"Hah, mau dibawa aku ini? Apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Amanda dalam hati.
Amanda kini mau tidak mau mengizinkan kawanan setan menertawakan kebodohannya. Coba saja kalau ia tadi menerima penawaran Affandi. Atau yah, jika memang tidak mau diantar cukup mengiyakan usul Fandi. Pastinya akan berbeda kejadiannya.
Namun, nasi telah menjadi bubur. Tak mungkin juga bagi Amanda untuk mengulang momen kenangan itu lagi. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukan selain menerima suratan ini.
"Huft, if I can turn back the time," gerutunya dalam hati. Yang mungkin saja bisa memancing makhluk bernama setan itu kembali tertawa bahagia seraya mengejek Amanda, "di mana-mana yang namanya penyesalan itu adanya di belakang. Kalau di depan namanya down payment."
Sementara itu, di sudut kota yang sama, Afandi yang sedianya menuntaskan laporan proyek barunya, kini mau tidak mau harus mengurungkan niatnya. Lampu gawainya yang berkedip, berhasil mengalihkan perhatiannya.
“Amanda, tumben dia berkirim pesan. Biasanya ‘kan apa-apa pasti ke si abang Yogi,” gumam Affandi tatkala ia membaca nama kontak yang terpampang di layar gawainya.
Terdorong oleh rasa penasaran sekaligus dipenuhi antusiasme, Affandi memutuskan untuk segera membuka pesan baru di aplikasi perpesanan berwarna hijau itu. Akan tetapi, tak berselang lama, sepasang bola matanya membulat sempurna kala ia membaca barisan kata yang Amanda tulis.
Segera saja, Affandi menuntaskan urusannya di kafe itu lalu bergegas meninggalkan tempat yang digandrungi para kawula muda. Ia menyalakan mesin kuda besi SUV hitamnya. Kemudian membiarkan kakinya yang kokoh menginjak pedal gas lebih dalam. Memungkinkan kendaraan mewahnya melesat dengan kecepatan di atas rata-rata.
“Aku harus menyelamatkan gadis malang itu, tak peduli kepada siapa pesan itu ia tujukan.” monolog Affandi seraya memusatkan perhatiannya pada jalan di depannya.
Sama halnya dengan Amanda yang masih berusaha meloloskan diri dari penyanderaan yang tidak ia duga sebelumnya, Affandi juga sedang berusaha menyelamatkan perempuan pemilik nama Faza Amanda.
Berbekal lokasi yang Manda bagikan dalam pesan singkat dari aplikasi berwarna hijau itu, Affandi mempelajari rute yang ia buka dalam aplikasi peta. Jemari tangannya ia biarkan sibuk memperbesar tampilan peta itu. Agar ia lebih mudah mengambilkan rute tercepat yang bisa ditempuh. Yah, semuanya ini ia lakukan hanya demi menyelamatkan dara muda kesayangan mamanya.
"I got it. Let's we play this game, Dude," gumam Affandi sembari mempercepat laju mobilnya.
Pria berkemeja itu kembali memunculkan skill yang telah lama ia pendam. Beradu kecepatan dengan kuda besi lainnya. Berlomba dengan Sang Waktu yang bisa saja berbuat kejam padanya. Membiarkan Amanda terperangkap dalam kuda besi yang beranjak meninggalkan kota metropolitan. Meninggalkan penyesalan yang tidak berujung.
Lelaki itu memfokuskan pandangannya ke arah depan. Tidak jarang, Affandi melakukan aksi yang memacu adrenalin nya. Sibuk bermanuver dengan kuda besinya namun tidak terlalu ekstrim seperti adegan film Fast and Furious. Sambil sesekali melirik peta dalam aplikasi navigasi. Yang akan menuntunnya ke mana Amanda dibawa.
"Amanda oh Amanda. Kamu emang demen banget dengan gambling seperti ini. Sudah tahu kalau sedang dalam bahaya. Tapi tetep aja kekeh mau pulang sendiri." monolog Affandi seraya menyandarkan sikunya pada kaca jendela mobilnya.
Pria itu tidak habis pikir, bagaimana ceritanya sampai Aninda begitu menginginkan wanita kelewat mandiri namun juga random seperti Amanda. Membuat lelaki berjambang tipis itu gemas sekaligus kesal pada satu waktu.
Sejenak Affandi terlena dengan lamunannya. Menggiringnya tanpa sadar, ia mengemudikan mobilnya tidak terkendali. Hingga akhirnya terdengar suara benturan.
Sontak, Affandi menghentikan mobilnya. Ia buru-buru melangkah keluar dari kabin mobil. Berlari menghampiri korban kecerobohannya.
"Kamu gak apa-apa 'kan?" tanya Affandi mengamati tubuh perempuan bersurai pirang itu. Memastikan tidak ada luka serius yang menjangkiti kulit putih mulus wanita muda itu.
Untuk sesaat, perempuan itu terdiam. Otaknya sibuk mencerna sebab musabab mengapa seorang pria tampan datang menghampirinya dengan raut wajah yang begitu khawatir.
"Halo, are you okay?" suara Affandi praktis membuyarkan lamunan dara berparas ayu itu. Namun sekaligus membuatnya terpana. Membiarkan pria yang berdiri di depannya kebingungan.
"I-iya," jawabnya dengan ragu-ragu.
Melihat kondisi perempuan yang berdiri di depannya seperti baik-baik saja, Affandi memutuskan untuk segera pergi dari tempat itu.
"Maaf hanya sedikit. Semoga bisa meringankan biaya pengobatan kamu," ucap Affandi seraya mengulurkan beberapa lembar uang kertas berwarna merah pada gadis itu. Lalu gegas kembali menuju ke mobilnya.
Affandi mencebik gusar. Mengapa hari ini seakan menjadi hari tersialnya. Pasalnya, ketika ia bermaksud membawa kabur Amanda, nyatanya ada sesuatu yang menghambat perjalanannya.
"Aargh, sial!" seru Affandi seraya memukul kesal kemudinya.
Tidak ingin semakin tertinggal jauh dengan Amanda, pria berkemeja slimfit itu gegas menekan tombol start engine. Lalu bersegera mempersilakan kakinya untuk menekan pedal gas lebih dalam. Menyusul Manda yang semakin bergerak menjauhinya.
"Ayo, Manda. Kirim live location sekarang," gumam Affandi seraya menatap layar gawainya. Berharap layarnya menyala. Menampilkan notifikasi pesan masuk baru dari Manda.
Semesta tampaknya menakdirkan mereka untuk sama-sama berjuang. Sama seperti yang Affandi lakukan sekarang, Amanda masih berupaya untuk meloloskan diri dari genggaman orang yang bermaksud jahat kepadanya.
Dengan mengumpulkan segenap keberanian yang ada dalam diri, Amanda menggeliatkan badannya. Ia pun diam-diam memicingkan netra coklatnya ke arah jendela samping. Mencoba mencari tempat yang bisa dijadikan persembunyian sementara.
“Aha. Sepertinya aku bisa ngumpet di toko kelontong itu deh,” monolog Manda sesaat sebelum ia mengakhiri mode dramanya.
“Oh, sudah sampai ya, Pak. Terima kasih atas tumpangannya,” ujar Amanda yang masih setia berada dalam mode dramanya. Mengucek-ucek sepasang manik indahnya, mengelabui si pengendali laju kendaraan itu.
“Ini ongkosnya yah, Pak. Terima kasih atas tumpangannya,” tukasnya seraya menyodorkan beberapa lembar uang kertas.
Tanpa menunggu jawaban dari sesosok pria yang duduk di bangku depan sebelah kanan, secepat kilat Amanda melangkahkan kaki jenjangnya keluar dari kabin mobil. Lalu gegas berlari menuju ke sebuah tempat yang sedari tadi sudah diincarnya.
“Woi, Non! Kembaliannya belum.” tahan pria berkepala botak itu, berpura layaknya pengemudi taksi agar tak membuat curiga segelintir orang sekitar tidak curiga padanya.
Terlambat. Upaya lelaki itu tak membuahkan hasil. Seiring Amanda semakin memperpanjang jarak dengannya.
Dipenuhi ego sekaligus tuntutan dari bosnya, pria itu bergegas mengambil langkah lebar menyusul Amanda yang masih berlari kencang menyelamatkan diri. Ia tak mau hanya karena kelengahannya, membuat segepok uang bernominal fantastis yang dijanjikan Si Bos, harus melayang dengan percuma.
Di sisi lain, Amanda yang mulai merasa letih setelah berlari kencang, kini memaksakan diri tetap berlari. Setelah ia menyadari jika tempat yang dikira membuatnya aman justru berkebalikan. Perempuan berhijab itu mulai putus asa, harus ke mana lagi ia arahkan kakinya. Sementara hingga kini bala bantuan belum juga nampak.
"Tuhan, apakah hari ini akan menjadi hari terakhirku di dunia ini?" tanya Amanda seraya menangis pedih.