“Sepertinya di luar sudah aman,” ujar Andreas. Ia memeriksa ke celah pintu rahasia yang terhubung dengan jalanan, dilihatnya situasi sudah mulai kondusif dan tidak ada lagi lalu lalang Machitis yang berjalan.
“Kita bisa keluar,” sambungnya sambil mendekati sang istri beserta rekanan Teleios lainnya.
Mereka akhirnya berbondong-bondong untuk keluar dari persembunyian. Setelah berada di ruang bebas udara, mereka menghirup oksigen sebanyak-banyaknya dengan rakus.
Tak berselang lama kemudian mereka pun menapaki jalanan yang sudah kocar-kacir akibat penyerbuan itu, disepanjang jalan ini terdapat beberapa pemukiman yang sama hancurnya. Hati Sivana teriris melihat hal itu, sebagai seorang setengah Oudeteros hatinya hancur melihat pemandangan ini.
Hingga terdengar suara derap langkah kaki yang begitu menggema di jalanan ini seolah beramai-ramai hendak menyerbu. Sontak saja mereka terkejut dan bersiap untuk lari, namun saat melihat seragam yang dikenakan oleh sekumpulan orang di sana, mereka langsung paham bahwa itu bukan anggota yang ingin menyerang, melainkan penyelamat.
“GR Rescue,” pekik salah satu Teleios yang bersama dengan Andreas dan Sivana sejak bersembunyi.
Grivin Rudolf Rescue merupakan pertolongan yang diberikan oleh sang pemimpin agung untuk membantu jika terjadinya hal yang gawat darurat. Benar saja, seperti ini lah contohnya. Anggota GR Rescue diterjunkan untuk membantu pemukim, pemukiman dan mencari pelaku utama atas kerusuhan ini.
“Anda terluka?” tanya salah satu anggota GR yang mendekati mereka.
Andreas menggeleng pelan. “Kami baik-baik saja karena sempat bersembunyi tadi. Lalu bagaimana dengan yang lainnya?”
“Pemukiman Oudeteros telah hancur dan perlu waktu untuk membangunnya lagi. Sejauh ini tak ada korban jiwa, hanya saja beberapa orang terluka.” Jelas dari anggota GR. Pria berusia tigapuluh tujuh tahun itu menjelaskan.
“Mari saya antar ke tempat penampungan yang disediakan GR Rescue.”
Akhirnya mereka pun turut ikut pergi ke penampungan untuk diselamatkan. Mengenai fisik memang baik-baik saja, tapi hati dan pikiran mereka sangat was-was.
Sedangkan Bricana dan Theodore, mereka tidak kembali ke pemukiman Oudeteros seperti yang lain. Keduanya memiliki rencana sendiri untuk menemukan dua dalang yang amat jahat tersebut.
“Coach, Anda yakin ingin melakukannya sendiri tanpa menunggu bantuan dari Mr. Rudolf? Barangkali beliau sudah meninjau masalah ini dan akan menemukan titik terang secepat mungkin.” Bricana sejak tadi mengekori Theodore yang terburu-buru, sempat keduanya berbeda pendapat. Bricana ingin kembali ke pemukiman Oudeteros untuk kembali berpura-pura, sekaligus ingin melihat keadaan keluarganya. Namun, Theodore justru melarangnya.
Mereka sudah terlanjur menjauh, dan ketika kembali di saat yang lain sudah berkumpul maka akan mengundang sejumlah pertanyaan. Biarlah mereka kehilangan Bricana dan Theodore selama beberapa saat, yang terpenting nanti ketika mereka pulang akan menyeret Patricio dan Adriana ke hadapan massa.
“Rudolf memang pasti akan meninjau, tapi kau tahu sendiri Patricio sangat licin. Mengenai Adriana, kita cari dia ke akademi Exypnos, ia pasti bersembunyi di sana karena tak mungkin lari begitu saja meninggalkan singgasana.” Masih dengan berjalan terburu-buru, Theodore menjelaskan panjang lebar.
Saat ini tujuannya adalah ke akademi itu. Theodore yakin jika utusan GR yang datang ke sana maka mereka akan kesulitan menemukan Adriana, maka Theodore akan menggunakan caranya sendiri untuk membobol benteng pertahanan mereka, lihat saja nanti.
“Bagaimana jika mereka malah curiga dengan ketidakhadiran kita?”
Theodore terdiam sejenak, ia mengusap wajahnya dengan kasar.
“Hal itu bisa saya urus nanti.”
Akhirnya mereka menaiki kereta rusa untuk menuju ke akademi Exypnos. Bricana terlihat ragu, ia kasihan dengan dua rusa yang akan ditunggangi kereta tersebut.
“Tidak apa-apa, mereka kuat.” Theodore sudah lebih dulu menaiki kereta tersebut, tangannya terulur untuk membantu si gadis berambut lurus itu.
“Ayo.”
Akhirnya Bricana pun menerima uluran tangan pria itu, kereta rusa memiliki dua roda besar. Ada tali yang menjulur ke badan dua rusa tersebut, akhirnya rusa bergerak dengan lincah sesuai dengan arahan Theodore. Bricana memperhatikan gerakan bibir Theodore yang entah menggunakan bahasa planet apa, namun baiknya rusa-rusa itu mengerti perkataannya.
“Coach, Anda belajar bahasa binatang dari mana?” tanyanya dengan mata membulat antara kagum dan kejut.
Theodore tersenyum kecil. “Bukan bahasa binatang yang dipelajari, namun pendekatan dan naluri hewaniah.”
Bricana hanya mengangguk-anggukkan kepala saja. Ia menikmati perjalanan ini, sisa-sisa salju beberapa hari lalu tengah mencair dengan perlahan. Pohon-pohon bergerak semilir angin menerbangkan rambut gadis itu, Bricana memiliki hidung yang standart tak terlalu mancung, namun bibirnya membentuk tanda ‘love’ dengan alami. Pria yang melihatnya dari dekat rasanya ingin mengecup bibir indah itu, seperti Theodore contohnya. Kala ia tak sengaja menoleh ke samping menatap sang gadis, matanya terfokus pada bibir indah tersebut. Untuk beberapa detik dirinya terpana, tapi buru-buru ia singkirkan pemikiran kotor itu. Bagaimana pun juga status Bricana adalah muridnya, ia tak boleh berpikir hal lain.
Hingga kala mereka tengah menikmati perjalanan, tiba-tiba saja dari arah berlawanan terdengar gonggongan serigala. Sontak saja rusa-rusa yang tengah berlari kencang pun segera menghentikan laju langkah mereka, Bricana hampir tersentak oleh pegangan kayu, namun Theodore menyelamatkannya.
“Kau terluka?”
“Saya baik-baik saja, Coach. Terima kasih,” balasnya.
Theodore pun menatap ke depan sana, menunggu detik-detik segerombolan serigala datang. Ia sudah antisipasi dengan menyembunyikan pisau di dalam saku celananya jika sewaktu-waktu dibutuhkan.
Selain itu, Bricana juga masih membawa pistolnya.
“Berhati-hati dan waspada.” Theodore pun menuruni kereta rusa, ia sempat mengelus tanduk rusa itu untuk menenangkan mereka agar tidak takut dengan para serigala liar.
“Auuu...” Lolongan serigala terdengar makin pekat dan dekat.
Hingga tiba lah seorang meloncat dari kereta serigalanya dan langsung menyerang Theodore secepat kilat. Beruntungnya bela diri yang mumpuni serta pengalaman berarti membuatnya sangat sigap, Theodore menghunuskan pisau yang ia bawa menuju ke titik-titik vital si penyerang itu. Namun, dengan lihai mereka bertiga bisa lolos begitu saja.
Bricana melirik senjatanya, ia ragu-ragu menggunakan itu. Pasalnya selama di Machitis ia belum pernah mempelajari perihal senjata ini, bagaimana jika ia salah tembak? Bisa parah urusannya.
“Siapa kalian? Aku tidak membuat keributan di sini.” Theodore berujar disela-sela serangannya.
“Kau sudah masuk wilayah kami, seorang Teleios dilarang melintas di sini.” Ternyata mereka bisa tahu bahwa Theodore merupakan seorang Telios, bagaimana bisa?
Itu terletak pada serigala yang menjadi tunggangan mereka. Ketiganya tidak ingin ikut andil dalam pergejolakan antara Machitis, Teleios dan Exypnos. Untuk itu wilayah ini sangat terlarang bagi Teleios agar tak memunculkan peperangan, mereka tidak mau terseret urusan luar.
Theodore langsung ingat dengan satu hal.
“Aston Miliano.” Dua kata yang berasal dari bibir Theodore, sontak membuat mereka langsung menghentikan serangan.
Tatapan ketiganya langsung kaget bercampur tak percaya.
Tanpa diminta, tiba-tiba Theodore memperlihatkan tanda lahir yang ada di belakang punggung dengan cara membuka pakaian atas.
Bricana makin kaget kala ketiga orang itu justru bersimpuh di depan Theodore. Ia masih bertanya-tanya tentang ‘Aston Miliano’.
“Maafkan kelancangan kami. Sejak beberapa tahun ini Nyonya menyuruh kami untuk mencari keberadaan Anda, jika Anda berkenan tolong ikut kami.”
Theodore memasang lagi bajunya, tanpa berujar sepatah kata pun ia kembali duduk dengan tenang di atas kereta rusa. Sedangkan Bricana hanya diam saja mencerna perkataan ketiganya.
“Nyonya Adley, apa yang kau tunggu?”
“Ohh, baik Coach.” Ia bahkan terlihat bodoh saking bingungnya.
Bagaimana bisa sekumpulan orang garang itu tiba-tiba berubah menjadi jinak hanya dengan dua kata dari Theodore, memang siapa pria itu sesungguhnya?