"Selamat pagi, Ma," sapa Manda seiring ia menjejakkan kakinya di ruang makan.
"Pagi juga, Nak. Udah mulai masuk pagi lagi nih?" basa basi Fida seraya mengambilkan piring untuk putri tersayang.
Amanda menganggukkan kepalanya. Tak lupa senyum manis terkembang dari bibirnya.
"Iya, Ma. 'Kan kemarin sudah habis jaga malam. Sebenarnya sih hari ini Manda masih shift malam. Cuma tukeran aja sama Ruli," jelas Amanda seraya mencampur sereal coklat.
"Dia soalnya masih perjalanan pulang, Ma. Habis jenguk mamanya yang lagi dirawat di ICU. Ya Manda kasihan aja dia mesti tugas pagi, sementara badan capeknya setengah hidup," terang Amanda panjang lebar, sebelum ia diberondong segudang pertanyaan dari Fida.
"Loh, hari ini mama ada acara? Kok tumben pagi ini rapi banget. Biasanya 'kan masih pakai baju dinas." tanya Amanda, yang baru saja sadar jika penampilan Afida hari ini lebih rapi dari biasanya.
Tak ayal, pertanyaan putri sulungnya membuat Fida sedikit kebingungan. Bagaimana jika anak perempuan andalannya tidak berkenan dengan kunjungannya di rumah sakit tempat Amanda bekerja. Kebohongan macam bagaimana yang harus ia persembahkan pada gadis yang selalu berusaha membuatnya tersenyum.
"Ma," panggil Amanda dengan mulut yang masih penuh dengan menu sarapan favoritnya.
Ucapan singkat Manda nyatanya membuat Fida tergagap. Sekian menit ia memacu lobus frontalnya untuk berpikir, namun belum juga menemukan jawabannya yang pas.
"Mama mau jenguk teman ke rumah sakit, Nak," ucap Fida sesantai mungkin.
"Gimana? Manda mau anterin mama emangnya?" basa basi Fida, agar Manda tak curiga padanya jika hari ini akan bertemu dengan mama Affandi. Bersikap seakan-akan semua biasa aja.
Tampaknya, semesta sedang tidak rela dengan cara Fida menjaga putrinya dari panah curiga. Pertanyaan basa-basi yang Fida lontarkan nyatanya berarti seperti pinta bagi si anak.
"Manda antar aja ya, Ma. Kebetulan hari ini Manda mau pake mobil ke sana," tukas gadis berlesung pipit seraya menyunggingkan senyum manisnya. Yang senantiasa menyejukkan hati Afida.
"Yakin nih mau antar mama? Nanti kalau terlambat absen gimana hayo?" tolak halus Fida, yang masih berusaha agar Manda tidak tahu tujuan sebenarnya.
Sejenak, Amanda mengernyitkan dahi. Sedikit heran dengan sikap satu-satunya perempuan penyemangatnya. Yang biasanya terlihat antusias jika tahu dirinya mau mengendarai mobil.
Namun, sejurus kemudian Manda memilih menghentikan overthinking-nya. Mungkin saja 'kan alasan dibalik penolakan halus Fida Karen memang tidak ingin putrinya terlambat masuk.
"Ngejar waktu kok, Ma," sahut cepat Amanda seraya melirik jam dinding peninggalan mendiang ayahnya. Lalu gegas meraih kunci mobil yang masih tergantung di atas lemari kaca. Membuat Fida begitu pasrah jika Sang Anak telah berkata demikian.
Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, hanya suara gesekan ban dengan aspal hitam. Nyaris tidak ada obrolan ringan antara perempuan dua generasi itu.
Keduanya sama-sama khusyuk dengan pikirannya sendiri. Fida yang memikirkan akan turun di rumah sakit apa dan Amanda yang merasa sikap ibunya begitu berbeda.
"Mama mau turun di mana nih?" tanya Manda mendistraksi Fida.
Semakin lama, Amanda semakin bingung. Ia melihat Fida belum mempunyai tujuan yang jelas. Ditanya mau turun mana hanya dijawab turun di depan saja.
"Ma, gimana? Apa mama Manda antar sampai ke rumah sakit tempat Manda kerja?" desak Amanda ketika jarak mobil dengan bangunan yang identik dengan cat putih itu semakin dekat.
"I-iya deh, Man. Soalnya mama nungguin balasan pesan singkat dari temen, belum dibalas juga." kini Fida kembali berbohong pada Amanda. Hanya demi rencana rahasianya.
Sementara itu, di salah satu sudut Rumah Sakit Lekas Sehat, terduduk seorang lelaki yang tengah dirundung kebingungan. Perempuan yang menyayanginya sejak 30 tahun yang lalu hingga sekarang, meminta Affandi agar membuka hati. Dan tentu saja, benar-benar melupakan Kinan.
"Mama tahu, Nak. Jika kamu masih dibayangi perihnya ditinggal pergi Kinan. Hanya saja, kali ini mama begitu yakin. Jika sosok perempuan itu bisa jadi pengobat lukamu," ucap Aninda kala ia selesai berbincang santai dengan putra sulungnya.
"Mama sudah tahu wanita itu, Sayang. Percayalah, dia tidak akan mengecewakanmu."
Sebait barisan kata yang keluar dari bibir Aninda itulah yang membuat Affandi bingung. Tahu dari mana mamanya tentang sosok wanita itu, sementara ia begitu yakin jika Aninda belum pernah bertemu dengan perempuan pilihan mamanya.
"Fand," lirih Aninda, menjeda Affandi yang masih asyik berkelana dengan pikirannya sendiri.
Affandi pun kini memperpendek jaraknya dengan Sang Ibunda. Mendekatkan telinganya si dekat bibir Ninda. Agar ia bisa mendengar barisan kata yang keluar dari bibir wanita cinta pertamanya.
"Iya, Ma. Ada apa?" sahut Affandi lembut.
"Hari ini kamu masuk 'kan, Nak? Nanti begitu selesai pekerjaannya, langsung ke sini yah." pinta Ninda yang sejenak membuat Affandi mengernyitkan dahi.
Jujur, lelaki kepala rekam medis di rumah sakit lain itu agak heran dengan pinta Sang Mama. Ia merasa ada sedikit keanehan dari pinta Aninda.
"Apa jangan-jangan mama mau—" pikiran negatif mulai merasuki benak Affandi.
"Ah gak mungkin. Orang vital sign-nya masih oke kok. Paling juga mama mau kasih aku surprise." Affandi buru-buru mengenyahkan pikiran negatifnya, mensugesti diri sendiri jika semuanya akan berjalan dengan baik.
"Oke, Ma. Nanti sepulang kerja mama mau dibawain apa? Buah mungkin?" tanggap Affandi dengan nada bicara yang lembut. Sesaat sebelum ia berangkat bekerja.
Tak berselang lama setelah kepergian Affandi, seorang wanita lewat paruh baya tengah berjalan menuju ke ruangan Aninda. Tentu saja, kedatangannya kali ini dalam rangka dua misi. Selain menjenguk Ninda, ia juga ingin menepati janjinya pada wanita pemilik Rumah Sakit Lekas Sehat ini.
"Tok tok." Fida mengetuk pintu itu dengan pelan lalu segera masuk ke dalam ruang perawatan Aninda. Lalu lekas berbincang ringan dengan Sang Sahabat.
"Sebentar lagi anakku pasti sampai di sini. Bagaimana dengan anakmu, Fid? Kamu sudah kasih tahu dia 'kan?" tanya Aninda.
"Aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengannya, Fid. Pasti dia cantik sepertimu," tutur ibu Affandi yang belum tahu jika putri Fida bekerja di rumah sakit ini.
"Ehm, belum sih, Nin. Tapi aku memintanya untuk menjemputku di sini. Jadi tenang saja, sebentar lagi mereka akan segera bertemu," jawab Afida seraya tersenyum smirk.
Perempuan itu belum juga berterus terang jika putrinya bekerja di layanan kesehatan milik keluarga Aninda.
Lima belas menit berlalu. Sebentar lagi, senja berangkat pergi. Namun, Fandi belum juga menunjukkan batang hidungnya.
"Ke mana sih si Fandi ini? Katanya mau pulang cepet tapi kok sampai sekarang belum datang juga?" monolog Aninda yang mulai terserang khawatir.
Sementara Aninda yang sibuk memikirkan putranya, Fida yang duduk di dekat brankar Aninda, membiarkan jari tangannya menari di atas papan keyboard. Meminta putri tersayang menemui di ruang rawat nomor tujuh.
Tepat di saat Affandi tiba di kamar mamanya, membuat sepasang bola matanya membulat sempurna.