Getting The Trouble

1047 Kata
"Ya habisnya gimana. Sikap mas Affandi kali ini tuh beda. Dia menghindar ketika kita lagi ngebahas cara menjebak pelaku itu, Hon." Amanda berargumen dengan penuh percaya diri. Seakan-akan kebenaran memang ada di sisinya. Lelaki pemilik nama Yogi itu pun mencebik. Namun, sesaat kemudian ia berkata, "kamu kayak udah mengenal lama dia aja sih, Hon. Ya positif thinking dulu aja sih. Dia emang lagi ada telepon." "Lagian kalau memang dia terlibat, harusnya menyimak pembicaraan kita dong. Sembari diam-diam merubah strategi," kekeh Yogi seraya mengusap lembut pucuk kepala Manda. "Toh kan kita gak bisa memberi kode orang lain kapan harus menelepon," tutur Yogi seraya mengangkat gelas tinggi berisikan lemon squash. "So the conclusion is jangan terlalu cepat menilai orang," tukas Yogi dengan bijaknya. "Ya tapi kan—" ingin rasanya Amanda melanjutkan bicaranya. Namun, sontak ia diam seribu bahasa kala radar netra cokelatnya menangkap sosok lelaki berkumis tipis itu berjalan menghampirinya. "Ehm, maaf yah. Tadi ada teman telepon. Jadi gimana nih solusinya? Mgkn Yogi atau kamu Mand, ada pandangan." Fandi mendudukkan abaimananya lalu meneguk lemon squash hingga hampir habis. Dengan nada bicara pelan, Yogi memaparkan pandangannya. "Memang sih ide ini bisa saja terlalu riskan untuk keselamatan Manda. Cuma ya hanya itu yang bisa kita lakukan. Mengumpankan Amanda. Gimana, Mand?" tawar Yogi dengan nada bicara santai. Sekalipun sejatinya ia begitu mengkhawatirkan Amanda. Dara muda berhijab itu terdiam seribu bahasa. Kedua punggung tangannya ia pertemukan, menimpa hidung bangirnya. Ia berada dalam kegamangan. Haruskah ia menyetujui ide gila Sang Kekasih dengan kompensasi akan terbebas dari teror itu. Ataukah tetap membiarkan gangguan yang bisa saja membuatnya tenggelam dalam rasa gelisah. "Gimana yah?" tutur Amanda dengan muka pucat. Serta bahasa tubuh yang cukup bisa menunjukkan seberapa besar perasaan gelisahnya. "Aku belum bisa mem—" ucapan Amanda terhenti kala benda mungil nan pipih miliknya berdering. Amanda mengucap lirih kata mama begitu manik berwarna cokelatnya melihat nama kontak yang ditampilkan dalam layar gawainya. Perempuan itu melipat dahinya. Pasalnya jarang-jarang Afida menghubunginya via pesan suara. "Iya, kenapa, Ma?" sambut Amanda, begitu ia menempelkan piranti cerdasnya di daun telinganya. "Oh, gitu. Oke, Ma. Sebentar lagi Amanda pulang," pungkas Amanda mengakhiri panggilan suara Afida yang memintanya segera kembali ke rumah. Selepas menerima telepon dari perempuan yang melahirkannya ke dunia 23 tahun yang lalu, Amanda segera berkemas. "Aku duluan ya semuanya. Mau ke RS ambil mobil terus pulang. Mama memintaku segera pulang," ucap Manda bersiap untuk pergi. "Aku temani ya," tawar Affandi. Entah kenapa, suara hatinya begitu kuat untuk mendampingi Amanda ke rumah sakit. Amanda menggeleng, menolak halus tawaran Affandi. Egonya mengatakan ia tidak mau bergantung pada Affandi. Apa jadinya jika dia tidak mengedarkan nyalinya untuk berkata tidak. Bisa-bisa ia dianggap mulai luluh kepada Affandi. Terlebih lagi, masih ada Yogi di sisinya. Tidak mungkin bagi Amanda untuk membiarkan Sang Pemilik Hati berpikiran macam-macam tentangnya. "Jangan sembrono,Amanda. Ingat, masih ada hati yang harus dijaga," gumamnya dalam hati, seraya menatap dalam wajah Yogi. "Yakin kamu mau sendirian ke sana? Atau biar Yogi yang temani." usul Affandi yang diikuti dengan pandangannya ke arah Yogi. Amanda mengangguk mantap, seraya berkata, “tenang, ada Tuhan yang selalu menjagaku,” seolah meyakinkan dua pria tampan di depannya jika memang tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan tentang kepulangannya seorang diri. Lagi, pemudi berlesung pipit itu mohon undur diri dari dua pemuda rupawan yang mengelilinginya. Lalu bergegas meninggalkan kafe bernuansa klasik itu. "Ke arah Rumah Sakit Lekas Sehat ya, Pak." pinta Amanda pada si pengemudi taksi online itu. "Baik," sahut ramah sesosok lelaki yang berada di balik kemudi itu. Tak ingin membuat Amanda curiga kepadanya. Sepanjang perjalanan, pria berbahu kekar itu berusaha membuat gadis yang duduk di jok belakangnya merasa nyaman. Cara mengemudinya yang biasanya bak pembalap liar, kini dibuat sekalem mungkin. Hingga tepat ia merubah posisi spion tengah kuda besi four seater itu, manik hitamnya mendapati Manda bersiap untuk memejamkan mata. Menuntunnya untuk segera meraih gawai. Lalu menekan beberapa tombol angka. "Halo, Bos. Target sudah masuk. Jadi, bisakah kita melanjutkan rencana kita?" tanya si kepala botak itu dengan nada suara yang kurang pelan. Bersiap menerima instruksi dari Sang Komando. Amanda yang sejatinya belum begitu terlelap, kini terhenyak akan suara yang baru saja ia dengar. Ingin rasanya Manda berteriak, meminta pertolongan pada orang lain. Namun, tentu saja akan terlihat konyol jika sebelumnya Manda tampak tidur lelap, kini mendadak bangun mencari bantuan kepada orang yang berada di luar kabin mobil berwarna silver itu. “Please, be calm. Semuanya akan baik-baik saja jika jiwamu tenang,” monolog Amanda mensugesti dirinya sendiri agar tetap tenang menyikapi jebakan yang tidak ia sangka. Dan tentu saja, perempuan bersurai hitam legam itu tidak ingin bersikap gegabah. Amanda mulai melancarkan aksinya. Dengan kedua bola mata yang masih tampak terpejam, ia membiarkan jemari tangannya menari-nari di atas papan keyboard gawai besutan negara yang identik dengan apel berwarna merah. Mengirimkan sebuah pesan yang sebelumnya ia buat template pada seseorang yang diharapkan mampu menolongnya dalam situasi genting ini. Selama berada di dalam kabin kuda besi, sebisa mungkin Amanda tidak membuat pergerakan yang berarti. Ia memang ingin lolos, tapi gadis itu lebih memilih bermain aman. Yah, tidak salah lagi, Amanda berlagak tenang akan tetapi diam-diam ia menyiapkan sebuah pukulan. “Save me, please! Aku dijebak seseorang.” tulis Amanda dalam pesan singkatnya. Tak lupa ia berbagi lokasinya saat ini. “Duh, kenapa di saat-saat genting seperti ini mas Yogi belum juga membaca pesan singkatku?” tanya Amanda dalam hati yang mulai disusupi kekhawatiran. Seiring mobil yang ditumpangi tidak lagi menuju ke arah tempatnya ia bekerja. Amanda tidak tahu saja, lelakinya yang masih berada di sudut kota yang sama dengannya, kini tengah menghadapi masalah yang sepele namun cukup menyusahkannya. Ia pun tidak menyadari jika pesan yang ia kirim justru tidak akan pernah sampai pada Sang Kekasih Hati. Kelihatannya, semesta sengaja bermain-main dengan Amanda yang tengah dirundung kecemasan. Pasalnya, selang 15 menit setelah pesan itu terkirim, tanda-tanda kehadiran bala bantuan belum juga nampak. “Ah, mama tolong aku!” pekik Manda yang tidak mampu ia utarakan. Amanda yang selama beberapa saat berada dalam mode tidur, kini menggeliat. Layaknya peribahasa sekali mendayung dua pulau terlampaui, Amanda yang berpura menikmati tidurnya, kini ia sempatkan membiarkan netranya sedikit terbuka. Sekedar mencari tahu posisinya saat ini. Namun sayangnya, keingintahuan Amanda justru membuatnya semakin panik. Seiring ia menyadari jika mobil ini telah melaju menjauhi pusat kota. Melewati jalanan yang tidak familiar dalam lobus frontal Amanda.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN