Playing The Puzzle

1076 Kata
"Tolong ambilin minuman aku di situ. Aku haus banget, gak ada yang mau nunggu aku soalnya," titah pasien penghuni ruang perawatan nomor sembilan itu. Amanda mengangguk. Perempuan itu pun berinisiatif untuk memindahkan letak meja beroda itu. Memudahkan pasiennya untuk mengambil keperluan yang diletakkan di atas meja. Sementara Amanda tengah mendorong meja ke arah dekat brankar, puan berambut pirang itu bergumam, "ini semua gara-gara aku nurutin perintah tante Lita." "Coba aja kalau aku gak mengangkat telepon perempuan iblis itu, pasti gak bakal deh wajahku bakal rusak begini. Kulit mulusku gak akan kena luka bakar," imbuhnya sesaat sebelum ia menghela nafasnya. Lalu kembali melanjutkan katanya. "Anaknya susah diluluhin, ibunya banyak mau. Sampai-sampai mesti bakar rumah si tante Afida, mantan sahabatnya dulu," omel panjang dara itu meluapkan kekesalannya. Wanita itu berhenti berucap kala netranya melihat hasta kanan seorang perawat mengulurkan segelas air padanya. Ia mendongakkan kepalanya dan detik berikutnya ia duduk mematung. "Felya." suara lirih Manda ketika tahu penghuni kamar nomor 9 ialah rival cintanya. "Amanda," gumam Felya yang tidak kalah terkejutnya dengan Amanda. "Jadi kamu adalah—" Manda tidak meneruskan kata-katanya. Ia memilih bergegas pergi meninggalkan ruangan bercat putih itu yang mendadak terasa panas. Sekalipun suhu pendingin udara sudah diatur ke suhu terkecil dan terdingin. "Saya permisi dahulu ya, Bu. Mari," pamit Amanda tanpa menunggu persetujuan dari Felya. Amanda kini berjalan dengan langkah gontai menuju ke counter perawat. Rasa-rasanya kedua kakinya begitu lemas. Tubuhnya yang begitu mungil menjadi terasa berat untuk digerakkan. Selepas ia mendengar sendiri uraian panjang lebar yang tidak ingin diketahui meluncur tanpa rem dari bibir Felya. "Tahan tangismu, Mand. Ini lagi kerja. Ingat omongan Affandi kalau harus kerja yang bener." Amanda berbicara dengan dirinya sendiri. Berusaha menguatkan hati karena kenyataan pahit yang mengiris hatinya. Namun, sedetik kemudian Amanda tersadar, ada sesuatu yang sedikit berbeda dari monolognya. Mengapa justru perkataan Affandi yang terngiang dalam benaknya? Bukan Yogi yang membantunya masuk ke rumah sakit bergengsi ini? Jatuh cinta? Oh rasanya tidak mungkin kalau Amanda mudah menjatuhkan hatinya hanya karena kebersamaan sesaat. Apalagi ia mengklaim hanya Yogi yang mampu membuatnya jatuh cinta setiap hari. "Ah udahlah. Gak usah terlalu dipikirin. Sekarang fokus ke pekerjaan biar bisa cepat balik ke rumah sakit. Kasihan mas Affandi jadi gak bisa ngapa-ngapain karena jagain mama," putus Amanda masa bodoh dengan gumaman yang baru saja ia ucapkan. Setelah menyelesaikan semua pekerjaannya di hari itu, Amanda memberesi barang bawaannya lalu bersiap pulang. "Li, aku pulang duluan yah. Ada urusan penting." Amanda beralasan bohong, agar Ruli tidak memintanya untuk mengulur waktu pulang. "Titip dua pasien yang ada di ujung sana yah. Stok sabarnya ditambah," pamit Amanda seraya mengambil gelas berisi es teh lalu menenggaknya hingga tandas. Amanda melirik arloji sporty pemberian Yogi yang masih setia melingkar di pergelangan tangannya. Memastikan apakah ia masih bisa bertemu dengan dokter yang merawat ibunya. Pasalnya, biasanya dokter tampan nan ramah itu visite di ruang perawatan Afida berkisar pukul tiga sore. "Ah, aku harus cepat sampai di sana. Masa iya yang jagain mama mas Affandi lagi. Anak macam apa aku ini? Lebih mentingin pekerjaan daripada keluarga sendiri." monolog Amanda sembari melangkahkan kakinya menuju ke parkiran mobil. Waktu yang tanpa ampun berjalan sangat cepat memacu Amanda untuk mengambil langkah lebar menghampiri SUV mewah milik Affandi. Akan tetapi, di kala jarak Amanda dengan kuda besi itu tinggal setengah meter, sepasang bola mata coklatnya sukses dibuat melongo. "Jauhi Prayogi. Tinggalkan dia. Kecuali kalau kamu ingin membuat perhitungan denganku!" Bingung. Panik. Itulah yang saat ini Amanda rasakan. Dosa apa yang ia lakukan sehingga kemalangan belum jera juga menghampirinya. Secepat kilat, Amanda mengeluarkan tisu dari dalam tas ranselnya. Bermaksud untuk menghapus tulisan bernada teror yang sengaja ditulis di kaca depan kuda besi seven seater milik Affandi. Namun, belum juga Amanda memulai, secarik kertas yang sengaja diselipkan di antara wiper mobil berhasil mendistraksi perhatian Amanda. "Jangan sekali-kali menghapus tulisan itu! Atau kamu akan menerima akibatnya." begitulah inti dari rangkaian kata yang digoreskan di atas kertas putih itu. Amanda mendesis kesal. Mimpi apa dia semalam sampai-sampai sedari pagi tadi ada sesuatu yang membuat jantungnya berdetak bak roller coaster. Bermula dari keributan dengan Yogi di pagi hari, lalu mendengar sekelumit kenyataan pahit yang terucap dari lengkungan merah kembar Felya. Dan sekarang, tulisan bernada ancaman yang berhasil membuatnya bergidik ngeri. Sempat Manda terjebak dalam dilema. Lama perempuan berlesung pipit itu berdiri termenung di depan mobil mewah berwarna hitam menawan itu. Memikirkan sesuatu yang sebaiknya ia lakukan. Apakah ia pasrah begitu saja, menuruti barisan kata yang hingga sekarang tidak bertuan. Ataukah bersikap bodoh amat dengan ancaman yang belum tentu jadi kenyataan. Lagi, ia melirik arlojinya. Tinggal dua belas menit lagi waktu tersisa untuknya bertemu dengan dokter di layanan kesehatan sebelah. Sementara kaca depan penuh dengan tulisan bertinta merah seperti darah. "There's no time for me. Kalau gak diusap kacanya, gimana aku bisa mengendarai mobil ini? Ah terserahlah dia mau buat perhitungan kayak gimana." Amanda mengedikkan bahunya lalu mulai membersihkan noktah berwarna merah itu. Kali ini ia mempercepat gerakan tangannya. Seiring waktu yang bergerak begitu cepat. Yang bisa saja membunuh harapannya untuk berbicara dokter Afida. "Sial, dia sama sekali tidak takut. Ternyata besar juga nyali tuh cewek. Alright, nantikan kejutan dari bos besar, Nona Faza Amanda," gumam sesosok pria misterius yang berdiri jauh dari pandangan Amanda. Sengaja mengamati tindak tanduk Amanda. Selepas menuntaskan bersih-bersih dadakan, Amanda lekas melangkahkan kakinya ke dalam kabin mobil. Lalu secepat mungkin menekan tombol start engine. Seiring hasratnya yang ingin segera tiba di rumah sakit, semakin menggila. Mengetahui kondisi terkini Afida. Dan tentu saja, memastikan semuanya baik-baik saja. Skill yang sudah lama Manda pendam, kini ia munculkan kembali. Berpacu kecepatan dengan kendaraan lain yang searah dengannya. Mengemudi ala-ala pembalap, namun nyatanya tidak selihai racer kenamaan. Mencoba menaklukkan Sang Waktu yang seakan-akan memupus harapannya. Akan tetapi, lagi semesta berpihak kepada Amanda. Tidak biasanya, dokter tampan yang terkenal disiplin itu belum juga memulai visite-nya, dari kamar satu ke kamar yang lain. Agenda pagi hari di tempat lain ternyata menyita waktu Sang Dokter. Hingga menyebabkan keterlambatan kunjungannya ke RS itu. "Loh, mama kok makanannya belum dimakan?" ucap Amanda dengan nafas yang terengah-engah, setibanya ia di ruang perawatan Afida. "Dokter muda itu udah visite belum?" kini giliran Amanda melempar tanya pada Affandi. "Udah kamu istirahat dulu. Wawancaranya nanti aja kalau hembusan nafasmu udah teratur. Datang-datang kok nafasnya gak beraturan gitu. Kayak habis dikejar setan aja," cerocos sekaligus nasehat Affandi yang menatap iba Amanda. "Ya memang habis dikejar setan kok," celetuk Amanda yang sepertinya lelah bermain puzzle hari ini. "God, it's enough for me playing this puzzle," pekik Amanda dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN