affandi untuk membalas jasa Amanda. Jika dulu Manda begitu telaten merawat Aninda, maka sekarang gilirannya. Tetap berada di samping Afida seraya memperhatikan setiap detik kejadian. Ia tak ingin kehilangan momen emas ini begitu saja.
Setelah cukup banyak menghabiskan waktu hanya untuk menimbang-nimbang tawaran Affandi, akhirnya Amanda mengangguk pasrah. Ia pun tetap berangkat kerja. Menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai seorang tenaga kesehatan.
"Baiklah kalau begitu. Aku berangkat dulu ya. Kalau ada apa-apa sama mama, jangan sungkan menghubungiku." Amanda meraih gelas berisi air putih, meneguknya hingga tandas. Lalu segera bergegas meninggalkan ruang perawatan Afida.
"Iya, hati-hat—" pesan Affandi tak lagi utuh di kala sepasang manik cokelatnya melihat Amanda berbalik arah. Berjalan mengikis jarak dengan Affandi.
"Lho, ada apa lagi? Masih ragu dengan tawaranku atau bagaimana, Mand?" tanya Affandi begitu Amanda berdiri di dekatnya yang hanya berjarak beberapa sentimeter saja.
"Maaf, bukannya gitu. Aku lupa menaruh kunci mobilku. Perasaan semalam tadi udah aku simpan di anakan tas ini. Tapi kok gak ada." keluh Amanda.
Saking tidak ingin konsentrasinya terpecah, Amanda tidak sempat menatap Affandi yang masih saja memperhatikannya. Ia begitu khusyuk mengubek-ubek tasnya. Bahkan, saking seriusnya, Amanda sampai mengeluarkan seluruh isi tasnya. Menggiring Affandi untuk membulatkan sepasang manik indahnya.
Tingkah Amanda barusan tak ayal membuat Affandi geleng-geleng kepala. Apa yang Manda lakukan saat kebingungan, nyatanya berbanding terbalik dengannya. Yah, memang kalau mencari sesuatu ia pun akan khusyuk membedah isi tasnya. Namun, ada waktu yang harus ia relakan terbuang dengan percuma.
"Kamu lagi ngejar waktu 'kan? Nih pake mobilku saja." Affandi menyodorkan kunci mobil SUV mewahnya.
"Hah?" hanya ekspresi kebingungan yang bisa keluar dari bibir Amanda.
Untuk kedua kalinya, penawaran Affandi membuat Amanda dilanda dilema. Memang benar, dia tengah mengejar waktu agar tidak terlambat di kantor. Tapi bukan berarti ia harus mengendarai mobil yang bukan miliknya.
Akan tetapi, di sisi lain, Amanda tidak ingin mengecewakan Affandi. Jika dia menolak, maka sama saja ia tidak menghargai keberadaan Affandi.
"Iya. Nih kamu pakai aja, mbak Manda. Toh kalau kamu pesan kendaraan online perlu waktu yang tidak bisa dikatakan sebentar." bujuk Affandi. Membuat Amanda lagi-lagi mengiyakan penawaran Affandi.
"Oke. Terima kasih ya atas bantuannya. Duh, tapi jadi gak enak begini. Aku terlalu ngerepotin nih," tutur Amanda dengan menundukkan kepalanya.
"Never mind. Dah sana, berangkat. Kasihan pasiennya udah pada nungguin loh," tukas Affandi.
Setelah beberapa waktu sempat ragu dengan keputusannya, akhirnya Amanda berangkat ke kantor dengan mengemudi mobil Affandi.
"Wah, keknya ada yang habis dikasih fasilitas baru nih." suara bariton yang terdengar familiar, memaksa Amanda untuk menolehkan wajahnya ke arah sumber suara.
"Maksud mas Yogi apa? Kok ngomongnya begitu?" sahut Amanda seraya melipat dahinya. Tidak tahu-menahu arah pembicaraan Yogi.
"Bukankah mobil mewah yang terparkir di ujung barat itu menjadi bukti kalau kamu menyerah? Menggadaikan cinta yang katamu hanya untukku." Yogi mengacungkan jari telunjuknya ke arah SUV yang Manda kendarai.
"Astaga. Jadi gara-gara mobil itu mas menuduhku yang bukan-bukan? Menuduh berselingkuh gitu maksudnya atau gimana?" tanpa sadar Amanda berbicara dengan nada sekian oktaf. Hingga membuat beberapa pengunjung rumah sakit menoleh ke arahnya.
Heran dan terhenyak. Amanda menepuk dahinya. Puan primadona di tempat kerjanya itu tidak paham dengan jalan pikiran kekasih yang tiga tahun lebih tua darinya.
Tak pelak, pertengkaran yang sejatinya bisa diminimalisir, nyatanya terjadi juga. Membuat Amanda menjadi pusat perhatian sekaligus sasaran cemoohan dadakan.
"Asyik duduk berdua di kursi ruang tunggu RS sembari saling pandang satu sama lain. Mau memakai mobil yang bukan haknya itu apa belum bisa disebut selingkuh, Faza Amanda?" tukas Yogi yang kali ini sengaja menyebutkan nama lengkap Amanda. Tiada lagi kata bebeb, honi yang menghangatkan perbincangan mereka.
Sejenak, Amanda berdiri mematung. Lobus frontalnya yang biasanya bekerja dengan cepat, kini berkebalikan. Perlu waktu yang tidak sebentar untuk Amanda mencerna semua omongan Yogi barusan.
Amanda menghela nafasnya kasar. Seolah ia gusar dengan tuduhan Yogi padanya yang tidak logis. Logika Amanda pun tidak membenarkan hasil analisa Yogi.
"Astaga, Mas! Jadi kamu menuduh aku berselingkuh hanya karena itu tadi? Ampun deh!" Amanda kini berjalan mengikis jaraknya dengan Yogi. Tanpa ragu ia menatap dalam netra hazelnya. Seolah mempersilakan Yogi membaca manik Amanda yang tak berbohong padanya.
Inhale.
Exhale.
Amanda kini sibuk mengatur nafasnya yang mulai tidak beraturan. Seiring dugaan Yogi yang begitu melukai hatinya. Sekuat tenaga Amanda menahan buliran air mata yang mulai menggenangi pelupuk matanya. Agar tidak jatuh membasahi pipinya yang halus.
Amanda kini menegakkan posisi tubuhnya. Berusaha mensejajarkan kedudukannya dengan Yogi. Seraya memandang dengan tatapan menghunus Sang Kekasih.
"Oke. Bagaimana kalau tuduhanmu itu tidak terbukti? Apa yang akan kamu lakukan ketika kamu mengetahui hal sebenarnya tentang lelaki itu, Mas?"
"Asal mas tahu, dialah yang kerepotan membawa mama ke rumah sakit. Rumahku diserang orang yang tidak dikenal ketika aku masih dalam perjalanan pulang. Dan mama yang menjadi korban aksi kacau mereka!" pekik Amanda.
"Sementara mas, aku gak tahu apa yang kamu lakukan sepanjang malam itu. Dan mas gak ada inisiatif sama sekali untuk menghubungiku. Jangankan telepon, chat aja gak," imbuh Amanda dengan netra yang mulai terlihat berkaca-kaca. Seperti langit gelap yang bersiap menumpahkan tetesan air dari awan.
"Maaf mas, kali ini aku harus berkata jika kamu tidak ada untukku," tukas Amanda yang melambungkan emosi di hati Prayogi.
"Halah. Mana ada maling yang mengaku maling? Udah kepergok selingkuh masih aja tetap membela diri?" cibir Yogi namun dilawan oleh suara bariton pria berwajah tampan.
"Sayang sekali, perempuan berhijab ini memang sedang tak membela diri, Bung!" tegas Affandi yang membuat Amanda dan Yogi menolehkan wajahnya bersamaan ke arah sumber suara.
"Mas Affandi," lirih Manda namun tetap mempertahankan posisinya. Tak bergeser juga tidak memangkas jaraknya dengan Affandi.
"Kalem. Jangan biarkan api cemburu membakar cintamu, Brother!" spontan, Affandi menepuk-nepuk bahu Yogi.