SIAPA YANG KESEL SAMA DWIKA, TOLONG ANGKAT ULEKAN KALIAN!!!!!
Aku, aku, aku
Mamak sendiri kesel weh sama dia, but tunggu ya plot twistnya
Happy reading semua kesayangan Mamak
Manis bukan kalimat suamiku ini, tapi pada akhirnya dia tidak pernah mengiyakan apa yang aku minta, untuk sesaat aku merasa tenang karena aku pikir akulah yang di pilih suamiku, tapi di tengah pelukan suamiku, ponsel yang tergenggam di tangannya bergetar, meski Bang Dwika terburu-buru untuk mematikan panggilan tersebut tapi aku sudah terlanjur melihat siapa pemanggilnya.
Past ?
Amarah yang sempat aku rasa mereda kini kembali membuncah, apalagi saat Bang Dwika tampak gugup mematikan panggilan tersebut, seakan tidak tahu apa yang terjadi, si masalalu dengan emotikon matahari tersebut kembali melakukan panggilan, kali ini aku tidak membiarkan suamiku mematikannya.
"ANGKAT DAN LOUDSPEAKER!"
Selama ini aku tidak pernah membentak suamiku, aku menjaga harga dirinya sebagai seorang pemimpin dalam rumah tangga kami, seorang yang aku cintai dan aku jadikan panutan, tapi melihat sikapnya yang sudah di luar batas, membuatku tidak bisa mentoleransinya lagi.
"Apaan sih?! Udahlah, nggak usah bikin keruh. Kamu udah denger kan, sampai kapanpun kamu adalah prioritasku, dia cuma masalalu Abang." Bang Dwika ingin menghindar pergi, membawa masalah ini menggantung tanpa penyelesaian, tapi aku tidak membiarkannya pergi, entah kekuatan darimana tapi aku berhasil menahannya untuk tidak beranjak.
"DEMI TUHAN, AKU BAKAL LAPORIN KAMU KE MAYOR DESTA ARIAWAN ATAS DASAR PERSELINGKUHAN JIKA KAMU TIDAK MENGANGKATNYA DI DEPANKU SEKARANG JUGA!"
Sentakan kuat penuh kemarahan aku dapatkan, pandangan Bang Dwika berubah nyalang karena tidak punya pilihan, dia sangat tahu jika aku adalah wanita yang bertekad, mencintainya yang masih menggenggam erat masalalunya saja bisa aku lakukan apalagi untuk sekedar melaporkannya. Membuat kariernya hancur saja aku bisa nekad melakukannya jika sudah benar-benar kecewa.
Dengan terpaksa Bang Dwika menerima panggilan tersebut, memenuhi permintaanku dia pun menyalakan loud speaker. Rasa takutnya pada Sang Atasan nomor satu di Batalyon yang dimana istrinya adalah salah satu orang yang dekat denganku rupanya mengalahkan rasa takutnya membohongiku.
"Mas Dwi, di chat dari tadi nggak ada balas padahal udah dibuka! Ini Nada urgent loh Mas, wajahnya udah pucat lemes, kalau memang Mas nggak bisa nganterin, seenggaknya kasih dulu duitnya biar aku bisa berangkat sendiri. Tega banget kamu sama Nada, kamu tahu sendiri kan gimana keadaan Nada."
Belum sempat Bang Dwika mengucapkan salam, dari seberang sana suara lembut yang tergesa dalam berbicara terdengar, jika aku tidak melihat foto profilnya yang terpajang sebelumnya aku tidak akan pernah menyangka jika yang berbicara seberani ini adalah wanita berpenampilan alim, aku bertanya-tanya pada diriku sendiri apakah seperti ini seharusnya wanita supaya dicintai suamiku? Apakah tipe suamiku itu tipe menye-menye lemah dan tidak tahu malu serta lancang? Secara tidak langsung Nana sama sekali tidak menghargaiku sebagai istri dari Bang Dwika.
Aku menatap Bang Dwika yang kini sudah berkeringat sebesar bulir jagung, kebingungan bagaimana menjawab tanya tersebut di depanku, mungkin jika tidak ada aku di hadapannya suamiku ini tidak akan berpikir panjang dan langsung mengiyakan baik uang maupun waktunya.
"Mas, kenapa diem saja sih? Atau jangan-jangan ini istrinya Mas Dwi, ya! Hehhh, Mbak! Tolong kasihkan ponselnya ke Mas Dwi! Saya ada perlu sama Mas Dwi, bukan sama Mbak!"
Aku tercengang dengan kalimat lancang yang terucap tersebut, saat Bang Dwika sendiri yang tidak mampu berkata-kata, dengan beraninya sahabat suamiku ini menyebutkan namaku, harga diriku benar-benar di injak-injak habis oleh sahabat suamiku ini. Jangan tanya bagaimana ekspresiku sekarang saat menatap Bang Dwika, seandainya saja membunuh adalah hal halal untuk di lakukan, aku akan membunuh suamiku tanpa segan.
Kali ini tidak hanya suara Nana yang terdengar, suara kecil yang begitu lemah pun terdengar dari ujung sana, "Papa, Nana sakit Pa."