Seketika Amanda memutar tubuhnya, berbalik arah sembari mengambil langkah lebar menuju ke tempat yang lebih ramai.
Badan Amanda terasa gemetar. Begitupun dengan jantungnya yang detaknya mulai tidak beraturan. Membuat perempuan itu mencari tempat untuk mendudukkan abaimananya. Sekaligus mengatur nafasnya yang kembang kempis.
Belum juga nafas Amanda mendekati normal, benda pipih berwarna hitam kesayangannya menunjukkan pesonanya. Lampu telepon seluler yang berkedip dan dering notifikasi yang cukup berisik menuntun Amanda untuk segera membuka pesan masuk.
["Bagaimana? Masih mau nekat juga dekat dengan Yogi, Amanda cantik?"] lagi-lagi isi pesan itu mengusik ketenangan Amanda.
"Siapa kamu sebenarnya? Bukankah ancamanmu itu jauh lebih efektif kalau kamu berani menampakkan diri sekarang?" Amanda membiarkan jari tangannya yang indah menari-nari di atas papan keyboard. Menuliskan kata yang menantang. Sekalipun jauh di dalam hatinya ia begitu takut.
Amanda menghela kasar nafasnya. Sampai kapan teror itu bermain-main dengannya. Membuat ia mau tak mau membatasi ruang geraknya.
"Jangan pernah takut, Manda. Just go ahead," bisiknya menguatkan diri sendiri.
Sekalipun disambut dengan tulisan menyeramkan di toilet dan spam pesan singkat bernada sama, dara berparas ayu itu tetap melanjutkan langkah kaki jenjangnya menuju ke counter suster jaga. Rentetan tugas dan tanggung jawab yang harus ia tunaikan nyatanya mengalahkan ketakutannya akan ancaman yang belakangan ini merundungnya.
Seperti biasa, setibanya di ruang suster jaga di salah satu bangsal favorit itu, Amanda mengunjungi satu persatu ruang perawatan pasien. Mengecek vital sign lalu melaporkan pada dokter yang merawat.
Tatkala ia mengayunkan kaki jenjangnya keluar dari kamar perawatan nomor tujuh, gawai yang sedari tadi ia taruh di saku, mengeluarkan bunyi getar. Durasi getarnya begitu panjang, menuntun Amanda untuk meraih gawainya.
"Oh, mas Yogi. Tumben nih telepon," gumam Manda seraya menatap nama kontak yang terpampang di layar smartphone hitam elegan itu.
"Iya, ada mas? Tumben telepon. Aku masih di RS," ucap Manda begitu ia menempelkan benda pipih itu di daun telinganya.
("Mand, sebaiknya kamu segera pulang dari rumah sakit ya. Seseorang lagi memperhatikanmu.")
"Hah? Siapa mas?" tanya Amanda yang sayangnya tidak terjawab oleh Yogi. Seiring nada tut tut terdengar. Sebagai tanda panggilan suara telah berakhir.
Siapa lagi sosok yang menguntitnya. Baru saja jantung Amanda berdetak wajar, sekarang keadaan memaksa organ penting itu untuk berdenyut lebih cepat. Pening di kepala yang nyaris mereda, kini mulai melingkupi Amanda lagi. Hingga akhirnya Manda berpikir apakah teror itu menjadi harga yang harus ia bayar. Karena sampai detik ini ia masih berpihak pada Yogi.
"Ah entahlah. Biar doa dan takdir saja yang bertarung di langit," gumamnya seraya mengedikkan bahu. Berusaha menetralkan hati dan pikirannya.
Selepas menerima panggilan suara dari kekasih hatinya, Amanda bergerak lebih cepat. Perempuan itu sebisa mungkin mengurangi intermezzo ringan yang biasa ia lakukan. Dengan lebih cekatan, ia selesaikan tugas administrasi di bangsal. Karena tujuannya hanya satu. Lekas pulang dari rumah sakit, begitu jam shiftnya usai.
Akan tetapi, semesta menghendaki Amanda untuk sejenak tinggal di situ. Tepat pada saat ia selesai berkemas, alarm nurse call berdering. Memaksa Amanda untuk mengurungkan niatnya.
"Okelah. Selesai urusan ke kamar nomor tujuh, aku cabut aja," tekad Manda dalam hati. Seraya mengambil langkah lebar menuju ke ruang yang berada di ujung barat.
"Ah, semoga saja kali ini permintaannya mudah aku mengerti. Tidak seperti kemarin," harap Amanda.
Dengan sopan, dara berparas ayu itu mengetuk pintu kamar lalu mengayunkan kakinya ke dalam ruangan.
"Selamat siang, Bu. Ada yang bisa dibantu?" tanya Amanda ramah namun tidak direspon juga oleh sesosok wanita lewat paruh baya yang terbaring di atas brankar.
"Oh. Larutan infusnya habis. Saya tinggal sebentar dulu ya, Bu. Mengambil larutan ringer laktat yang baru," ucap Amanda seraya menggerakkan tangan halusnya, mematikan sambungan infus sementara waktu.
Amanda pun bersiap berbalik arah. Namun tepat di saat ia membalik tubuhnya, dengan sigap tangan berurat itu menggenggam kuat punggung tangannya.
"Jangan pergi dahulu, Manda!" ucap perempuan itu lirih namun terdengar tegas.
Jantung Amanda kini berdegup lebih kencang daripada sebelumnya. Apalagi di saat pasien itu menyebut nama sapaan yang hanya diketahui orang tertentu saja.
Amanda memaksa memorinya untuk mengenal sosok yang hingga kini masih setia menggenggam telapak tangannya yang halus. Rasa-rasanya genggaman tangan itu pernah ia rasakan. Intonasi bicaranya pun seperti familiar di telinga gadis itu.
"Jangan-jangan ini tante Lita. Ah tapi mana mungkin mamanya Yogi mau memegang tanganku seerat ini?" monolog Amanda beberapa saat. Hingga suara lirih perempuan itu menghentikan pikiran Amanda yang mengembara entah ke mana.
"Apakah hingga detik ini kamu belum juga mengenali siapa aku, Manda? Hah?" tukas wanita itu yang kini menyibakkan wajah ayu yang tertutup luka bakar.
"Kamu tahu gak, gara-gara ibumu yang matrealistis itu menelepon seseorang, aku jadi celaka seperti ini!"
Lita kini mengulurkan tangannya ke arah wajah Amanda. Lalu dengan sigap menarik dagu lancip Amanda seraya berkata, "Look at this scars, Faza Amanda! Semua ini gara-gara kamu yang tidak mau merelakan hubunganmu dengan Yogi."
"Tante, maaf. Saya ijin keluar sebentar. Karena larutan infusnya habis. Daripada nanti darah tante naik." sela Amanda, bermaksud mengalihkan arah pembicaraan. Sekaligus menyelamatkan diri dari nenek lampir berwujud manusia itu.
"Lhah, Mand. Kamu kenapa? Kok wajah kamu pucat banget gitu? Kayak habis lihat setan aja sih?" komentar rekan Amanda yang kebetulan berpapasan dengannya.
"Eng-enggak. Aku gak apa-apa kok. Oh ya, tolong kamu ke kamar nomor 7 ya. Bawa larutan RL. Infus habis. Aku harus cepat pulang. Masih ada urusan," cerocos Manda dengan intonasi bicara yang lebih cepat dari biasanya.
"Tumben tuh anak aneh. Bicaranya juga buru-buru gitu. Ah tapi masa bodoh ah," gumam Ruli seraya mengedikkan bahunya. Tidak ingin melibatkan diri ke dalam masalah Amanda.
Sementara itu, di sisi luar rumah sakit, tampak dua orang pemuda tampan yang tengah menunggu seseorang. Berulang kali netra elangnya menyapu bagian depan rumah sakit. Berjaga-jaga jikalau Amanda menghadapi bahaya.
"Kamu udah kasih tahu Manda 'kan kalau ada seseorang yang tengah mengincarnya?" Affandi akhirnya membuka pembicaraan. Berusaha mencairkan suasana di antara dua manusia kulkas itu.
"Tadi sudah aku kontak sih. Tapi kenapa sampai sekarang belum muncul juga." terdengar nada kekhawatiran akan keselamatan Amanda.
"Mungkin dia masih ada pekerjaan yang belum diselesaikan. Jadi agak terlambat keluarnya," sahut Affandi berusaha menenangkan Yogi yang mulai overthinking.
Alam tidak ingin membiarkan kedua pria dewasa itu berada dalam rasa ingin tahu lebih lama. Tak berselang lama, seorang perempuan muda mengambil langkah lebar menghampiri pengemudi dan penumpang SUV mewah itu.
"Amanda!" teriak Affandi dan Yogi serempak.
Sontak, Yogi keluar dari kabin mobil. Menyongsong Amanda yang berlari mengikis jarak dengannya.
"Save me, please!" tangis Amanda kala berada dalam pelukan Yogi.
"Ancaman itu terbukti. Tulisan berwarna merah itu aku temuin di kamar mandi," sambung Amanda yang meminta Yogi mendekapnya lebih erat.
"It's so scary for me, Babe!" lirih Amanda.