“Bu, sarapannya sudah siap. Mari turun.”
Elea mendengarnya, tapi dia tetap santai berdandan sendirian. Dia tidak mau bertemu dengan Gardea maupun anaknya, jadi menghindari mereka adalah satu-satunya cara.
“Apa sarapannya mau saya bawakan ke kamar, Bu?”
“Tidak perlu,” jawab Elea. Merasa kalau dirinya tidak perlu mengisolasi diri kalau sudah tidak ada Gardea. Menyadari dirinya adalah Nyonya dirumah ini, Elea yakin dirinya mendapatkan perlakuan special.
Dengan santainya, Elea memutar music sambil berdandan, kamar ini lumayan bagus dan disetting khusus untuk perempuan muda seperti Elea.
“Ma, Kira berangkat dulu ya,” ucap seseorang dari balik pintu.
Elea tidak menjawab sama sekali.
“Bye, Mama!” masih berteriak dengan nada ceria.
Elea melihat dari balik pintu yang terhubung dengan balkon, sebuah mobil telah berangkat. Dia meyakini kalau Gardea juga sudah berangkat. Mana ada Hakim yang telat dan mencontohi tidak baik pada bawahannya.
“Selamat pagi, Bu,” sapa pelayan yang sedang memberesihkan lantai dua.
“Dimana ruang makannya?”
“Di sebelah kanan, Bu. Perlu saya antar?”
“Gak usah,” jawab Elea dengan dingin. Begitu sampai di ujung tangga, Elea melihat meja makan yang penuh dengan makanan. Namun, ada seseorang yang membuatnya menghentikan langkah, yaitu sosok pria yang ternyata masih ada disana.
Gardea sedang berbicara dengan sang kepala pelayan. Menyadari lawan bicaranya diam, Gardea menoleh ke belakangnya. “Kemari, kamu harus sarapan dulu.”
“Gak perlu, keberadaan anda membuat saya tidak nafsu.”
“Sarapan dulu, Elea. Pelayan sudah menyiapkan makanan yang kamu suka.”
“Saya baru akan makan kalau anda tidak ada disana,” ucap Elea sambil menyilangkan tangan di d**a dan menatap tajam pada Gardea. “Bisa pergi? Saya tidak nafsu melihat anda disana.”
Ketika Elea hendak melangkah pergi, Gardea langsung berdiri. Tidak mau membuat Elea berangkat tanpa sarapan terlebih dahulu. “Saya tunggu kamu di mobil.”
Elea berdecak, memangnya dia mau berangkat satu mobil dengan Gardea. Jadi setelah sarapan selesai, Elea berjalan begitu saja melewati mobil Gardea. Mengabaikan panggilan pria itu sampai akhirnya…. BRUK! Elea tersandung sepatu talinya sendiri hingga jatuh. “Aw,” gumamnya melihat lutut yang berdarah.
“Mana yang sakit?” Gardea dengan sigap mendekat.
“Jangan sentuh saya!” teriak Elea ketika sang suami hendak membantu. Dia berusaha untuk bangun, tapi pergelangan kakinya terkilir. “Aw!”
Tanpa permisi, Gardea menggendong Elea hingga membuat perempuan itu memekik kaget. “Lepasss! Turunin saya!”
“Diam, Elea. Suara kamu bisa bikin telinga saya terluka.”
“Makannya turunin!”
Gardea menurunkan di bangku yang ada di beranda mansion. “Bi, ambilin kotak obat ya.”
“Baik, Pak.”
Pria itu berjongkok dihadapan Elea untuk memeriksa luka sang istri. Celananya sampai robek dan lututnya terluka. Dengan telaten, Gardea membersihkannya. “Shhhhh! Sakit ih!”
“Tahan sebentar,” ucap pria itu sambil menahan tawanya. Bahkan kaki yang terkilir itu dipijat dulu oleh Gardea sampai akhirnya membaik. “Bi?”
“Iya, Pak?”
“Bantu Elea ganti pakaiannya ya.”
“Baik, Pak.”
Elea pikir, Gardea akan langsung berangkat. Tapi pria itu tetap menunggunya. “Saya mau anterin kamu ke kampus.”
Dalam posisi kaki Elea yang terkilir, dia akhirnya masuk juga ke dalam mobil. Sayangnya Elea salah masuk, dia malah duduk di bangku depan hingga harus bersebelahan dengan suaminya. Ketika hendak keluar, pintunya sudah dikunci. “Disini aja duduknya, biar ngobrolnya mudah.”
“Gak mau. Buka cepetan.”
“Saya udah siapkan ATM untuk uang bulanan kamu. Tapi kalau ada biaya mendadak seperti kebutuhan kampus dan yang lainnya, kamu bisa minta lagi ke saya.” Gardea memberikan ATM dan Kartu kredit.
“Saya gak perlu uang anda.”
“Saya suami kamu, Elea. Ini kewajiban saya.” Menyimpannya di atas tas Elea. Tapi perempuan itu dengan kasarnya melempar kartu tersebut hingga jatuh di dekat kaki. Gardea hanya menghela napas, mengambil lagi kartu itu kala lampu merah. “Nanti kamu bilang saja kalau butuh.”
“Kenapa anda menikahi saya? Disaat anda memiliki pilihan yang lain, kenapa harus saya?”
Gardea menelan saliva, menghela napasnya dalam dan berkata, “Karena saya mencintai kamu.”
Yang berhasil membuat Elea tertawa hambar. “Cinta? Tahu apa anda tentang cinta. Kalau cinta, tidak mungkin saya dipaksa seperti ini.”
“Karena saya yakin bisa membahagiakan kamu.”
“Yakin? Buta ya anda? Lihat saya menderita seperti ini!”
Gardea sepertinya sudah siap dengan sikap Elea yang seperti ini, dia menanggapinya dengan santai. Dan yang lebih menyebalkan lagi, Gardea malah bertanya, “Kamu lagi PMS ya?”
Berhasil membuat kebencian Elea semakin menumpuk!
***
“Eleaaaaa! Kangen banget gue!” teriak Septiani memeluk Elea yang baru menginjakan kakinya lagi di secretariat BEM Universitas.
Para anggota yang lain ikut mendekat, mengeluarkan protesnya pada Elea.
“Lu gila ih! Nanti kamis mau ada kajian, eh malah ilang.”
“Tahu-tahu sakit katanya, tapi gak boleh jengukin!”
“Sebel banget sama lu! Bikin kita khawatir tahu!”
Elea tertawa menanggapi teman-temannya. Tidak ada satupun yang tahu kalau dirinya kini sudah menyandang status istri dari seorang pria tua. “Jangan terlalu focus di proker, Guys. Inget kita punya perkuliahan yang harus diselesaikan,” ucap Elea sambil membawa proposal yang sudah diselesaikan sekretarisnya. “Sep, ini yang buat proker selanjutnya ya? yang ditolak itu.”
“Iya, lu mau menghadap dekan sekarang?”
Elea mengangguk. “Sebelum masuk kelas. Kita ketemu lagi nanti sebelum pulang kuliah ya, Guys.”
Datang hanya untuk mengambil proposal dan pergi ke Lembaga untuk memberikannya pada Dekan Fakultas Hukum. Elea memiliki program kerja yang diharapkan bisa membantu mahasiswa berkreasi dan menuangkan bakat bisnisnya. Program ini sebelumnya ditolak oleh lembaga, tapi sekarang Elea memiliki celah untuk mewujudkannya.
Sang Dekan sampai mengerutkan keningnya. “Yakin kamu bisa proker ini?”
“Yakin, Pak. Walaupun anggota BEM kami sedikit, tapi kami ingin Fakultas lebih peduli dengan mahasiswanya.”
“Dengan saya memberi izin, apa kamu mau berhenti untuk mencari tahu tentang pemotongan biaya kuliah?”
Elea menggeleng. “Saya tidak tahu, Pak. Itukan jelas ada kesalahan dari pihak Yayasan atau mungkin Rektorat. Hak mahasiswa dipotong oleh mereka.”
“Bapak izinin kamu laksanakan proker ini. Tapi Bapak mau kamu janji, untuk tidak mempermalukan Fakultas Hukum. Karena meskipun kamu memimpin di tingkat Universitas, tetap nama fakultas ikut tercoreng.”
“Terima kasih atas persetujuannya, Pak. Saya akan ajukan ke Wakil Rektor II karena sudah melewati bapak.”
Dengan wajah yang ceria, Elea keluar dari ruangan Dekan Fakultas Hukum. “Elea?!”
“Kak Rey?” senyumannya terbit hingga mata Elea menyipit.
“Hehehe, gimana kabar kamu?”
“Gak baik soalnya ditinggal sama Kakak,” ucap Elea dengan manja.
Membuat pria bernama Reynaldi itu mengusak rambut Elea gemas. “Maaf ya, Kakak kan lagi penelitian sekarang. Makannya nyari kamu, mau ajak keluar nanti malem. Mau?”
“Mau ihh. Kangen banget sama kakak.” Tanpa ragu, Elea memeluk sosok yang sebelumnya menjadi Presiden Mahasiswa periode sebelumnya.
“Nanti Kakak jemput ke Sekretariat ya.” CUP. Bahkan pria itu mengecup kening Elea. “Sekarang kakak juga mau ke lembaga.”
“Semangat ya, Kak.”
“Semangat kalau abis charger energy gini ke kamu,” ucapnya menggerakan tubuh ke kanan ke kiri. “Miss you too.”
Senyuman Elea semakin mengembang. “Udah dulu, nanti ada orang yang liat.”
“Chat Kakak kalau urusan kamu beres ya,” pesan Reynaldi sebelum melangkah pergi, tidak lupa dia mengusak rambut Elea dengan gemas.
“Anjirrr, kangen banget sama Kak Rey,” gumam Elea membalikan badan. “Shittt! Sejak kapan lu pada disana?”
“Lu masih terjebak friendzone sama Kak Rey? Kasihan banget sih.”
***
Sebelum kembali berdiskusi dengan anggota BEM, Elea masuk kelas dulu. Kini dia menginjak semester lima, yang artinya semakin banyak praktek lapangan.
“Minggu depan, kita akan pergi ke pengadilan Negri untuk melakukan study lapangan dan melihat jalannya persidangan. Semuanya diwajibkan hadir, itu akan dijadikan EKT 1 sebelum UTS ya.”
Elea malas ikut, datang ke PN paling juga hanya berwisata. Tapi selain ambis dengan keadilan bagi seluruh mahasiswa, Elea juga ambis dengan nilai akademik.
Baru ke secretariat saat sore menjelang. Disana Elea mendiskusikan dulu tentang proker besok hari dan proker yang akan datang. “Intinya buat proker unggulan ini gak perlu khawatir, gue yang ambil alih. Sekian dulu ya rapat hari ini, gue tutup.”
“Kok cepet amat sih, El?”
“Dia mau jalan sama Kak Rey,” jawab Septiani menggoda.
“Nah, itu pada tau. Dah ah, gue berangkat dulu ya.” Dengan wajah yang ceria, Elea kembali chattingan lagi dengan Reynaldi setelah beberapa bulan menghilang karena kesibukannya.
Elea menunggu Reynaldi di halte kampus sambil memainkan ponsel. Sampai ada pesan masuk dari sang Mama.
Mama Sayang: ATM kamu dibekukan saya Papah kamu ya. Mama kasih tahu biar kamu gak kaget. Udah dapet uang dari suami kan?
Elea terkejut, langsung memeriksa m-banking yang sekarang sudah tidak bisa diakses lagi. “Shitt!” umpatnya meyakini kalau ini adalah ulah Gardea. “Pasti aki-aki pedo itu yang bikin ulah!”
TIN! “Nunggu lama?”
“Eh? Enggak, Kak.”
Mobil Reynaldi tiba-tiba saja ada di depan Elea. Perempuan itu masuk dan dibawa pergi ke sebuah café. Sepanjang perjalanan, keduanya saling menggenggam tangan. Bukan hal yang aneh untuk Elea yang tahu bahwa Reynaldi hanya menganggapnya adik kecil saja, padahal dia mengharapkan hal lebih lagi.
Sejak awal masuk perkuliahan, Elea jatuh hati pada pria ini. Namun, entah Reynaldi yang tidak peka atau memang dirinya yang terlalu berharap.
Untuk saat ini, Elea cukup senang dengan keberadaan pria itu disampingnya. Apalagi selama ini Reynaldi belum memiliki pasangan.
“Mau ice cream cokelat, Kak.”
“Boleh, Cantik.”
Mereka membicarakan hal-hal random. Seringkali Elea meminta nasehat terkait langkah yang dia ambil dalam area kepemimpinannya. Sampai Reynaldi tiba-tiba berucap, “Kakak mau ngomong sesuatu sama kamu. agak serius sih.”
“Ih, kenapa nih? Bikin aku takut aja tahu, Kak.”
“Janganlah, bukan hal yang menakutkan kok. Justru Kakak yang takut ditolak.”
“Huh? Ditolak apa?”
Reynaldi tersenyum dan menggenggam tangan Elea. Mengusapnya dengan lembut disertai tatapan penuh ccinta. “El, kita udah kenal lama. Dan kakak ngerasa nyaman sama kamu. Setelah dipikir lagi, kebanyakan bahagianya Kakak itu bersumber di kamu. Kakak mau hubungan kita lebih serius lagi. seenggaknya kakak ikat kamu biar kamu gak jalan sama cowok lain.”
Elea menelan salivanya kasar.
“Mau gak kamu temenin kakak bukan sebagai adik lagi? tapi sebagai pasangan?”