"It's okay. Ada aku di sini," ucap Yogi menenangkan Amanda. Lalu menuntun perempuan itu masuk ke dalam kabin luas SUV Affandi.
Amanda menurut. Perempuan itu melangkahkan kakinya menuju ke kabin sebelah kiri. Lalu meletakkan abaimananya di atas jok empuk.
Sepanjang perjalanan, Amanda hanya terdiam seribu bahasa. Ia melayangkan pandangannya ke arah jendela samping. Memanjakan netra coklatnya melihat hamparan tanah yang begitu lapang. Meredakan stres yang menjeratnya karena ancaman kaleng itu.
Diamnya Amanda nyatanya menarik perhatian Affandi yang sedari tadi mencuri pandang lewat spion tengah mobil.
"Kamu kenapa, Mand? Kayak lagi mikir berat?" tanya Affandi seraya sesekali menolehkan wajahnya ke arah Amanda.
Amanda menghela nafas berat sesaat ia meloloskan rangkaian kata dari mulutnya.
"Teror itu menggangguku. Gak cuma di rumah, di kantor pun teror itu selalu ada," tutur Amanda dengan suara berat.
"Bunyinya pun sama. Sama-sama menyuruhku untuk menjauhi mas Yogi. Menyudahi hubungan yang udah jalan tiga tahun ini. I can't do this," imbuh Amanda dengan suara terisak.
Mendengar apa yang dikatakan Amanda, sontak Affandi mengerem mendadak mobilnya. Menimbulkan suara berdecit yang memekakkan telinga. Hingga membuat penumpang di SUV itu nyaris terantuk ke depan.
Entah apa yang membuat Affandi terkejut. Bisa saja dia kaget dengan keberadaan teror itu. Atau bisa jadi ia tidak menyangka Amanda mengatakan tidak bisa menjauhi Yogi. Yang artinya tiada lagi kesempatan untuknya membangun chemistry dengan Amanda.
"Tenang, Affandi.Hati 'kan bisa berubah. Bisa saja 'kan hari ini ia mengatakan tidak mencintai kamu. Tapi di kemudian hari ia malah takut kehilangan." monolog Affandi seraya menatap Amanda.
"Kenapa kamu menatapku seperti itu, mas Affandi?" tanya Amanda yang kini menegakkan wajahnya. Menatap sejajar dengan pandangan Fandi terhadapnya.
Pertanyaan yang dilayangkan Amanda dan juga deheman Yogi bersamaan, sontak membuyarkan konsentrasi Affandi yang tengah berbicara dengan dirinya sendiri. Menimbulkan jawaban yang menggantung dari bibir Affandi.
"Ya, aku heran aja. Belum pernah aku menemukan ada teror semacam itu," jawab asal Affandi yang membuat Manda dan Yogi sama-sama mengernyitkan dahi.
"Ehm maksudnya kok modusnya menyerang ke segala arah. Biasanya 'kan gak begitu," imbuh Affandi.
Amanda dan Yogi serempak mengucap kata Oh, mendengar sahutan Affandi yang memang kedengaran aneh.
Tidak ingin dirinya terus menerus dirundung teror yang mengganggunya, timbul keinginan Amanda untuk mengusut siapa sosok peneror itu dan apa motifnya.
Lobus frontal Amanda mencoba menganalisis teror itu. Dengan isi pesan yang selalu sama, bisa dipastikan jika peneror itu menaruh hati pada salah satu dari pasangan sejoli itu. Bisa Yogi ataupun Amanda sendiri.
"Apa yang harus aku lakukan? Apa mending aku keluar dari rumah sakit itu. Lalu menjalin hubungan jarak jauh dengan mas Yogi." seketika ide konyol itu terbesit dalam benak Amanda.
"Hon," panggil Manda kepada Yogi, sekalipun ada Affandi di dalam kabin yang sama.
"Iya, ada apa, Manda?" sahut cepat Yogi seraya tetap menatap lurus ke depan.
"Ehm, kayaknya aku mau resign aja. Aku gak mau dihantui ketakutan itu." sebaris kata yang tak seharusnya Manda ucapkan akhirnya lolos juga. Yang ternyata memunculkan respon yang berbeda antara Yogi dengan Fandi.
"Yakin mau resign? Yakin nanti gampang dapetin pekerjaan lagi?" tanggap Yogi yang meminta Amanda mempertimbangkan kembali keputusannya.
Lain halnya dengan Yogi yang merespon perkataan Amanda dengan emosi, Affandi justru memasang ekspresi santai. Tanpa mendistraksi fokusnya, Affandi mengusulkan agar lebih Amanda mengusut siapa sosok pengganggu itu. Yang nyaris membuat Manda irit senyum.
"Resign itu masalah ke sekian, Manda. Yang terpenting sekarang, kita harus bergerak mengusut peneror itu," ujar Affandi. Lagi-lagi ia mencuri pandang wajah Amanda lewat kaca spion tengah.
Amanda terhenyak dengan apa yang Affandi bilang. Ia pun menyesalkan karena hasratnya yang begitu besar untuk bebas dari rasa takut itu, ia melupakan satu solusi yang Fandi tawarkan. Bukannya malah memilih untuk menyerah.
Amanda menghela nafasnya panjang. Puan berkulit putih bersih itu bingung sekaligus antusias dalam satu waktu.
"Boleh. Soalnya aku sebenarnya juga penasaran siapa orangnya." Amanda mengiyakan usulan Affandi.
Affandi menganggukkan kepalanya. Tanpa persetujuan dari dua orang yang bersamanya, Affandi mengarahkan kemudi SUV kebanggaannya ke kafe langganan.
"Kita berunding di sini aja yah. Sambil menikmati hidangan yang tersaji," tutur Affandi seraya mengurangi laju mobilnya. Lalu mengarahkan kemudinya menuju ke parkiran tepat di samping pintu masuk restoran.
"Yok." ajak Affandi seraya mematikan mesin mobil seven seater-nya.
Affandi berjalan terlebih dahulu. Lalu Amanda mengikuti jejak Affandi masuk ke dalam. Begitupun dengan Yogi.
"Orange Squash nya tiga ya, mbak," pinta Fandi ramah. Setelah ia acungkan tangannya, meminta si pelayan menghampirinya.
"Memangnya dia meneror kamu gimana, Mand?" tanya Affandi mengawali perbincangan serius.
Sesaat, Amanda mengambil nafas dalam, lalu membuangnya perlahan. Pandangannya pun menerawang. Meminta lobus frontalnya memutar potongan kejadian yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Menuntut bulu kuduknya meremang.
"Jadi begitu ceritanya. Dan pasti pesan yang dikirimkan pasti sama." Amanda menyeruput lemon squash.
“Bagaimana kalau kita pancing peneror itu buat muncul? Tapi kira-kira berhasil gak ya?” lanjut wanita berhijab itu.
"Kita gak akan tahu berhasil atau tidak kalau memang belum mencoba, Manda," tutur Affandi menguatkan niat Amanda untuk menghentikan rasa penasarannya.
Amanda manggut-manggut. Hati dan pikirannya pun mengiyakan apa kata Fandi.
"Terus, kapan nih kita bisa mengekse—" ucapan Amanda terpaksa terhenti kala sebuah panggilan suara di gawai Affandi menginterupsi diskusi santai itu.
"Ehm, sorry ya. Aku angkat telepon sebentar," pamit Affandi seraya mengarahkan jari telunjuknya pada gawai besutan Negeri Paman Sam. Lalu segera berlalu dari pandangan Manda dan Yogi.
"Kok aku jadi curiga ya mas Affandi berada di balik semua ini?" celetukan Amanda yang ternyata didengar Yogi.
Sontak, Yogi pun mengernyitkan dahinya. Meminta penjelasan apa yang Manda maksud.
"Lhoh kenapa bisa bilang begitu? Memang ada sikapnya yang terkesan janggal?" tanggap Yogi bingung.
"Ya feeling aja sih. Bisa aja 'kan orang yang sengaja baikin kita, sebenarnya buat beralibi aja. Menambal sulam keburukannya," ujar Amanda. Meyakinkan pada Yogi jika kecurigaannya benar adanya.
"Nih sebagai buktinya, dia bersegera bangkit dari tempat duduk ini ketika kita lagi asyik-asyiknya membahas tentang cara menjebak transporter ketakutan itu," urai Manda yang kukuh akan pendapatnya yang belum tentu benar.
"Mana sambil sesekali melihat ke arah kita," timpal Manda yang sejak tadi memperhatikan gesture Affandi yang dirasa begitu berbeda. Memantik alarm prasangka buruk dara berperangai kalem itu berbunyi.
Mendengar penjelasan Manda dari A hingga ke Z, Yogi hanya tersinyum simpul. Tangan berotot itu pun menggenggam punggung tangan halus Amanda. Seraya meminta puan pemilk hatinya tidak mudah menduga-duga yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
"Jangan su'udzon melulu atuh," tegud Yogi seraya tersenyum lebar.