Selesai dengan pekerjaannya, Al langsung menuruni anak tangga untuk menyusul Meyra yang mungkin sedang menunggunya.
"Meyra mana, Bu?" Tanya Al pada Bu Ema.
"Loh, saya tidak melihat Non Meyra, Den..."
Al menggeram tertahan. Ternyata Meyra masih keras kepala juga, ia tidak menuruti perkataannya yang meminta ia untuk turun dan makan.
Dengan langkah lebar Al kembali ke kamar.
Dugh!
Meyra terkejut saat mendengar suara pintu yang membentur dinding kamar akibat Al yang mendorongnya terlalu keras.
"Mey, ayo turun! Dari tadi kamu belum makan,"
"Ini udah mau malem Al, sekalian makan malam aja." Sahut Meyra yang kini tengah duduk dan membaca sebuah buku.
Al meraih buku yang istrinya itu pegang. "Di kampus udah makan apa?"
"Aku udah makan roti. Balikin buku aku!"
"Yakin gak laper?"
"Enggak. Ayo siniin bukunya..."
Al menyimpan buku tersebut ke atas meja. "Turun dulu, kamu harus makan."
"Maksa banget sih!"
Al menatap Meyra datar. "Aku bilang turun dan makan." Tekan Al.
"Kamu bukan anak kecil lagi, masa aku harus mukul kamu dulu baru kamu mau nurut!" Tambah Al karena Meyra masih enggan menurutinya.
"Mau anak kecil ataupun dewasa, gak ada yang boleh di pukul." Sahut Meyra seraya berlalu dari kamar.
"Kamu mau ke mana?"
"Kamu nyuruh aku buat makan, kan? Padahal kalau aku lapar, udah dari tadi aku makan sendiri." Jawab Meyra yang kembali melanjutkan langkahnya.
Untuk memastikan Meyra makan atau tidak, Al pun menyusul langkah Meyra yang terburu-buru, terlihat sekali jika ia tidak ingin berdekatan dengan langkah Al.
Al berjalan masuk ke dapur, sedangkan Meyra terlihat duduk di ruang makan.
"Bu, buatin Mey makanan." Ucap Al pada Bu Ema yang terlihat hendak mulai memasak untuk makan malam yang masih 2 jam lagi.
"Gak usah masak buat makan malam, kita bisa pesan dari luar." Tambah Al.
Ia pun berlalu dari dapur dan berjalan mendekati Meyra. "Kita harus pikirin universitas mana yang cocok buat kamu,"
"Hah?"
"Mulai besok aku bakalan urusin kepindahan kamu. This is for the best."
Meyra menatap Al tak setuju. "Kamu kenapa sih kalau mutusin hal besar gak pernah ngomong sama aku, yang kuliah aku loh Al!"
"Kamu belum lama kuliah di sana, kalau pindah pun gak akan ada bedanya..."
Meyra mengembuskan nafas berat.
Al meraih lengan Meyra. "Sayang dengerin aku, aku gak bakalan tenang kalau kamu masih satu kampus sama cowok tadi."
"Why? We're just friend."
"Udah jelas banget kalau dia suka sama kamu yaang, did you see him when he hold your hand?"
"Apa sih? Gak masuk logika aku, omongan kamu ngaco. Semua cowok yang temenan sama aku, kamu bilang dia suka sama aku."
"Kalau pun cowok itu gak suka sama kamu, aku gak mau ngambil resiko kalau kamu suka sama temen cowok kamu."
Damn.
Meyra sudah kehabisan akal untuk mengerti dari mana asalnya rasa cemburu yang Al miliki datang. "Aku? Suka sama cowok lain? Kamu takut aku suka sama cowok lain? Serius?"
Al hanya mengangkat bahu, "siapa yang tahu, hal yang paling cepat berubah itu pikiran seseorang."
"Tapi setiap orang juga punya hati, kalau hati mereka udah ada yang ngisi, apa yang otak pikirin gak akan berarti apa-apa. Ya ampun... Kamu ngerti bucin gak sih?"
"Ya terserah, kalau mau tetap di sana, aku gak akan mau biayain."
"Gak pa-pa, aku bisa nyari beasiswa."
"Yakin? Yakin kamu bakalan tega sama orang-orang yang mungkin lebih membutuhkan bantuan itu?"
Bu Ema pun datang dengan membawa Ayam kecap dan sayur kacang. Al tidak terlalu menyukai Ayam, dan sayur kacang adalah sayur favoritnya, Al memang tidak neko-neko soal makanan, yang penting itu bersih dan sehat.
"Kamu ikut makan?" Tanya Meyra.
"Heem, tanggung. Makan malam juga bentar lagi," jawab Al.
Meyra pun memakan makanannya dengan pikiran yang entah terbang kemana. Ia memikirkan tentang kuliahnya. Belum sempat ia beradaptasi dengan lingkungan yang sekarang, ia bahkan belum memiliki teman yang cukup dekat dan Al sudah akan memindahkannya.
"Kamu kenapa?" Tanya Al.
"I don't know."
Al mengernyit heran. "Tell me,"
"Kamu beneran mau pindahin aku?"
Al mengangguk pasti. "Iya, aku yakin kamu akan nyaman."
"You tell me this is for the best, tapi kenapa harus ada yang sedih?"
"Karena kamu belum coba, yang terbaik gak selalu berjalan dengan mulus yaang..." Ucap Al.
Meyra menjauhkan piringnya.
"Kenapa gak abis?"
"Aku udah kenyang,"
Al menegakkan tubuhnya. "Yaang denger,--"
"Al, please... Aku pengen punya temen,"
"Jadiin aku temen kamu, ceritain semuanya ke aku."
"Bukan--ya ampun... Ya udah lah, mungkin ini emang ego aku sebagai perempuan yang berumur 19 tahun. Aku udah menikah dan harusnya aku merubah mindset aku, aku udah gak sebebas temen-temen aku yang lain." Ucap Meyra tersenyum, namun matanya terlihat nanar.
Al menggenggam lengan Meyra. "Are you okay?"
"Yeah, it's fine."
"Enggak, kamu gak baik-baik aja... No, yaang i'm sorry if i make you sad like this..."
Meyra menatap Al dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Maaf... Aku--aku cuma-- hiksss..."
Al beringsut dari tempat duduknya, kemudian duduk di samping Meyra. "No, i'm sorry..."
Meyra langsung menghambur memeluk Al dan menangis di dalamnya.
"Jangan nangis... Kalau kamu mau pergi, kamu bilang sama aku, aku bakalan berusaha buat nemenin kamu. Kalau kamu pergi sama temen-temen ya kamu harus bilang dulu ke aku, kalau kamu pergi sama Sesil atau siapa tuh temen SMA kamu, aku gak pernah ngelarang kan yaang... Udah gak usah nangis," ucap Al seraya mengusap punggung Meyra dengan lembut.
Meyra melepaskan pelukannya. "Apaan, di izinin tapi baru sampe di tempat kamu langsung nelpon atau nyusul!"
"Aku gak bisa nunjukin cinta yang kayak orang lain. Aku bahkan gak ngerti kenapa cowok lain keliatan fine-fine aja di saat pacarnya punya temen cowok, deket pula." Ucap Al.
Meyra mengambilkan air minum dan memberikannya pada Al.
"Ya karena mereka percaya sama pasangannya."
"Kalau masih temenan deket sama cowok lain, buat apa punya pacar coba. Pacaran atau nikah itu kan bukan cuma status, suami, pacar dan lain sebagainya itu ya harusnya udah jadi teman, bahkan rumah buat tempat bercerita, berbagi keluh kesah, mecahin masalah bareng-bareng. Gitu kan?"
Meyra terdiam. "Ya,"
"Kamu jangan suka marah-marah, aku gak suka dibentak."
"Kamu kira aku suka ngebentak kamu? Enggak kali. Aku itu cuma memprotct kamu,"
"Ya kalau nyuruh makan gak usah sambil ngegas, kalau lapar ya aku makan." Ucap Meyra.
"Ya maaf, tapi kan aku gak mau kamu sakit."
"Kamu mikirin kesehatan aku, tapi kamu gak mikirin perasaan aku." Sahut Meyra yang berhasil membuat Al terdiam.
"I'm sorry..." Sesal Al.
Meyra mengangguk dan mengusap wajah Al dengan lembut.