In The Car

1033 Kata
"Hati-hati menyetirnya nanti ya, Pak. Semoga istri bapak lekas sembuh," doa seorang perawat jaga IGD yang sempat bertemu dengan Affandi di halaman parkir. “Siap, Pak. Terima kasih,” sahut Affandi cepat seraya melangkahkan kakinya masuk ke kabin mobil. Pria itu melemparkan senyuman simpul ke arah perawat itu. Lalu melambaikan tangannya. Sesaat sebelum ia kembali menjalankan SUV kesayangannya. Mendengar percakapan antara Affandi dengan perawat barusan, membuat Amanda melipat dahinya menjadi beberapa kerutan. Mengapa lelaki yang kini duduk di sebelahnya tetap memperlihatkan sifat santainya ketika ada orang lain yang mengiranya sebagai suami Amanda. “Mas,” ucap Amanda memecah keheningan di dalam kabin mobil mewah itu. Menambah variasi suara yang bisa didengar selain bunyi gesekan ban mobil dengan jalan beraspal dan mesin mobil itu sendiri. “Hem. Ada apa, Mand?” sahut Fandi seraya tetap memfokuskan pada hamparan jalan yang ada di depannya. Sejenak, Amanda menghela nafasnya. Mengumpulkan nyalinya untuk bertanya secara personal dengan Affandi. Sekaligus mengobati rasa penasaran yang saat ini bersemayam dalam benaknya. “Sorry to say nih, Mas. Kalau boleh tahu kenapa situ malah tertawa pas disangka suamiku. Padahal ‘kan status kita belum jadi suami istri dan kita kompak menolak untuk di-” barisan kata Amanda mau tak mau harus terputus ketika Affandi menyahut cepat. “Iya, kita sama-sama tahu kalau memang menolak perjodohan random itu. Tapi, kita gak perlu bersusah payah ‘kan menjelaskan ke orang-orang tentang status kita sebenarnya. Biarkan mereka berpendapat sesuai persepsinya,” urai panjang lebar Affandi seraya menolehkan wajahnya ke arah Amanda yang ternyata tengah khusyuk memandang Affandi. “Ya mau bagaimana lagi. Just take it easy lah,” imbuh Fandi yang kembali menghadapkan wajahnya ke depan. Pria itu tidak mau jika wajah polos Amanda menciptakan fantasi baru di otaknya. Mendistraksi konsentrasinya yang saat ini tengah menjalankan mesin menuju jalan pulang. “Oh, gitu yah. Aku kira karena kamu bisa saja mengharapkan hal itu terjadi,” celetuk Amanda tiba-tiba. Yang spontan membuat kaki Affandi menginjak pedal rem mendadak. Hingga menimbulkan suara decitan. Affandi menatap dengan resah paras Amanda. Ia menghela nafasnya panjang. Tidak tahu pasti dengan jalan pikiran perempuan yang saat ini duduk di jok sampingnya. Bagaimana bisa sikapnya yang santai justru ternyata disalah artikan oleh Amanda. “Bagaimana mungkin aku mengharapkan rencana kedua orang tua kita dapat terjadi. Sementara yang aku, tahu kamu memang tidak pernah mengizinkan seorang lelaki memasuki hatimu, terkecuali Yogi seorang,” tandas Affandi. "Dan aku pun belum bisa membuka hatiku untuk perempuan lainnya," ucap Affandi yang tidak terlisankan olehnya. Jawaban yang baru saja Affandi lontarkan, membuat Amanda seketika menundukkan kepala. Ia begitu malu karena merasa lancang telah melayangkan sebuah pertanyaan memalukan. Sekaligus berujung pada kegelisahan yang diam-diam menyusupi jiwanya. "Maaf kalau pertanyaanku menyinggung kamu, mas Fandi," tukas Manda lirih. Beberapa saat sebelum ia menyibukkan diri memandangi indahnya alam semesta yang begitu indah. Affandi tersenyum tipis. Ia kembali memandangi wajah Amanda sejenak. Lalu meyakinkan Amanda jika pertanyaan yang terlanjur Amanda lisankan sama sekali tidak menyinggung perasaannya. "Aku minta maaf ya, kalau mungkin karena perlakuanku terhadapmu menimbulkan dugaan orang-orang tentang kita. Dan mungkin saja membuatmu tidak nyaman," ujar Fandi. Menimbulkan sebuah pertanyaan lagi dalam pikiran Amanda. Amanda terdiam seribu bahasa mendengar ucapan Fandi yang begitu menohok. Mempersilakan setan yang berada dalam hati membisiki Amanda untuk mengakhiri hubungan dengan Yogi. Dan menjalin hubungan dengan lelaki antimainstream seperti Affandi. Perempuan itu membiarkan lobus frontalnya melanglang buana, memikirkan sejak kapan salah satu kaum adam yang membawanya ke rumah sakit ini mendadak bertingkah layaknya cenayang. Yang bisa saja membaca pikirannya. "Santai aja, Mas. Aku gak apa-apa kok. Cuma yah, penasaran aja sih dengan cara mas Affandi memperlakukanku di ruang gawat darurat tadi," ungkap Manda akhirnya. Mendengar penuturan Amanda, seketika Affandi tertawa lepas. Tidak ia duga ternyata wanita muda yang sempat membuatnya khawatir, begitu ingin tahu dengan sikapnya ketika di rumah sakit. "Pertanyaanku lucu ya, Mas?" buru Amanda yang sudah tidak sabar mendengar jawaban macam apa yang akan Fandi tuturkan. Untuk kesekian kalinya, Affandi menolehkan wajahnya ke arah Amanda. Ia pun menghela nafas. Lalu mulai menjelaskan bagaimana perlakuannya kepada wanita yang selalu menuntutnya untuk menjawab pertanyaan yang terkadang dirasa receh. "Udah dulu ya wawancaranya nona manis. Aku takut nanti situ melontarkan pertanyaan yang bikin aku gak bisa tidur," kelakar Affandi menyudahi deep talk pertama kali di antara mereka. Suasana di dalam kabin mobil itu pun kembali hening, sesaat percakapan singkat namun cukup mengena itu berakhir. Hanya menyisakan suara mesin mobil yang tengah melaju. Dan terkadang diselingi bunyi rear dinyalakan. "Ini kita ke rumah kamu 'kan?" tanya Affandi tiba-tiba. Membangunkan Amanda yang sempat terlelap. Untuk sesaat, Amanda belum juga merespons pertanyaan Affandi. Otaknya tengah sibuk mencerna pertanyaan Affandi, di saat nyawanya belum terkumpul sepenuhnya. "Manda," panggil ulang Affandi yang akhirnya menyadarkan Amanda dari kebingungan. Amanda menggelengkan kepalanya. Dengan suara serak basah khas orang yang terbangun dari tidurnya, dara berparas ayu itu menjelaskan jika kali ini tujuan mereka bukan ke rumah tinggalnya. "Kita ke rumah sakit dulu ya, Mas. 'Kan mobilku masih ada di sana. Aku kirim pesan singkat ke mas Yogi minta tolong ambilin mobil belum juga direspon," urai sekaligus gerutu Amanda. Yang disambut acungan jempol tangan Affandi. "Oke deh tuan putri. Sekarang tuan putri lebih baik istirahat. Nanti begitu sampai aku bangunin deh," pungkas Fandi seraya menerbitkan senyum simpulnya. Menuntun Amanda untuk kembali mengernyitkan dahinya. Bingung dengan arti sebuah senyuman manis nan misterius dari Affandi. Seiring berjalannya waktu, Amanda akhirnya terlelap dalam SUV yang tengah melaju pelan. Melepaskan rasa letih yang menderanya gara-gara penyanderaan yang nyaris mengancam keselamatannya. Mengendurkan ribuan syaraf dan otot yang sempat menegang. Affandi yang sejak tadi mengemudikan mobilnya ditemani rangkaian lagu favoritnya, kini harus mengurangi volume suara pemutar musik. Seiring ia melihat Amanda yang tertidur begitu lelap di sisinya. Tak ingin mengusik ketenangan Amanda. "Tetaplah tidur selama di sini, Mand. Aku tahu kamu lelah," gumam Affandi seraya memandang wajah Amanda yang begitu damai namun menyiratkan guratan kelelahan di wajahnya. Lelaki penyuka kemeja slimfit itu memelankan laju kendaraannya seiring roda depan melintasi bibir pintu gerbang masuk rumah sakit milik mamanya. Ia melayangkan pandangannya mencari di mana Amanda memarkirkan sedan hatchback berwarna merah itu. Lalu segera membelokkan kemudi ketika netra hazelnya menemukan lokasi Manda memarkirkan kendaraannya. "Manda, bangun. Kita udah sampai," ucap Fandi seraya mengumpulkan nyalinya membangunkan Amanda yang masih saja terjebak dalam alam mimpi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN